Memiliki Banyak Anak

Sebagai founder di beberapa lembaga pendidikan, Abah Mohammad Nasih memiliki lebih banyak kesibukan dibanding orang lain. Selain mengurusi pendidikan anak-anak ideologisnya, Abah juga seorang ayah dari empat anak biologis yang semuanya masih kecil-kecil. Belum lagi, Abah juga memiliki kesibukan lain sebagai pemateri seminar, dosen, pengusaha, dan lain-lain.

Seperti orang tua pada umumnya, Abah ingin anak-anaknya, baik ideologis maupun biologis, kelak menjadi manusia-manusia yang bisa menjadi generasi pejuang. Abah tidak ingin anak-anaknya menjadi generasi penikmat atau bahkan perusak. Sebab itu, Abah secara langsung mengajar, mendidik, dan mengarahkan anak-anaknya dalam melakukan banyak hal, khususnya pendidikan.

Ketika mendirikan rumah perkaderan Monash Institute, Abah membuat logo institusi tersebut. Logo itu benar-benar menggambarkan bagaimana sosok orang tua seharusnya menurut Abah. Logo itu berbentuk lingkaran hitam, di tengahnya ada tulisan Monash berwarna orange dan kuning, tulisan Institute berwarna biru dan gambar busur berisi tiga anak panah yang siap ditembakkan.

Abah mengumpamakan dirinya sebagai orang yang memegang busur, dan anak panah yang berjumlah tiga (jamak: banyak) tersebut adalah anak-anaknya. Pemanah lebih mengetahui arah mana yang harus dituju anak panahnya dan akan melepasnya ketika mereka telah siap dilepas dan bergerak sendiri.

Abah selalu membagi waktunya dalam seminggu untuk memantau dan mendidik anak-anak di Monash Institute Semarang, Planet NUFO Rembang, dan Jakarta. Abah selalu bolak-balik Semarang-Jakarta-Rembang dalam menjalankan perannya sebagai orang tua dan guru. Jika Abah berada di salah satu tempat tersebut atau sedang bepergian, maka bukan berarti program belajar dan mengajar di tempat yang lain berhenti. Dalam hal ini, Abah memberlakukan sistem autopilot di semua rumah perkaderannya supaya seluruh kegiatan tetap berjalan dengan semestinya.

Arti asli autopilot adalah sebuah sistem mekanikal yang mengarahkan kendaraan tanpa campur tangan manusia. Auto berarti otomatis, berjalan sendiri dan pilot adalah pengemudinya. Jadi, autopilot disini berarti Abah adalah pilot, dan anak-anak ideologis adalah co-pilot dan penumpangnya. Anak-anak ideologis Abah telah dilatih untuk menjalankan tugas dan merealisasikan apa-apa yang telah menjadi tujuan bersama. Bahkan ketika tanpa kehadiran Abah ditempat tersebut, mereka memiliki struktur organisasi dan membagi tugas masing-masing individu demi berjalannya sistem yang diinginkan.

Apalagi di zaman yang canggih dan serba digital ini, Abah bisa dengan mudah memantau melalui smartphone. Sistem pembelajaran juga diubah supaya tidak terbatas pada satu tempat saja, tetapi juga bisa diakses oleh Abah dan disciples dimanapun berada. Diantaranya, adanya rekaman utawi-iku secara rutin yang harus dikirim oleh masing-masing disciples satu halaman per-harinya. Selain itu, ada juga sistem rekaman simaan harian 24 jam melalui grup whatsapp. Selain hal yang demikian, Abah serakan keberlangsungannya pada co-pilot dan penumpang-penumpangnya.

Kepada anak-anak biologis, Abah lebih intensif mendidik. Abah menerapkan tiga fase mendidik anak yang disarankan oleh Ali bin Abi Thalib. Tiga fase tersebut adalah “Tujuh tahun pertama: jadikan anak sebagai raja, tujuh tahun kedua: jadikan anak sebagai tawanan perang, tujuh tahun ketiga: jadikan anak bagaikan seorang sahabat.”

Tujuh tahun pertama: jadikan anak sebagai raja. Pada fase ini, apapun yang anak inginkan, seperti mainan atau makanan, iyakan saja. Namun, tetap harus dijaga agar keinginan anak itu tidak membahayakan dan tetap dalam mode aman. Anak Abah yang masih berada pada fase ini adalah anak ketiga dan keempat, Molka dan Dawla. Abah benar-benar mempraktekkan teori ini, dan begitu memanjakan mereka layaknya seorang raja.

Meski begitu, Abah tetap memiliki batasan-batasan tersendiri dalam memanjakan anak. Misal saja dalam hal istirahat (tidur). Dari mereka kecil, anak-anak Abah dibiasakan untuk bisa tidur dimanapun dalam keadaan apapun. Dampaknya sangat signifikan. Ketika waktunya tidur, mereka tidak perlu repot-repot mencari kasur empuk untuk tidur dan akan tidur dimanapun ada tempat yang bisa ditiduri seperti karpet/ tikar, sajadah, bahkan di mobil.

Tujuh tahun kedua: jadikan anak sebagai tawanan perang. Anak pertama dan kedua Abah, Hokma dan Hekma sudah melewati fase pertama dan menginjak fase kedua. Layaknya tawanan perang yang semua perilakunya dibatasi dan harus menurut pada perintah, mereka sudah mulai mendapat bimbingan intensif dari Abah. Mereka harus menjalankan instruksi dengan target di setiap harinya. Diantaranya adalah perintah membaca Alquran dan menuliskannya beserta arti. Mereka juga memiliki kelas sendiri bersama Abah yang belajar mengenai ilmu alat untuk kemudian dipraktekkan dalam Alquran. Alhasil, di umur yang masih sangat muda (Hokma: sembilan tahun dan Hekma: tujuh tahun) sudah bisa membaca Alquran dengan lancar, memaknainya, dan sudah hafal banyak halaman Alquran. Mereka juga diberikan les untuk mengasah bakat sedari dini. Hokma les drum, dan Hekma les menyanyi.

Tujuh tahun ketiga: jadikan anak bagaikan seorang sahabat. Pada fase terakhir ini, anak sudah bisa diajak berdiskusi untuk memastikan kemampuan mereka menghadapi dinamika hidup. Anak Abah yang sudah masuk dalam fase ini adalah anak-anak ideologis. Anak ideologis Abah dituntut menjadi pribadi yang memiliki banyak kompetisi. Tak hanya hafal Alquran, tapi juga harus pintar. Tak hanya hafal Alquran dan pintar, tapi juga harus bisa bicara. Tak hanya hafal Alquran, pintar dan bisa bicara, tapi juga harus bisa menulis dan berdiskusi. Diharapkan, selanjutnya mereka akan jadi pemimpin-pemimpin yang andal. Insya’a Allah.

Semoga Abah senantias diberikan kekuatan untuk selalu mendidik anak-ankannya. Sementara untuk anak-anak bilogis dan ideologis abah, semoga bisa merealisasikan pepatah banyak anak, banyak rezeki.Tentu rezeki secara umumnya, bukan hanya sebatas finansial. Dalam hal ini, semoga segala bentuk perjuangan Abah dalam mendidik dan anak-anaknya dalam belajar senantiasa diberkahi dan diridhai oleh Allah SWT. Amiin

Oleh: Almas Fairuza Salsabila, Wakil Presiden Monash Institute Kabinet Lokakarya, Disciples Monash Institute Angkatan 2017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *