*Oleh : Annisa Nur Rizky, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari sekitar 18. 306 pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai sekitar 95. 181 km dan wilayah laut yang mencakup 5,8 juta km², termasuk Zona Ekonomi Eksklusif. Ketiga aspek ini menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia.
Indonesia sendiri kaya akan sumber daya laut, sehingga banyak individu atau negara lain yang selalu berhasrat untuk memiliki dan mengeksploitasi kekayaan hayati yang terdapat di pulau-pulau Indonesia, salah satunya adalah beragam jenis ikan yang ada di Laut Indonesia.
Potensi sumber daya hayati laut yang paling signifikan adalah Perikanan. Perikanan memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, serta meningkatkan taraf hidup masyarakat, khususnya nelayan kecil, pembudidaya ikan kecil, dan berbagai pelaku usaha di sektor perikanan. Upaya ini dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan, serta ketersediaan dan keberlanjutan sumber daya ikan.
Sumber daya ikan merujuk pada semua jenis ikan yang didefinisikan sebagai segala organisme yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di lingkungan perairan. Dalam aktivitas perikanan, metode penangkapan ikan dan alat yang digunakan berkembang dengan sangat pesat, dengan tujuan untuk memperoleh ikan dalam waktu yang relatif singkat dan dalam jumlah besar.
Dalam kamus istilah Perikanan, Penangkapan didefinisikan sebagai usaha untuk melakukan penangkapan atau pengumpulan ikan serta jenis-jenis sumber daya hayati lainnya, dengan dasar bahwa ikan dan sumber hayati tersebut memiliki nilai atau manfaat ekonomis.
Dalam satu dekade terakhir, kegiatan eksploitasi dan eksplorasi hasil perikanan di Indonesia menunjukkan peningkatan yang signifikan. Namun, di balik potensi tersebut, terdapat aktivitas yang menyertai eksplorasi di laut, yaitu tindak pidana perikanan yang sangat merugikan negara. Menurut Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), tindak pidana perikanan tersebut dikenal dengan istilah Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing (IUU Fishing), yang merujuk pada praktik penangkapan ikan yang dilakukan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
Negara-negara kepulauan yang berada dalam posisi strategis dan memiliki potensi sumber daya perikanan yang melimpah, menarik perhatian kapal-kapal nelayan asing untuk melakukan penangkapan ikan secara ilegal, yang selanjutnya akan disebut sebagai Illegal Fishing.
Selain itu, salah satu faktor penyebab terjadinya Illegal Fishing adalah meningkatnya kebutuhan ikan di tingkat global, sementara di sisi lain pasokan ikan di seluruh dunia mengalami penurunan. Hal ini mengakibatkan terjadinya kelebihan permintaan, terutama untuk jenis ikan dari laut seperti Tuna. Situasi ini berkontribusi secara signifikan terhadap masalah penurunan persediaan ikan di lautan.
Berdasarkan informasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, terdapat 14 zona fishing ground di dunia, namun saat ini hanya ada 2 (dua) zona yang masih memiliki potensi, salah satunya terletak di perairan Indonesia.
Pada tahun 2006, diperkirakan potensi perikanan Indonesia mencapai 6,26 juta ton per tahun, dengan rincian 4,4 juta ton yang dapat ditangkap di perairan Indonesia dan 1,86 juta ton di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Namun, pada tahun 2007, sisa potensi perikanan tangkap hanya tersisa 20%. Hal ini diduga merupakan akibat dari adanya praktik illegal fishing di wilayah perairan Indonesia.
Menurut data dari Food and Agriculture Organization (FAO), kerugian yang dialami Indonesia akibat illegal fishing diperkirakan mencapai 30 triliun per tahun. Kondisi ini mengakibatkan posisi perdagangan hasil ikan Indonesia jauh tertinggal dibandingkan beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Thailand dan Vietnam, yang menduduki posisi ketiga dan keempat dalam peringkat perdagangan terbesar dunia, sementara Indonesia hanya berada di posisi ketujuh.
Meskipun demikian, Indonesia merupakan produsen ikan terbesar kedua di dunia setelah Cina, dengan total produksi sebesar 5,3 juta ton untuk perikanan tangkap dan 4,7 juta ton untuk perikanan budidaya, yang jauh melebihi Thailand dan Vietnam.
Kegiatan penangkapan ikan secara ilegal sering kali dilakukan oleh nelayan-nelayan asing dari negara-negara tetangga yang memasuki perairan Indonesia tanpa izin. Dengan berbagai modus operandi, mereka menangkap ikan di kawasan perairan Indonesia dan kemudian menjualnya di luar negeri dengan keuntungan yang sangat besar. Praktik penangkapan ikan ilegal ini merugikan negara secara finansial, karena berdampak pada penurunan produktivitas serta hasil tangkapan yang signifikan, sekaligus mengancam keberlanjutan sumber daya perikanan laut Indonesia. Nelayan asing yang sering memasuki wilayah perairan Indonesia antara lain berasal dari Thailand, Vietnam, Filipina, dan Malaysia.
Perairan Natuna, perairan Sulawesi Utara, serta perairan sekitar Maluku dan Laut Arafuru adalah kawasan yang paling rentan terhadap aktivitas penangkapan ikan illegal. Kerentanan perairan Indonesia ini disebabkan oleh adanya potensi besar sumber daya perikanan di kawasan tersebut, ditambah dengan posisi geografis yang berada di daerah perbatasan atau dekat dengan perairan internasional, sehingga sangat memungkinkan bagi nelayan asing untuk memasuki wilayah perairan Indonesia dan melakukan penangkapan ikan secara ilegal.
Sudah menjadi informasi yang banyak diketahui bahwa lemahnya pengawasan di wilayah perairan mengakibatkan kerugian bagi Indonesia yang mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya. Pemerintah sudah berupaya untuk memperbaiki dan menegakkan hukum di wilayah kedaulatan Indonesia.
Namun, langkah yang diambil oleh pemerintah dianggap kontroversial karena melibatkan tindakan seperti pembakaran, pengeboman, penembakan, dan penenggelaman kapal nelayan asing. Tindakan ini dianggap sebagai bentuk “shock therapy”, meskipun hanya dilakukan dalam jangka waktu tertentu.
Terkait dengan permasalahan Illegal Fishing, penting untuk mempertimbangkan upaya suatu negara yang mengalami kerugian. Penanganan kasus Illegal Fishing oleh suatu negara harus diatur dalam peraturan yang jelas. Namun, pada kenyataannya, upaya yang diambil oleh satu negara bisa berbeda dari negara lainnya.
Salah satu contohnya adalah kasus Illegal Fishing yang terjadi di Indonesia pada akhir tahun 2014. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia mengambil langkah dengan menenggelamkan kapal nelayan asing melalui metode peledakan atau penenggelaman.
Tindakan illegal fishing tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi dengan hilangnya nilai triliunan rupiah, tetapi juga menghancurkan perekonomian para nelayan. Selain itu, ia juga menciptakan dampak politik yang mempengaruhi hubungan antar negara yang berdekatan, serta melanggar kedaulatan negara dan mengancam keberlanjutan sumber daya alam hayati.
Tindakan yang melanggar kedaulatan negara dan mengancam keberlanjutan sumber daya hayati laut, atau kegiatan terkait perikanan, merupakan perbuatan yang merugikan kedamaian, ketertiban, atau keamanan suatu negara. Tindakan ini telah diatur dalam United Nations Convention on The Law of Sea 1982.
Dengan menenggelamkan kapal dan peralatannya, pencuri akan berpikir dua kali sebelum melakukan pencurian lagi di wilayah Indonesia, karena tujuan utama pencurian adalah untuk meraih keuntungan. Meskipun terdapat pro dan kontra terkait penenggelaman kapal asing yang melakukan penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia, tindakan ini bertujuan untuk menegaskan ketegasan dan kewibawaan pemerintah Indonesia dalam melindungi wilayah serta sumber daya alam yang dimiliki, menjaga kedaulatan, menciptakan efek jera, mengamankan laut dari eksploitasi oleh pihak asing, dan sekaligus merupakan langkah nyata untuk mewujudkan visi poros maritim.
Komitmen pemerintah dalam memerangi pencurian ikan merupakan langkah strategis yang sangat penting untuk memperkuat sektor perikanan Indonesia, terutama di tengah masuknya era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) saat ini. Tindakan ini menjadi krusial bagi Indonesia jika ingin berperan sebagai pemain utama dalam era MEA. Jangan biarkan Indonesia, yang kaya akan sumber daya ikan di lautnya, hanya menjadi penonton dalam perkembangan ini.
Kebijakan penenggelaman kapal asing ilegal diperkirakan tidak akan berdampak pada hubungan bilateral, regional, dan multilateral Indonesia dengan negara lain. Menurut Hikmanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional di Universitas Indonesia, ada lima alasan mengapa kebijakan ini seharusnya didukung dan tidak akan merusak hubungan antarnegara. Pertama, tidak ada negara di dunia yang membenarkan tindakan warganya yang melakukan kejahatan di negara lain.
