Monash dan Pendidikan Semi Militer

Istimewa

Pemuda selalu menarik untuk diperbincangkan. Ada pepatah Arab berbunyi:

شبان اليوم رجال الغد

“Pemuda hari ini, pemimpin esok hari.”

Dalam rangka memberi semangat kepada kaum muda dan untuk mempersiapkan pemuda di masa depan, Soekarno pun pernah berkata: “Beri aku seribu orang tua, niscaya akan aku cabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda niscaya akan ku guncangkan dunia. Seribu orang tua bisa bermimpi, satu orang pemuda bisa mengubah dunia.”

Perkataan Soekarno di atas mengindikasikan betapa pentingnya eksistensi kaum muda dalam rangka membentuk kemajuan dan peradaban suatu bangsa. Kaum muda merupakan harapan bangsa masa depan, karena yang akan menjadi pemimpin sekaligus pewaris estafet kepemimpinan adalah kaum muda. Namun, pemuda tidak semata-mata mampu mengubah dunia tanpa adanya usaha yang diperoleh. Diperlukan usaha yang keras dalam rangka mencapai peradaban bangsa.

Pemuda sebagai harapan bangsa tentu menjadi suatu yang paradoksal ketika melihat pemuda di era sekarang, mereka sering terjerat berbagai tindakan yang dapat membahayakan diri, bahkan menghilangkan harga diri, serta menurunkan harkat-martabat keluarga. Tindakan amoral yang disebabkan minusnya pemahaman keagamaan, tindakan “lucu” karena tidak didasarkan kepada ilmu pengetahuan, dan tindakan-tindakan lainnya yang membuat nama pemuda yang tadinya harum menjadi terdegradasi keharumannya.

Kita ngeri sekali melihat pemuda terjerumus dalam pergaulan bebas, narkoba, dan minuman keras. Belum pula rusaknya pengetahuan akibat salah belajar dan salah asuh, serta pengaruh teknologi yang disalahgunakan. Hal yang demikian harus segera dipikirkan jalan keluarnya, karena mereka sangat diharapkan kehadirannya di masa mendatang, guna menumbuhkan benih kebajikan di masyarakat kita dan memberantas kebatilan yang ada.

Permasalahan tersebut harus segera diatasi dengan tepat dan akurat, mengingat banyak sekali tindakan generasi muda yang berada di ambang batas dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan untuk bangsa ke depan, baik tidak sesuai dengan moralitas bangsa maupun ajaran agama masing-masing.

Pemuda memang disiapkan untuk menjadi pemimpin dimasa yang akan datang, minimal dia akan memimpin satu lingkup terkecil dari negara ini, yaitu keluarganya. Siapapun bisa jadi dan pasti jadi pemimpin, tettapi tidak semua orang mampu memimpin. Oleh sebab itu, anda yang masih muda yang masih memiliki banyak waktu luang harus benar-benar mepersiapkan diri untuk mengambil tongkat kepemimpinan tersebut dengan terus belajar dan berlatih.

Untuk dapat melakukan hal yang demikian, diperlukan pemuda dengan ilmu yang luas, spiritualitas yang kuat, dan keunggulan komparatif yang dapat menempatkan pemuda pada posisi tawar yang tinggi, sebagaimana harapan di atas. Imam syafii pernah berkata,

من أراد الدنيا فعليه بالعلم، ومن أراد الآخرة فعليه بالعلم ومن أراد هما فعليه بالعلم

“Siapa yang menghendaki dunia, maka dia harus punya ilmu, dan barang siapa yang menghendaki akhirat, maka dia harus punya ilmu, dan barang siapa yang menghendaki keduanya, maka dia harus punya ilmu.”

Ilmu menjadi kunci awal yang bisa membuka cakrawala seorang pemuda sebagai generasi penerus bangsa. Salah satu cara yang paling ampuh untuk menanamkan ilmu pengetahuan adalah melalui pendidikan sedini mungkin. Namun demikian, yang menjadi pertanyaan adalah saat ini generasi tidak mendapatkan pendidikan? Tentu jawabannya bisa macam-macam. Jelas bahwa para pemuda kita telah mendapat hak pendidikan sebagai warga negara, meski belum menyeluruh kepada seluruh pelosok negeri. Lalu apa yang perlu diperbaiki?

Melihat problem yang demikian, Mohammad Nasih, disingkat Monash, tergerak mengambil sedikit peran negara untuk membantu mencerdaskan kehidupan bangsa. Monash telah memulai itu sejak 2010 dengan mendirikan rumah kader pemimpin Monash Institute di Semarang, yang kemudian berkembang di berbagai tempat di antaranya Semarang, DKI Jakarta, dan Rembang. Monash tidak mendesain rumah perkaderannya sebagaimana lembaga pendidikan yang sudah ada. Dia menempuh jalan sunyi untuk mengembangkan Monash Institute secara mandiri dan independen, tanpa campur tangan pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya.

Mohammad Nasih merupakan tokoh yang sangat peduli terhadap nasib masa depan pemuda Indonesia. Oleh karena itu, Monash mencoba membangun perspektif baru guna mencetuskan generasi muda yang unggul. Tatanan pendidikan disusun sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Monash menerapkan strategi semi militer agar kaum muda siap menghadapi tantangan zaman dan sesuai dengan cita-cita bangsa.

Kebijakan Mohammad Nasih dalam mendidik disciples, sebutan untuk murid yang tinggal di Monash Institute, mungkin dianggap tidak sesuai dengan prinsip kebebasan oleh beberapa kalangan. Akan tetapi, hal tersebut merupakan strategi yang didesainnya dalam rangka mempersiapkan generasi muda dalam menghadapi permasalahan ke depan, di mana kaum muda sering terombang-ambing dalam kesalahan fundamental yang berakibat fatal. Oleh karena itu, Monash berusaha sekuat tenaga walaupun harus mengarungi berbagai tantangan yang seringkali melandanya.

Jika kita berkaca pada sistem pendidikan militerisme, maka akan ditemukan jiwa-jiwa yang kokoh dan bersinergi lahir dari lingkungan yang memiliki tingkat disiplin yang tinggi. Monash menjadikan teknik mendidik seperti militer sebagai rencana bagi Indonesia ke depan yang harus diwujudkan. Hal yang menjadi pertimbangannya untuk menerapkan hal tersebut adalah agar disciples bersinergi layaknnya para tentara, bahkan melebihi tentara. Berjuang melebihi tentara tidak harus diperlakukan dengan perlakuan fisik seperti tentara dan taruna, akan tetapi kualitas dan semangat harus melebihi tentara. Oleh karena itu, teknik mendidik yang keras itu oleh disciples sering disebut sebagai teknik mendidik semi militer.

Pada dasarnya, Monash menerapakan konsep pendidikan semi militer bukan untuk memenjarakan disciples dari berbagai bentuk kebebasan, melainkan sebagai upaya dalam rangka mewujudkan generasi emas agar tidak menjadi beban bagi negara. Sebab, beban negara kita sudah terlampau berat, jangan ditambah lagi.

Pemikirannya terhadap para pemuda dan upaya pendidikannya merupakan salah satu wujud kepeduliannya terhadap bangsa. Monash tidak ingin jika generasi bangsa ke depan akan menjadi generasi yang lemah, generasi yang oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai generasi penikmat, bahkan pemboros atau perusak.

Monash sering menyampaikan kepada para disciple bahwa mereka harus berjuang dengan sepenuh jiwa layaknya para tentara. Dengan model karakter kedisiplinan yang tinggi, semangat yang berkobar, serta perjuangan yang keras yang dimiliki oleh para tentara, Monash menerapkan itu dalam mengelola rumah perkaderannya dalam rangka membangun peradaban untuk mewujudkan negara maju.

Monash juga tidak hanya menamakan anak didiknya dengan panggilan santri seperti yang telah ada di lingkungan pesantren, tetapi ia menamakan mereka dengan sebutan “Disciples” sebagai bentuk semangat dan cambuk agar anak didiknya selalu disiplin dan tidak membuang-buang waktu begitu saja sebagaimana para tentara. Sebab, Monash tahu bahwa kedisiplinan tentara akan berguna kepada kehidupan dan tugasnya untuk membawa keselamatan diri, keluarga, dan bangsa.

Monash selalu berusaha mendidik disciples dengan tegas dan keras. Nasih berdalih agar disciples berpikir rasional dan berubah menjadi lebih baik, karena masa muda adalah masa di mana kaum muda masih bisa dirubah pemikiran dan karakternya. Nasih tidak akan membiarkan disciples menjadi generasi yang terlena oleh kenikmatan akan kebodohan, juga oleh kesenangan semu yang menipu. Ketika memarahai disciples, ia berharap hal tersebut dapat membangun kesadaran untuk meningkatkan kualitas diri disciples, bukan sebaliknya untuk melemahkan mental mereka.

Doktor Ilmu Politik itu juga menekankan agar para disciple mengoptimalkan kemampuan mereka dalam berbagai aspek. Dalam kajian rutinnya, Nasih pernah berpesan: “Milikilah kompetensi yang tinggi, sehingga tidak ada teman kalian yang sama dengan kalian!” Perkataan tersebut dimaksudkan agar disciples meningkatkan semangat dalam mengasah kemampuan dalam berbagai aspek dengan usaha sekuat tenaga dan mental baja.

Intruksi memanfaatkan liburan secara optimal, misalnya, merupakan cara yang Monash tempuh agar disciples tidak serta merta menghabiskan waktu liburan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang. Jika liburan oleh kebanyakan orang digunakan untuk bersantai ria, itu tidak berlaku di Monash Institute. Rumah Perkaderan dan Rumah Tahfidh ini justru menggenjot disciples dengan kegiatan yang sangat padat untuk menambah hafalan dan pemahaman al-Qur’an disciples, termasuk u-ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan untuk masa depan mereka seperti kemampuan menulis dan kemampuan berbicara.

Menurut Monash, tidak ada kata liburan dalam menghafalkan al-Qur’an dan berkarya. Satu tahun, hanya ada sekali waktu disciples diberikan waktu untuk pulang kampung, yakni ketika Idul Fitri dan waktunya pun sangat singkat. Kalau ada orang tua yang kangen dengan anak-anaknya, mereka yang akhirnya mendatangi anaknya di asrama Monash Institute. Itu semua merupakan simplifikasi dari pengalaman masa lalunya, bahwa ketika dalam proses menghafalkan al-Qur’an, satu hari, atau bahkan satu detik, itu sangat berharga. Dan semua aktivias itu akan sulit dilakukan di rumah, karena akan ada banyak urusan menanti.

Karena demikian ketatnya sistem yang diterapkan, sampai-sampai ada orang tua disciple yang protes kepada Direktur Eksekutif Monash Institute Mokahamd Abdul Aziz bahwa Monash itu kan bukan lembaga militer, kok sistemnya keterlaluan begini. Mendapat pernyataan itu, Aziz pun menjawab, “Loh, mohon maaf, kita ini malah ingin melebihi tentara kok, Pak. Ini memang yang didesain oleh Abana dari awal. Jadi monggo didorong dan disemangati saja putri bapak agar fokus dan semangat dalam belajar. Mumpung masih muda.”

Sistem pendidikan semi militer ini pun telah mulai membuahkan hasil. Banyak yang berterima kasih, karena dididik secara keras di Monash Institute yang kemudian memacunya untuk belajar lebih baik lagi. Disciples generasi awalpun sudah berdiaspora memulai peran-peran baru di masyarakat yang harapannya dapat membantu percepatan realisasi salah satu misi negara, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

Oleh: Romadiah, Disciple 2019 asal Bangka Belitung.

Editor: Anzor Azhiev

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *