Reformasi Birokrasi Lokal dalam Pandangan Hukum Otonomi Daerah

*Oleh : Dr. Moh. Taufik, M.H, dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Undang Undang Otonomi Daerah mengemukakan tentang kewenangan daerah untuk membentuk organisasi perangkat daerah sesuai dengan kebutuhan daerah.

Daerah diberikan hak untuk membentuk perangkat daerah, termasuk di dalamnya berupa lembaga teknis daerah, apabila ada kebutuhan daerah untuk itu. Dengan demikian, pembentukan organisasi perangkat daerah merupakan hak daerah.

Tetapi persoalan kemudian daerah dalam membentuk dinas dan perangkat daerah cenderung untuk memperbesar struktur organisasinya.

Kasus beberapa daerah menunjukkan bahwa proliferasi dilakukan lebih dikarenakan untuk mengakomodasikan tekanan birokrasi yang berkembang terus dibandingkan untuk mengakomodasikan perkembang- an fungsi karena kebutuhan riil masyarakat yang harus dilayani. Persoalan ini muncul karena adanya kegiatan proses politik yang kemudian mengakomodir orang orang yang pernah membantu dalam mensukseskan kemenangan menjadi kepala daerah.

Pada sisi lain , kompetensi orang yang sudah berkarir lama di abaikan, padahal mereka lebih mumpuni dan pengalaman kerja.

Birokrasi Ala Parkinson

Kecenderungan suatu daerah untuk memperbesar struktur organisasi, memang sudah suatu yang inheren dari sifat organisasi yang namanya birokrasi. Aparat birokrasi akan berusaha menciptakan struktur baru tanpa melihat kebutuhan dan kemampuan dana yang ada. Dalam konteks menciptakan struktur yang besar ini orang kerap menyebutnya sebagai birokrasi ala Parkinson.

Ciri-ciri dari birokrasi ala Parkinson adalah (1) setiap pejabat negara berkeinginan untuk meningkatkan jumlah bawahannya; dan (2) mereka saling memberi kerja (yang tidak perlu). Akibatnya, birokrat cenderung meningkatkan terus jumlah pegawainya tanpa memerhatikan tugas-tugas yang harus mereka lakukan.

Hal tersebut tentu sangat bertolak belakang dengan birokrasi ala Weber, yang menginginkan suatu birokrasi yang efisien, efektif, rasional dan profesional. Birokrasi model ini, yang kerap disebut sebagai Tipe Ideal (Ideal Type) dari birokrasi.

Struktur birokrasi yang “membengkak” ini, tampak- nya, untuk mengakomodasi limpahan pegawai Pusat yang semula tersebar di kandep-kandep yang ditransfer menjadi pegawai daerah. Tapi dari struktur yang membengkak seperti itu berdampak pada inefisiensi pemerintahan. Hal ini karena sebagian besar dana APBD digunakan untuk belanja pegawai.

Dampak lain dari struktur yang “gemuk” adalah terjadi tumpang tindih dalam fungsi dan tugas di antara dinas dan atau badan/kantor dengan biro atau bagian-bagian yang ada di bawah Sekda.

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003

Dengan kondisi struktur organisasi yang besar ter- sebut, sebenarnya direspons oleh pemerintah pusat sebagai suatu gejala yang “tidak baik”. Hal ini karena di samping dianggap tidak efisien karena akan berdampak pada besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk pembiayaan (high cost), juga untuk beberapa daerah sebagai “kiat” untuk memperoleh DAU (Dana Alokasi Umum) yang besar dari pemerintah pusat.

Dalam konteks untuk mencegah kedua hal tersebut, pemerintah pusat melalui Departemen Dalam Negeri (Depdagri) menerbitkan PP No. 8 Tahun 2003, yang mem- batasi jumlah dinas dan lembaga teknis daerah. Keluarnya PP yang mengatur tentang Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah ini, di sejumlah daerah tidak digubris. Daerah-daerah tetap tidak melakukan restrukturisasi.

Ada sejumlah alasan berkaitan dengan hal dimaksud. Pertama, restrukturisasi menyebabkan reposisi terhadap sejumlah jabatan. Untuk melakukan reposisi tersebut akan menghadapi kendala karena orang yang direposisi akan di tempatkan di posisi apa nantinya.

Satu-satunya jalan adalah pensiun, namun persoalan ini ternyata tidak mudah. Kedua, restrukturisasi tidak dilakukan karena struktur organisasi yang disusun benar-benar sesuai dengan kebutuhan yang ada.

Reformasi Birokrasi Lokal

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Otonomi Daerah. Misi utama dari kebijakan itu adalah desentralisasi berupa pelimpahan wewenang. Pelimpaham wewenang ini tidak hanya diartikan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah (daerah), tetapi juga pelimpahan beberapa wewenang pemerintahan kepada pihak swasta.

Pemerintah pada berbagai tingkatan harus bisa menjadi katalis: fokus pada pemberian pengarahan bukan pada produksi pelayanan publik. Produksi pelayanan publik harus dijadikan sebagai pengecualian dan bukan keharusan.

Pendelegasian wewenang harus juga terjadi di pemerintahan daerah. Seorang kepala daerah harus mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada dinas-dinas atau badan/ lembaga teknis yang ada di bawahnya agar mereka memiliki keleluasaan yang cukup untuk memberikan pelayanan publik dan menyukseskan pembangunan di daerah.

Wujud nyata dari prinsip good governance adalah terdesentralisasi yaitu pemberian kewenangan yang luas disertai sumber daya pendukung kepada lembaga dan aparat yang di bawahnya untuk mengambil keputusan dan memecahkan masalah yang dihadapi.

Governance dapat diartikan sebagai cara mengelola urusan-urusan publik. World Bank mendefinisikan governance sebagai “the way state power is used in managing economic and social resources for development of society”. Sedangkan UNDP mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic, and administerative authority to manage a nation’s affair at all levels”.

Membangun Daerah yang Good Governance.

Untuk mewujudkan good governance diperlukan reformasi kelembagaan (institusional reform) dan reformasi manajemen publik (public management reform). Reformasi kelembagaan menyangkut pembenahan seluruh alat pemerintahan, baik struktur maupun infrastrukturnya.

Kunci reformasi kelembagaan tersebut adalah perberdayaan masing-masing elemen, yaitu masyarakat umum sebagai stakeholders, pemerintah sebagai eksekutif dan lembaga perwakilan sebagai shareholder.

Sedangkan reformasi manajemen sektor publik terkait dengan perlunya digunakan model manajemen pemerintahan yang baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, karena perubahan tidaklah sekadar perubahan paradigma namun juga perubahan manajemen.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *