Oleh : Dr. Moh. Khamim, SH. MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Poligami adalah perbuatan seorang laki-laki dengan mengumpulkan untuk menjadi tanggungannya dua sampai empat istri. Setidaknya ada 3 (tiga) norma hukum yang ada pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mengatur poligami yaitu : Pasal 3 yang normanya berbunyi : 1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, 2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan.
Pasal 4 normanya berbunyi : 1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang maka Ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. 2) Pengadilan hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selanjutnya, dalam Pasal 5 yang normanya berbunyi : 1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : ada persetujuan dari isteri/isteri-isteri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka, dan adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Kemudian, 2) Persetujuan tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangna 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
Selain diatur dalam undang-undang, dasar poligami ada pada Ayat suci Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 3 : Artinya “Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu tikut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Dahulu poligami merupakan hal yang sudah biasa, banyak bangsa sejak sebelum diturunkannya Al-qur’an telah melakukan praktik poligami. Bahkan poligami yang dilakukan bisa bebas tanpa batas. Namun pada zaman Nabi Muhammad SAW, praktek poligami ini diberlakukan pembatasan jumlah maksimal 4 (empat) isteri yang dapat dikawini. Pembatasan ini selain merujuk pada Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 3 juga melihat nilai keadilan yang dapat dilakukan laki-laki kepada istrinya.
Hal ini karena pada hakikatnya istri juga berhak untuk mendapatkan hak dan keadilan dari suami yang sama. Adapun hikmah dari poligami yang dapat diambil contoh dari Rasulullah SAW, ada 4 hikmah seperti : (1) Hikmah syariat, artinya Rasulullah SAW mencontohkan bahwa poligami itu mubah, oleh karena itu beliau melakukannya sebagai contoh kepada umatnya. (2) Hikmah pendidikan, dengan berpoligami Rasulullah SAW ingin menyebarkan pendidikan Islam dan pengajaran agama kepada isteri-isterinya. Artinya isteri-isteri Rasulullah SAW mengetahui bahwa gaya hidup, sikap, dan praktik berkeluarga beliau dapat dicontoh oleh mereka para isterinya untuk dapat diajarkan dan disampaikan ke orang lain.
Sebagai contohnya adalah Siti Aisyah, beliau selalu menjadi rujukan dan pusat informasi tentang persoalan wanita. (3) Hikmah Politik, dengan berpoligami Rasulullah SAW dapat mengajak suku lain untuk bisa masuk ke agama Islam dan bersatu dengan beliau. Hal ini dilakukan untuk kepentingan politik agar bangsa arab tidak terpecah belah. Seperti contoh Rasulullah SAW menikahi Juwairiyah seorang putri dari Harith Suku Bani Mustaliq, dan (4) Hikmah Sosial, hikmah yang menjadi tujuan Rasulullah SAW untuk memuliakan janda para pejuang Islam yang gugur dimedan perang. Yang dinikahi Rasulullah SAW adalah janda yang sudah lanjut usia, tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup, menjaga jiwa, dan keyakinan agama Islamnya.