Kapal asing yang ditenggelamkan adalah kapal yang tidak memiliki izin untuk menangkap ikan di wilayah Indonesia, sehingga termasuk dalam kategori tindak kriminal. Kedua, penenggelaman dilakukan di wilayah kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia (Zona Ekonomi Eksklusif). Kedua, penenggelaman dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang sah, yaitu Pasal 69 ayat (4) Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
Ketiga, negara lain perlu menyadari bahwa Indonesia menderita kerugian akibat tindakan kriminal tersebut. Jika hal ini dibiarkan berlanjut, maka kerugian yang dialami akan semakin meningkat. Keempat, proses penenggelaman telah mempertimbangkan keselamatan para awak kapal.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 69 ayat (4), dinyatakan bahwa: “Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. ” Pasal ini memberikan hak kepada penyidik atau pengawas perikanan Indonesia untuk melakukan tindakan khusus, seperti penenggelaman kapal asing, dengan syarat adanya bukti permulaan yang mencukupi, sesuai dengan penjelasan dalam pasal tersebut.
Selanjutnya, proses penenggelaman kapal tersebut tidak dilakukan sembarangan; melainkan harus melalui pemeriksaan dokumen kapal dan pembuktian lainnya, sebagaimana diatur dalam pasal ini yaitu dengan memerlukan bukti permulaan yang cukup. Tindakan dari penyidik ini dipertegas dengan dikeluarkannya Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI nomor 1 tahun 2015 tentang Barang Bukti Kapal dalam Perkara Pidana Perikanan, yang memberikan dukungan kepada penyidik dan/atau pengawas perikanan untuk melaksanakan tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing.
Penenggelaman kapal dilakukan setelah awak kapal atau nelayan asing diselamatkan dan proses hukum dilaksanakan. Tindakan ini dianggap penting untuk mencegah terulangnya pencurian ikan di perairan Indonesia. Sesuai dengan Pasal 62 ayat (4) huruf (k) dan Pasal 73 UNCLOS, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki hak untuk menegakkan hukum di wilayah ZEE apabila terjadi pelanggaran hukum di area tersebut. Namun, Pasal 73 ayat (3) UNCLOS menyatakan bahwa hukuman yang dijatuhkan oleh negara pantai terhadap tindakan di wilayah ZEE tidak boleh termasuk hukuman badan. Indonesia hanya dapat menerapkan hukuman badan jika telah menandatangani perjanjian bilateral dengan negara lain. Kapal nelayan asing yang terlibat dalam pencurian ikan dapat dikenakan denda, dan nelayan dari kapal tersebut dapat dideportasi ke negara asalnya. Tindakan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 73 ayat (4): “Dalam hal penangkapan ikan atau penahanan kapal asing, Negara Pantai harus segera memberitahukan kepada Negara bendera, melalui saluran yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang kemudian dijatuhkan.”
Hukum Internasional telah mengakui bahwa penenggelaman kapal asing yang melanggar aturan yang berlaku oleh negara lintasan, termasuk Indonesia yang terbuka untuk melakukannya, adalah sah. Hal ini disebabkan karena melintasi wilayah teritorial tanpa izin dan melakukan tindakan illegal fishing di dalamnya merupakan ancaman serius terhadap kedaulatan negara dan wilayah. Pelanggaran tersebut telah melanggar prinsip Yurisdiksi Universal, mengingat itu merupakan sebuah kejahatan berat. Sebagaimana kita ketahui, prinsip dasar dalam penegakan Hukum Internasional adalah mengutamakan yurisdiksi nasional.
Tindakan tegas terhadap penenggelaman kapal, jika ditinjau dari aspek hukum, tidak bertentangan dengan UNCLOS melalui pengeboman kapal. Hal ini dikarenakan subjek yang dilindungi oleh Pasal 73 ayat (3) adalah manusia, bukan kapalnya. Untuk manusia, hukuman yang dapat diberikan adalah denda atau deportasi tanpa perlu menjalani pidana kurungan. Sementara itu, kapal yang disita atau bahkan ditenggelamkan oleh Pemerintah Indonesia dilakukan tentu saja dengan mengikuti proses yang sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku di negara tersebut.
Kebijakan pemerintah Indonesia untuk menenggelamkan kapal ikan yang terbukti melakukan illegal fishing di wilayah perairan Indonesia memang menuai reaksi pro dan kontra. Dari sekian banyak negara yang nyata-nyata keberatan atas kebijakan penenggelaman kapal adalah Thailand, di mana negara tersebut secara resmi mengeluarkan surat keberatan yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia. Pada dasarnya, instruksi Presiden Republik Indonesia untuk menenggelamkan kapal ikan ilegal tidak melanggar hukum, baik hukum Nasional maupun hukum Internasional. Hal ini merujuk pada asas-asas hukum pidana yang berlaku di Indonesia, salah satunya adalah asas teritorial. Titik berat dari asas teritorial ini adalah lokasi atau teritorial terjadinya tindak pidana.
Dengan demikian, berdasarkan asas teritorial ini, maka setiap orang, baik orang Indonesia maupun orang asing, yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah atau teritorial Indonesia harus tunduk pada aturan pidana Indonesia. Oleh karena itu, negara lain harus menghormati proses penegakan hukum dan pengadilan yang dilakukan di Indonesia.







