Mendekati Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 nanti, tak sah rasanya bila kita tidak membincangkan soal gonjang-ganjing dunia perpolitikan. Tak perlu jauh-jauh meraba hingga tingkat nasional, apalagi internasional, dalam tulisan ini kita coba menilik dunia perpolitikan di kabupaten yang sangat kental dengan budaya religiusnya, sampai ia mendapat julukan “Kota Santri”, yaitu Situbondo.

Kabupaten yang terletak di daerah timur laut jawa ini memiliki tarikan khasnya tersendiri saat memasuki tahun-tahun politik. Sesuai dengan namanya “Kota Santri”, sebagaimana santri pada umumnya yang sangat takdim kepada sosok kiai, dominan masyarakat di Situbondo pun melakukan hal yang sama, ketakdimannya kepada sang kiai dapat diacungi empat jempol.

Hari ini, saat Anda berkunjung dan berkelindan di jalanan Situbondo, tak jarang, bahkan hampir di setiap pinggir jalannya dihiasi oleh pernak-pernik yang sangat berwarna, pun juga tak sedikit yang memasang foto sosok kiai di belakang sang calon. Seakan-akan tampilnya sang kiai memiliki pengaruh yang besar terhadap masa para pemilihnya, namun sayangnya perkiraan itu tidak meleset, adalah fakta bahwa betul sekali hal ini terjadi.

Belakangan ini sang penulis mendengar beberapa cuitan masyarakat – baik itu dari ‘Reng Situbendeh’ sendiri, bahkan di luarnya – yang mengatakan: “Bile bekna acalona cong, cokop sowan ka kiae, mun edukung, lebih deri 50% paste ngenning,” kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia kurang lebih artinya: “Kalau kamu ingin mencalonkan diri (baca: Caleg, Cabup, dsb.), cukup sowan ke kiai, dan bila mendapat restu dukungannya, maka persentase terpilihnya lebih dari 50%”. Wah… sangat fantastis bukan?

Baca Juga  Politik dalam Secangkir Kopi 

Memang, apabila kita melihat realita yang terjadi, sosok kiai menjadi kunci yang direbut-rebutkan oleh para calon untuk memasuki ruang dan menduduki kursi jabatan.

Saat saya melakukan refleksi untuk menganalisa kenapa hal itu sampai terjadi, saya menyimpulkannya menjadi beberapa poin tesis, diantaranya:

Budaya “Kota Santri” yang menghegemoni kohesi sebagian masyarakat.

Mindset sebagian masyarakat masih terjangkit logical fallacy dalam menentukan sosok pemimpin.

Terjadi ketidakseimbangan antara teosentrisme dan antroposentrisme di kalangan sebagian masyarakat.

Kita kupas dari poin pertama, tulisan “Kota Santri” yang dipajang di pojok-pojok kota, bila dinikmati terus-terusan, sedikit demi sedikit akan mengikis pikiran masyarakat, memperkuat doktrin, sehingga relasi patron-klien antara kiai dan kaumnya akan semakin kuat.

Yang kedua, logical fallacy sendiri dipahami sebagai suatu kesalahan umum dalam akar pemikiran yang akan merusak landasan logika dari argumen sendiri. Alhasil, argumen yang terlihat benar tersebut sebenarnya mengandung kesalahan fatal dalam cara bernalarnya. Seperti misalnya “Saya memilih calon A karena dia didukung dan dipilih oleh kiai A,” pemikiran yang seperti ini harus segera dieliminasi.

Ketiga, dalam ajaran agama pun, kalau kita membaca karya tulisan Prof. Kuntowijoyo yang berjudul “Visi Teologis Islam”, di sana sangat-sangat jelas Islam menempatkan posisinya, yaitu di antara golongan ekstrem ‘teosentrisme’ (orang-orang yang hanya mengatribusikan tuhan dan menyingkirkan akal) dan ‘antroposentrisme’ (kebalikan si teosentrisme, yaitu anggapan bahwa manusia adalah pusat segalanya).

Saking takdimnya kepada sosok kiai, dalam memilih sang calon, mereka sebagian masyarakat tak perlu menimbang-nimbang pikirannya lagi untuk memutuskan pilihan pemimpinnya, apa yang dipakon atau diperintah kiai, maka langsung saja mereka mencobolosnya, dalam bahasa jawanya biasa diucap: “sendiko dawuh”. Nah ini adalah salah satu amalan dari teosentrisme.

Baca Juga  Kacaunya Sistem Politik di Indonesia

Meminjam teori strategi kekuasaan ala Pierre Bourdieu, bahwa apa yang dilakukan oleh kiai di sini tak jauh seperti konsep “Habitus, Kapital dan Arena” yang dicetus oleh Bourdieu itu. Bagi Bourdieu, konsep habitus dipakai untuk membongkar mekanisme dan strategi dominasi yang dibatinkan – yang selama ini diamati melulu dari akibat-akibat di luar individu. Sementara konsep kapital (modal atau sumber daya), kepemilikan atau komposisinya, kerap dipakai untuk menguasai atau mendominasi suatu masyarakat. Bourdieu membagi empat jenis kapital: kapital ekonomi, kapital budaya, kapital sosial, dan kapital simbolik. Terakhir, konsep arena merupakan konsep di mana pertarungan para pemilik kapital dan strategi dominasi (dikuasai atau menguasai) itu terjadi. Konsep ini tidak bisa dipisahkan dari habitus (situasi pengorganisasian sosial) dan kepemilikan kapital (modalitas kekuasaan).

Kebiasaan seperti ini tentu memiliki dampak positif dan negatif. Positifnya, adalah ketika sang kiai betul-betul melakukan analisa terhadap sosok pemimpin yang tepat dibutuhkan masyarakat, maka masyarakat yang biasanya hanya memiliki daya analisa sempit, akan turut memilih pemimpin tersebut. Namun sebaliknya, apabila pemimpin yang dipilih berdasarkan kedekatan atau hal lain yang berbau materialistik, maka bukan tidak mungkin masyarakat akan memilih pemimpin yang tak diidamkan oleh sebagian elemen masyarakat lain yang memiliki kesadaran terhadap hal itu.

Dalam putusannya, tindakan ini merupkan salah satu sebab atas akibat merendahnya kualitas demokrasi dan runtuhnya pemilu di negeri ini. Karena lagi-lagi hak suara milik rakyat bukan ditentukan oleh akar argumentasinya sendiri yang kuat, melainkan karena ikut-ikutan orang selain dirinya. Maka jangan heran kalau lima tahun mendatang, atau lima tahun sebelumnya, kota ini akan begitu-begitu saja.

Baca Juga  Sekularisasi Turki dan Salah Kaprah Pemikiran Ali Abdur Raziq

Apabila kita memandang Indonesia atau yang ada di dalamnya, yaitu Situbondo dalam lima tahun mendatang, kecil kemungkinan akan diserang oleh negara asing secara militer. Namun lebih mungkin akan terkena dampak perubahan iklim, ketimpangan sosial-ekonomi, buruknya kualitas pendidikan, ketertinggalan iptek dan kosongnya imtaq. Sehingga pada akhirnya, dibutuhkan pemimpin yang berani, pemimpin yang siap menghadapi tantangan masa depan. Dan pemimpin dengan kriteria tersebut akan tercapai, apabila rakyat memilihnya betul-betul dilandaskan pada akar argumen dirinya yang kuat merupakan harga mati sebelum akhirnya menentukan pilihan.

Apakah para pembaca budiman juga menjadi salah satu golongannya? Semoga tidak, mari kita berpolitik dengan sehat demi kehidupan ke depan yang lebih sehat, apa yang akan Anda rasakan di lima tahun ke depan adalah pilihan Anda sendiri.

Politik Medan Perjuangan Terberat

Previous article

18:18 : Indah Yang Kuimani

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi

More in Politik