Sabtu, 22 Oktober, santri se-Indonesia sedang berbahagia. Sebab, hari tersebut adalah hari jadi santri se-Indonesia. Namun, di balik kemeriahan perayaan hari santri, pesantren, sebagai wadah para santri, menyimpan segudang masalah. Pesantren yang idealnya adalah tempat menuntut ilmu sebagaimana akademia Plato, malah menjadi tempat yang penuh dengan intrik kekuasaan kultural yang diperankan oleh para kiai. Maka tak heran bila lulusan-lulusan pesantren bukanlah lulusan yang unggul dalam berkiprah di kancah nasional. Hanya beberapa saja yang dapat bersaing, itu pun karena ia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh santri kebanyakan. Hal itu disebabkan oleh kultur feodal yang sangat melekat di dalam dunia pesantren.

Salah satu bentuk feodalisme yang terjadi di lingkungan pesantren ialah pembedaan panggilan antara santri anak kiai dan santri biasa. Panggilan “gus” yang berarti bagus, dan “ning” yang berarti bening untuk santri anak kiai, sedangkan panggilan “mba” dan “kang” untuk kalangan santri biasa. Hal itu lah yang menyebabkan perbedaan kelas sosial di dalam pesantren. Mereka yang menjadi anak kiai dianggap sebagai kelas yang lebih tinggi dibandingkan dengan santri biasa yang hanya mendapat julukan mba dan kang.

Budaya taklid juga sangat subur di dunia pesantren. Penyebab terjadinya budaya taklid tidak bisa dilepaskan dari kultur feodal di pesantren, bahkan sampai muncul ungkapan yang begitu fenomenal yakni, nggandul sarung kiai. ­Ungkapan tersebut bisa bermakna manut kepada apapun keputusan kiai, terlebih lagi dengan dijadikannya potongan ayat “sami’na wa atha’na” sebagai dalil untuk taat kepada kiai, padahal potongan ayat di atas lebih tepat dipahami dalam konteks Allah dan Rasul-Nya, bukan kepada kiai. Dengan begitu, hegemonik kiai terhadap para santri menjadi semakin subur,

Baca Juga  Menemukan Keseimbangan Jiwa: Memahami Kesehatan Mental melalui Spirit Moral dalam Al-Quran

Kultur feodal di pesantren juga dapat mematikan kreativitas para santri. Salah satu contohnya ialah budaya bertanya kepada kiai yang dianggap sebagai suul adab. Hal tersebut dapat mengakibatkan santri takut untuk berpikir kreatif, padahal bertanya merupakan tanda seseorang sedang berpikir. Oleh karena itu, melarang santri bertanya sama saja menghalang-halangi mereka untuk berpikir kreatif. Pun santri yang menjadi korban feodalisme, secara mental, akan menjadi pribadi yang penakut dan lemah dalam kepribadian. Mereka tidak berani untuk berkompetisi—dengan kata lain, menyerah sebelum bertanding­—dalam hal apapun. Ditambah paham determinasi yang begitu kental di dunia pesantren, yang akhirnya mengakibatkan para santri kehilangan optimisme dalam menjalankan kehidupannya.

Pembodohan di dunia pesantren juga bisa dibilang terjadi secara masif. Salah satu bentuk usahanya ialah dengan disebarkannya cerita-cerita yang tidak terverifikasi kebenarannya dan tidak masuk akal oleh para kiai. Dan bodohnya, cerita-cerita tersebut dianggap sebagai sebuah keajaiban, mukjizat, atau pun karamah. Salah satu buktinya ialah tentang mitos ilmu ladunni yang dimiliki oleh anak kiai. Perlu diketahui, ilmu ladunni merupakan ilmu yang didapatkan tanpa ada proses belajar. Hal itulah yang bertentangan dengan hukum kausalitas. Sebab, tidak mugkin seseorang menjadi pintar tanpa ada proses belajar. Nah, mitos tersebut dibangun oleh para kiai agar mereka dan anaknya dianggap sebagai orang yang hebat. Tentu, motifnya ialah untuk mempertahankan status quo sebagai pemimpin pesantren. Oleh karena itu, jika menurut Hegel manusia modern cenderung berpikir secara positivistik, berbeda dengan dunia pesantren yang masih mempertahankan cara berpikir mistis mitologis ala manusia konservatif.

Baca Juga  Trilogi dan Panca Kesadaran Santri

Asupan makanan para santri di pesantren pun dinilai sangat kurang. Santri hanya biasa diberi makan dengan nasi dan sambal, padahal di masa tumbuh kembang seorang anak, setidaknya asupan gizi empat sehat lima sempurna harus tercukupi. Makanan bergizi seperti daging justru tidak pernah didapatkan di pesantren. Jikalau pun ada, dapatnya pun tak seberapa banyak. Itu pun hanya setahun sekali saat momen Idul Adha tiba. Maka tak heran apabila banyak santri yang mengalami stanting (gizi buruk). Hal itu juga yang menyebabkan banyak santri lambat dalam berpikir.

Pesantren yang dikenal oleh masyarakat sebagai pusat pendidikan Islam sedang menghadapi tantangan zaman. Pasalnya, pesantren yang mestinya mampu melahirkan kalangan muslim intelektual, justru sebaliknya, malah melahirkan beban bagi keberlangsungan kehidupan bernegara. Sudah saatnya pesantren melakukan transformasi dan berbenah demi melahirkan generasi-generasi yang mampu memajukan umat dan bangsa. Wallahu a’lam bi al-Shawab.

Muhammad Nabil Muallif
Ketua Umum HMI Komisariat Iqbal Walisongo Semarang 2022-2023, Direktur Eksekutif Azizone Institute

MEMBANGUN KULTUR EGALITER PENDIDIKAN PESANTREN

Previous article

Menyoal Pelabelan Ganja untuk Medis

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi

More in Paradigma