Pendikar Berbasis Zonasi ala Abana

Baladena.ID

Bang Nasih, begitulah saya memanggil Dr. Mohammad Nasih. Kata “Bang” berasal dari kata “Abang” yang berarti sebutan bagi kakak laki-laki (saudara laki-laki) atau panggilan bagi senior yang memiliki kedekatan secara emosional. Ada beberapa alasan kenapa saya memanggil beliau dengan panggilan Abang. Pertama, beliau seorang senior yang selalu memberi motivasi, membimbing, dan memberi contoh bagi saya agar terus berkembang layaknya seperti kakak kepada adiknya.

Kedua, sebagai bentuk penghormatan, karena beliau sosok yang inspiratif (keilmuan, idealitas, dan lain-lain) dan kaya ide kreatif yang selalu muncul khususnya terkait dengan pola pembentukan karakter calon pemimin bangsa. Salah satu ide kreatifnya muncul ketrika kami (saya, Bang Nasih, dan Mukharom Assabab) sedang berbincang-bincang, beliau berkata: “Kita merekrut anak-anak kampung yang memiliki semangat belajar tinggi, kemudian dikarantina (diasramakan) untuk dididik menjadi pemimpin yang cerdas dan tangguh, kemudian dicukupi kebutuhan primernya dan diberi beasiswa kuliah S1 bahkan  sampai S2,” ucap Bang Nasih. Itu perkataan Bang Nasih yang diucapkan sembilan tahun silam dan masih terngiang di telinga saya. Saat itu, saya berfikir gagasan tersebut sulit terealisasi mengingat pada saat itu saya pribadi baru belajar berumah tangga dan belum mapan betul secara ekonomi. Yang terbesit dalam pikiran saya adalah uang dari mana untuk memberi beasiswa pada anak-anak tersebut. Tetapi Bang Nasih memiliki semangat dan sangat yakin gagasan tersebut akan dapat teralisasi.

Setelah beberapa bulan gagasan tersebut pun direalisasikan. Dengan modal menyewa satu rumah kecil di daerah Ringinsari Ngaliyan, dibentuklah Pesantren Mahasiswa Pemuda Islam (PMPI). Kemudian PMPI dijadikan tempat untuk berdiskusi bagaimana teknis dan konsep untuk merealisasikan gagasan merekrut anak-anak dari kampung yang memiliki semangat belajar tinggi tetapi terkendala dengan biaya.

Pada tahun 2011, PMPI berhasil merekrut kurang lebih 25 santri dari kampung untuk dididik dengan sangat keras dan disiplin tinggi agar menjadi pemimpin-pemimpin yang tangguh dengan diberi beasiswa S1 dan disediakan tempat tinggal (asrama). Salah satu jargon PMPI kala itu adalah “Keprihatinan adalah gizi”. Jargon tersebut merupakan satu konsep pendidikan yang menunjukan bahwa belajar (untuk menjadi orang pandai) membutuhkan pengorbanan dari berbagai aspek, seperti meneguhkan niat, memanfaatkan waktu, mengurangi makan, mengurangi tidur, keluar dari zona nyaman, dan mau bekerja keras dengan ikhlas dan pantang mengeluh. Untuk menginternalisasikan konsep tersebut kepada santri di PMPI, maka Bang Nasih membuat sistem pesantren yang sangat ketat antara lain: Pertama, menyediakan mentor (guru) yang berkompeten dan harus tinggal di lingkungan pesantren. Para mentor, harus bisa menjadi contoh bagi para santrinya dalam segala hal, baik ucapan, sikap, maupun perbuatan, sehingga mereka dapat menjadi suri tauladan yang baik bagi para santrinya.

Menurut Khairon Rosyadi (2004), setidaknya ada tiga fungsi guru  yang dapat dioptimalkan, agar guru dapat diidolakan peserta didiknya. (1) Guru sebagai pengajar (ta’lim), yaitu seorang guru harus menguasai materi (ilmu pengetahuan) dan mampu menyampaikan secara baik kepada peserta didik dengan berbagai metode dan pendekatan yang sesuai dengan perkembangan serta karakteristik peserta didik. Guru harus bisa menjadi guru pembelajar, yaitu guru yang selalu meningkatkan kapasitas dirinya dengan terus belajar, sehingga peserta didik yakin bahwa gurunya menguasai semua ilmu yang diajarkan kepada mereka. Ini penting dilakukan oleh seorang guru, karena dengan perkembangan teknologi peserta didik dapat belajar darimana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Bisa jadi peserta didik lebih menguasai materi yang diajarkan daripada gurunya. Jika ini tidak disadari oleh guru, maka kewibawaan guru akan turun dihadapan peserta didiknya.

(2) Guru berperan sebagai pendidik (ta’dib), yaitu guru harus mampu menginternalisasikan nilai-nilai budi pekerti pada diri peserta didik, sehingga menjadi karakter. Guru diharapkan berinovasi agar mampu menciptakan suasana yang dapat memfasilitasi dan menciptakan momen untuk penanaman nilai-nilai budi pekerti baik dalam direct teaching (pembelajaran langsung) maupun indirect teaching (pembelajaran tidak langsung). Guru lebih menekankan dirinya sebagai teladan. Guru harus mampu memberikan contoh dalam perbuatan sehari-hari, sehingga ilmu yang didapat di bangku sekolah dapat diterjemahkan dalam kehidupan seharai-hari.

(3) Guru sebagai pembimbing (tarbiyah). Pada posisi ini guru diharapkan mampu memposisikan diri sebagai konselor bagi peserta didiknya. Guru harus lebih peka dan banyak mendengar apa yang menjadi keluhan peserta didik, kemudian memberi solusi terhadap problematika yang dihadapi peserta didiknya. Guru dituntut untuk lebih dekat dengan peserta didik, sehingga mengtahui problematika dan kecenderungan bakat dan minat peserta didik sebagai bahan untuk membuat program bimbingan. Kedekatan peserta didik dengan guru secara proporsional akan menumbuhkan ikatan emosional antara guru dan peserta didik, yang dapat memperlancar komunikasi sehingga peserta didik memposisikan gurunya sebagai patner dan teman belajar yang menyenangkan tanpa menghilangkan kewibawaan guru. Mengoptimalkan tiga fungsi guru di atas, maka diharapkan akan lahir guru yang lebih humanis dan professional, sehingga kehadirannya selalu diharapkan dan dinanti oleh peserta didiknya (santrinya) layaknya sebagai sang idola.

Kedua, struktur pengurus pesantren dibuat seperti sebuah negara. Ketua santri disebut Presiden yang kemudian didampingi wakil presiden dan dibantu oleh para mentri dan lembaga-lembaga tinggi yang dibentuk sesuai kebutuhan. Salah satu tujuannya adalah agar santri terbiasa berorganisasi, menanamkan jiwa pemimpin dan terbiasa mengurusi kepentingan umat sejak dini pada setiap santrinya.

Ketiga, menciptakan budaya di lingkungan pesantren, seperti budaya salat berjamaah, membaca literatur, menulis karya ilmiah, membiasakan berkomunikasi dengan bahasa Arab dan Inggris, dan menghafal al-Qur’an dan lain sebagainya. Keempat, melakukan kerja sama dengan lembaga lain seperti dunia usaha dan dunia industri atau lembaga lain yang dibutuhkan untuk pengembangan potensi para santri. Kelima. membuat peraturan. Peraturan dibuat bersama antara santri dan mentor-mentornya dan bagi yang melanggar dengan sadar menerima hukuman. Hal tersebut bertujuan untuk membiasakan santri untuk berkomitmen dengan apa yang telah disepakati dan jika melanggar peraturan dengan sadar mendapat hukumnanya.

Sebagai contoh, santri yang terlambat shalat berjamaah akan menerima hukuman dengan memakai tulisan di kepala “Saya tidak solat berjamaah” dan berlari mengelilingi kampung dan lain sebagainya. Secara kasap mata mungkin hukuman seperti itu aneh, tetapi dengan hukuman tersebut santri perlahan memiliki kesadaran bahwa segala bentuk kegiatan yang dirancang di PMPI pada dasarnya untuk kemajuan mereka semua. Sehingga dalam diri para santri akan tertanam kemandirian belajar, yaitu satu kesadaran yang muncul dalam diri santri bahwa belajar merupakan kebutuhan diri mereka bukan kebutuhan orang lain. Kemandirian belajar inilah yang akan menjadi pondasi untuk mengembangkan potensi-potensi lain yang ada dalam diri santri tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Kemadirian merupakan satu nilai karakter yang harus terus diinternalisasikan pada diri setiap siswa atau santri. Salah satu tugas berat lembaga pendidikan adalah menanamkan kemandirian belajar, kemandirian ini akan mudah terbentuk jika dalam satu lingkungan terdapat satu peraturan dan norma yang disepakati bersama. Model pembelajaran di PMPI terus disempurnakan sampai pada akhirnya PMPI berubah menjadi Monash Institute. Model Pendidikan yang diterapkan merupakan satu model pendidikan karakter (budi pekerti) dengan berbasis zonasi. Pendidikan karakter (pendikar) dapat didefinisikan sebagai pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan budipekerti, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.

Karakter individu dapat muncul dari olah pikir, olah hati, olah rasa, dan olah raga. Olah pikir berkenaan dengan proses nalar untuk mencari dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif menghasilkan pribadi yang cerdas. Olah hati berkenaan dengan perasan sikap dan keyakinan/keimanan menghasilkan pribadi yang jujur. Olah raga berkenaan dengan proses, kesiapan, peniruan, manipulasi dan penciptaan aktivitas baru. Olah raga menghasilkan pribadi yang tangguh. Olah rasa berkenaan dengan kemauan yang tercermin dalam kepedulian. Maka individu yang berkarakter adalah individu yang cerdas, jujur, tangguh, dan peduli. Model pendidikan di PMPI (sekarang Monash institute) banyak ditiru oleh orang lain, baik di lokal Kota Semarang maupun luar Kota Semarang. Bahkan, pemerintah Indonesia baru mencanangkan Pendidikan karakter (Pendikar) di Indonesia mulai pada tahun 2011 setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi menyampaikan ke publik pada saat acara puncak peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2011.

Pendikar sebagai respon terhadap realitas pendidikan yang masih mengedepankan kecerdasan yang bersifat kognitif. Implementasi pendikar di sekolah kala itu belum sistematis. Muatan nilai-nilai karakter masih dititipkan dalam kegiatan pembelajaran dan kegiatan lainnya (belum terintegrasi dalam kurikulum), sehingga belum ada formula, target, dan ukuran yang sama untuk mengukur tingkat keberhasilan pendikar di sekolah. Bahkan, laporan hasil belajarnya masih berbentuk anggka, sehingga belum menggambarkan ketercapaian pengembangan karakter peserta didik pada Tahun 2017 presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan presiden (Perpres) No. 87 tentang Penguatan Pendidikn Karakter (PPK) di sekolah.

Implementasi Perpres No. 87 tahun 2017 di sekolah dapat dilakukan dengan empat cara yaitu; Pertama, mendesain pembelajaran yang disengaja untuk tujuan memupuk dan membentuk karakter, dengan menerapkan kegiatan pembelajaran yang terstruktur dan sistematis. Proses pembelajaran terintegrasi pada semua mata pelajaran, sehingga akan menghasilkan learning experiences (pengalaman belajar) yang bermakna bagi pembentukan karakter peserta didik. Learning experiences yang bermakna dapat diperoleh melalui active learning (pembelajaran aktif), yaitu pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk aktif didalamnya, seperti penerapan model pembelajaran berbasis konstruktivistik, kooperatif learning, problem based learning dan sebagainya.

Kedua, kegiatan pembiasaan dalam kehidupan keseharian di sekolah, seperti membiasakan 5S (senyum, salam, sapa, sopan dan santun), membuang sampah pada tempatnya, menjaga dan merawat lingkungan sekolah, salat berjamaah bagi yang muslim, hari peduli pada sesama, hari berbagi dengan sesama, kantin jujur, dan lain-lain. Kegiatan yang bersifat pembiasaan harus dilakukan secara terus menerus. Ketiga, kegiatan belajar di luar kelas (outing class) yang terkait langsung maupun yang tidak terkait langsung dengan materi pelajaran. Seperti kegiatan, dokter kecil, palang merah remaja, pramuka, pencinta alam dan sebagainya. Semuanya harus dikembangkan untuk proses pembiasaan dan penguatan dalam rangka memupuk benih karakter peserta didik.

Keempat, kegiatan yang bersifat temporer, yaitu kegiatan yang dilakukan dengan waktu dan tempat tertentu seperti pesantren kilat, atau sejenisnya dengan tujuan untuk membentuk sikap religius. Kemah kebangsaan untuk memupuk sikap mandiri, patriotis, tolerans, disiplin, dan solideritas.  Galang persahabatan untuk memupuk jiwa persatuan dan kesatuan dan lain sebagainya, dengan melibatkan peran Orang tua, Komite Sekolah, Dunia Usaha Dunia Industri (DUDI), Akademisi, Penggiat Pendidikan, Pelaku Seni dan Budaya, Bahasa dan Sastra dan lain-lain.

Jika dikaitkan antara konsep pendidikan karakter yang dicanangkan pemerintah di atas, dengan model pendidikan di PMPI (Monash Institute) sudah sangat sesuai. Artinya Bang Nasih sudah tiga langkah lebih maju terhadap implementasi pola pendidikan karakter di sekolah dibandingkan konsep dari Pemerintah. Setelah sukses mendirikan pesantren Monash Institute, Bang Nasih juga mendirikan Sekolah Alam stara SD, SMP, dan SMA yang diberi nama Sekolah Alam Planet Nufo. Planet berarti satu tempat yang jauh dan bebas dari pengaruh-pengaruh negatif, Nufo merupakan singkatan dari Nurul Furqon.

