Baladena.ID – Politik adalah medan perjuangan. Jika dibandingkan dengan aspek-aspek yang lain, misalnya pendidikan, ekonomi, dan kesehatan, politik pangkalnya. Ibarat sebuah aliran sungai, politik adalah sumbernya. Jika politiknya baik, menghasilkan pengambil kebijakan yang baik dan berkualitas, maka aspek-aspek yang lain akan menjadi baik. Sebab, seluruh aspek kehidupan bisa sangat ditentukan oleh politik. Namun, politik adalah medan paling berat. Di dalamnya terjadi perebutan kekuasaan dengan mekanisme kalah menang. Yang menang mengatur, sedangkan yang kalah rela-tak rela harus mengikuti aturan yang dibuat oleh pemenang yang membuat kebijakan.

Bagaimana memahami politik sebagai medan perjuangan yang terberat itu? Baladena telah melakukan wawancara eksklusif dengan Dr. Mohammad Nasih, M.Si., Pengasul Pesantren Planet NUFO Rembang dan Rumah Perkaderan-Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institute Semarang yang saat ini juga dinominasikan oleh DPP PAN (Partai Amanat Nasional) sebagai caleg DPR RI nomor urut 1 untuk Dapil Jateng I (Kota-Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, dan Kota Salatiga. Berikut hasil wawancara dengan suami dr. Oky Rahma Prihandani, Sp.A., M.Si.Med. itu:

Baladena: “Apakah perbedaan menjalani peran-peran yang sudah Abah Nasih jalani selama ini? Misalnya perbedaan antara menjadi dosen, ustadz, dan politik. Bisa ditambahkan dengan yang lain jika memang ada.”

Abana: “Pertanyaan yang sangat bagus dan to the point ini. Dan ini memang sangat penting dibicarakan agar orang tidak salah paham. Alhamdulillah saya sudah mengajar sejak kelas V MI. Ini mengajar ngaji, baca al-Qur’an, anak-anak tetangga di mushalla depan rumah saya setiap habis maghrib dan habis shubuh. Bapak ibu saya kan guru ngaji. Jadi santri pemula, saya yang ngajari. Waktu itu pakai IQRA’. Lalu menjadi aktivis saat menjadi mahasiswa. Di HMI ada kompetisi yang cukup keras untuk menjadi pemimpin di segala level, mulai dari fakultas, universitas, kota, sampai nasional. Di dalam organisasi ini saya juga mengajar dengan menjadi instruktur atau pengkader. Setiap akhir pekan biasanya komisariat di berbagai universitas melaksanaan latihan kader. Di situ, kami menjadi pengajar, atau tepatnya pengkader itu tadi. Pernah juga walaupun tidak lama di PW-PM Jateng diajak oleh Pak Tafsir dan PP-PM diajak oleh Pak Mu’ti, juga di Lembaga Hikmah. Setelah lulus S2 sembari S3 saya mulai mengajar di Pascasarjana Ilmu Politik UI, kemudian FISIP UMJ, FISIP UIN Jakarta, mendirikan dan mengurus Monasmuda Institute di Semarang dan bersama Pak AM Fatwa mendirikan STEBANK (Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perbankan Islam) Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Jakarta. Untuk menopang kehidupan, tentu saja kita harus punya usaha yang menghasilkan uang. Sejak belia saya sudah terbiasa dengan usaha tebu, dilatih langsung oleh bapak saya, karena beliau punya usaha tebu di kampung saya. Karena saya aktivis dan belajar kemudian mengajar ilmu politik, kemudian muncul juga keinginan untuk menjalani dunia politik. Nah, yang paling memicu adrenalin dari semuanya itu, harus diakui, memang adalah dunia politik. Dua pecan pertama jadi caleg PAN ini, tensi saya naik. Hahaha.”

Baca Juga  Bangsa yang Dikepung Masalah

Baladena: “Apa yang menyebabkan aktivitas politik ini menjadi berbeda dengan yang lain?”

Abana: “Aktivitas yang lain, jika pun ada kompetisi, tetapi tidak begitu berat. Dalam politik kompetisinya super berat. Sebab berkaitan dengan perebutan suara yang jumlahnya ratusan ribu. Kompetitornya juga orang-orang yang tidak bisa dianggap enteng. Membutuhkan uang dalam jumlah besar. Memerlukan target yang harus dicapai dalam waktu tertentu. Kalau target tidak tercapai dalam waktu tertentu, maka akan mengalami kekalahan total dan tidak mendapatkan kekuasaan sama sekali. Sebab, pemenanglah yang mengambil kekuasaan, dan yang kalah tidak mendapatkan sama sekali. Berbeda misalnya dengan saya membuat pesantren atau sekolah. Jika saya mentargetkan mendapatkan 32 murid, tetapi hanya mendapatkan 20 orang santri-murid, pesantren saya akan tetap berjalan. Dan itu sering saya alami. Kalau kalah dalam politik, sudah kehilangan uang, kehilangan waktu dan tenaga, tidak memiliki kekuasaan sama sekali. Kira-kira begitu. Ini baru proses merebut kekuasaannya lo ya.”

Baladena: “Lalu apa lagi, Bah?”

Abana: “Lo, memang setelah berhasil merebut kekuasaan dengan menjadi anggota DPR pertarungan sudah selesai? Belum!!! Masih ada pertempuran berikutnya saat kita harus membuat kebijakan politik. Di dalam pembuatan kebijakan politik di DPR, nanti juga terjadi pertempuran lagi. Kebijakan politik ini akan menentukan baik-buruk masa depan negara. Maka pengambil kebijakan ini diingatkan, diperingatkan, dan diancam keras oleh al-Qur’an dalam surat Shad: 26.

يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

Baca Juga  Idulfithri dan Lebaran, Apakah Sama?

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (Shad: 26)

Baladena: “Bentuk pertarungannya seperti apa itu?”

Abana: “Ada dua bentuk pertarungannya. Pertama, pertarungan ide atau gagasan. Kita harus mampu untuk membangun gagasan yang bisa diterima oleh orang lain, mempertahankannya jika ada ide yang sebaliknya dengan implikasi yang sebaliknya tentu saja. Misalnya, kita mau membangun kebijakan yang protektif atau liberal misalnya, dengan implikasinya masing-masing. Jika kita ingin protektif, tentu saja kita harus adu ide dan juga kekuatan menghadapi pihak lain yang ingin liberal. Kedua, pertarungan melawan iming-iming suap. Kalau jumlah suapnya kecil, mudah menolaknya. Kalau iming-imingnya besar, itu bisa menggoyahkan iman. Dan banyak yang gagal di sini. Maka al-Qur’an mengingatkan tadi itu.”

Baladena: “Jadi Abah Nasih sudah siap untuk bertempur nih?”

Abana: “Alhamdulillah sekarang makin siap. Sudah berkunjung selama beberapa bulan terakhir ini sampai ke ujung-ujung Dapil I. Dimulai dari Kabupaten Kendal, nyambi sedikit-sedikit Kota Semarang, lalu Kabupaten Semarang, dan terakhir Kota Salatiga. Karena nyaleg inilah, saya tahu bahwa masih ada desa-desa di pinggiran Kabupaten Semarang yang ternyata masih sangat jelek. Kalau ekonomi jelek, maka implikasinya juga besar. Gizinya hampir bisa dipastikan buruk. Kalau gizinya buruk, maka pendidikannya pasti juga tertinggal. Mudah sekali mengaitkannya.”

Baca Juga  Mohammad Nasih dan Rekonstruksi Paradigma Perempuan

Baladena: “Kalau jadi anggota DPR nanti, apa yang akan Abah Nasih lakukan pertama kali?”

Abana: “Saya tidak mau berjanji dulu. Takut saya tidak bisa memenuhi. Niat mau masuk surga dengan memperbesar peran, gara-gara janji yang tak terpenuhi malah masuk neraka. Tapi saya sudah punya peta jalan yang akan saya tempuh. Saya akan memperbaiki dulu kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan kualitas SDM. Itu berkaitan dengan kesehatan dan pemenuhan gizi masyarakat. Kalau gizi dan kesehatan sudah bisa diperbaiki, kita baru akan punya SDM yang bisa dididik. Maka harus disediakan pendidikan berkualitas untuk semua. Pendidikan kita harus gratis untuk semua. Jangan ada lagi anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan karena tidak mampu bayar. Pendidikan ini ibarat tangga berjalan atau elevator yang akan mengangkat anak-anak bangsa naik dengan otomatis. Kalau seluruh SDM kita terdidik dengan baik, maka mereka akan memiliki daya saing global yang andal. Mereka akan menjadi orang-orang yang penuh dengan inisiatif dan kreatif. Tak akan ada lagi pengangguran. Kesejahteraan dan kemakmuran akan tercipta dengan sendirinya. Tapi, sekali lagi, untuk membuat kebijakan politik yang mengarah ke sana, pasti akan mengalami perlawanan sengit, sehingga terjadi pertempuran besar yang terus menerus. Maka saya perlu dukungan. Dukungan suara itu harus nomor satu, ditambah lagi dengan iringan doa.” *

Mahasiswa KKN UIN Walisongo Semarang Gemakan Moderasi Beragama Melalui Khutbah Jumat

Previous article

Kiai dan Permainan Politik di Situbondo

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi

More in Nasional