Sekolah Alam Planet Nufo merupakan sekolah formal yang didesain untuk siswanya seperti hidup di alam untuk mengkaji al quran dan ilmu-ilmu lainnya. Sekolah ini juga dikemas sebagai tempat pembentukan karakter siswanya berbasis zonasi. Mereka tinggal jauh dari orang tua, mereka dituntut untuk mandiri. Penguatan pendidikan karakter tidak hanya tanggungjawab pendidikan formal. Pendidikan nonformal dan informal juga bertanggungjawab terhadap penguatan pendidikan karakter peserta didik. Akan sia-sia jika di sekolah sudah diajarai dan dibiasakan nilai-nilai karakter tetapi ketika kembali ke-lingkungan dan keluarganya tidak ada dukungan. Peserta didik akan terpengaruh lagi dengan nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai karakter yang dibiasakan di sekolah.

Penguatan pendidikan karakter tidak dapat lepas dari dukungan lingkungan dan keluarga peserta didik. Maka, pengembangan dan penginternalisasian karakter peserta didik, sekolah harus memiliki zona wilayah pembentukan karakter peserta didik. Sekolah yang peserta didiknya harus berasal dari lingkungan sekitar, para pendidiknya juga tinggal di tidak jauh dari sekolah. Dengan kata lain peserta didik dan gurunya bertempat tinggal di zona (wilayah) yang sama. Jika sekolah sudah dalam satu zona dengan peserta didik dan gurunya maka sekolah melakukan koordinasi dengan masyarakat dan orang tua untuk bekerjasama dan berkomitmen menciptakan lingkunaangan yang sesuai dengan program pembiasaan dan penanaman karakter yang ada di sekolah, sehingga ketika peserta didik selesai belajar dan kembali ke rumah menemukan kebiasaan dan kondisi yang sama seperti di sekolahnya. Hal tersebut akan memudahkan proses internalisasi nilai-nilai karakter kepada peserta didik. Sistem pendidikan zonasi akan memudahkan dalam proses pendidikan dan pengawasan setiap peserta didik karena mereka selalu ada kontrol dari gurunya selama 24 jam.

Ada beberapa keunggulan pendidikan berbasis zonasi ala Abang Nasih antara lain: Pertama, peserta didik akan belajar dekat dengan tempat tinggalnya, sehingga mengurangi biaya trasportasi yang berlebih, mengurangi resiko kecelakaan di jalan, peserta tidak capai di perjalanan, dan meminimalisir peluang kongko-kongko (nongkrong) di jalan setelah pulang sekolah. Dampak positif lainnya adalah peserta didik akan mudah berkonsultasi terkait kesulitan belajar yang dihadapi kepada gurunya. Kedua, orang tua dan masyarakat dapat memantau perkembangan anak setiap saat dan memastikan anak-anaknya belajar di sekolah dengan nyaman. Ketiga, memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa mendidik bukan hanya tanggungjawab sekolah saja tetapi merupakan tanggungjawab bersama antara sekolah masyarakat dan orang tua peserta didik. Keempat, guru mengajar dekat dengan tempat tinggalnya dan guru akan lebih mudah mengkomunikasikan perkembangan peserta didiknya kepada orang tua.

Sistem pendidikan di Indonesia sudah menerapkan sistem zonasi tetapi baru pada proses penerimaan peserta didik baru. Zonasi pendidik belum ada regulasi yang mengaturnya. Masih banyak guru yang mengajar jauh dari tempat tinggalnya. Hal ini tentu berpengaruh terhadap efektifitas kerja dan kontrol terhadap peserta didiknya. Menurut hemat penulis, pemerintah perlu membuat satu regulasi yang memfasilitasi guru dan tenaga pendidik mengajar atau bekerja di sekolah terdekat dengan tempat tinggalnya sebagai salah satu bentuk komitmen pemerintah terhadap penguatan pendidikan karakter di sekolah. Pendidikan karakter berbasis zonasi ala Abang Nasih bisa dijadiakan alternatif solusi untuk membentuk generasi bangsa yang religius, nasionalis, berjiwa gotong royong, mandiri dan berintegritas, sehingga di masa yang akan datang Indonesia menjadi negara yang mampu bersaing di tingkat global. Wallahu a’lam bi al-sawaab

Oleh: Ristam, M.Pd, Sejarah Hidup Monash, Praktisi Pendidikan Tinggal di Kota Semarang

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *