Di tengah gegap gempita perayaan pergantian malam tahun baru 2020, ada berita pilu. Bagaimana tidak. banjir yang selama ini menjadi momok yang menakutkan, kembali menerjang sebagian besar warga di wilayah Jabodetabeka. Puluhan orang pun meninggal dunia (dilansir dari Media Indonesia). Catatan terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BMKG) pada Jum’at (4/1) pukul 12.50, menyebutkan bahwa banjir telah memakan korban hingga 53 jiwa dan 173 ribu orang yang mengungsi. Sukacita tahun baru berubah menjadi dukacita bagi warga Jabodetabeka.
Ganasnya banjir telah menyebabkan kerusakan yang sangat parah. Ribuan rumah, infrastruktur publik bahkan wilayah bisnis dan penkantoran porak-poranda dalam waktu yang singkat. Alam mengamuk karena sikap apatis manusia yang dengan gencar membangun tanpa mau membuat kebun baru. Ditambah perilaku membuang sampah masyarakat yang sembarangan.
Ratusan ribu pengungsi terpaksa tinggal dalam camp-camp yang sangat minim akan fasilitas. Banjir juga telah mengakibatkan munculnya berbagai penyakit yang menyerang para pengungsi, kurangnya air bersih, sanitasi, bahkan cadangan pangan yang terbatas.
Daya dukung ekologi yang kurang karena dialihfungsikan sebagai perumahan, kawasan bisnis, gedung pencakar langit maupun perkebunan yang syarat akan beton-beton. Minimnya mitigasi pemerintah dan masyarakat dalam mengantisipasi bencana alam, membuat banjir sukar untuk diminimalisir, sekalipun telah dilakukan upaya normalisasi terus menerus. Namun, jika tindakan normalisasi sungai dilakukan saat banjir tiba, akan memakan waktu cukup banyak dan tidak terlalu signifikan dalam mengurangi volume air.
Banjir, khususnya di wilayah Jabodetabeka memang bukan hal yang baru. Hampir setiap tahun, wilayah tersebut menjadi pelanggan banjir. Lebih parahnya, ada sebagian masyarakat yang menganggap banjir adalah takdir Tuhan atas Jabodetabeka. Mereka menjadikan alam dan curah hujan sebagai dalam atas bencana banjir tersebut. Padahal, bencana alam atau banjir tidak akan terjadi tanpa ada pemicu. Ada peribahasa yang berbunyi “Tidak akan ada asap kalau tidak ada api”. Perilaku masyarakatlah yang menyebabkan terjadinya banjir. Sebab, banjir tidak akan terjadi ataupun dapat dimininalisir apabila sejak awal ada langkah-langkah yang bisa diidentifikasi dengan dukungan kesadaran dari masyarakat.
Intensitas curah hujan yang tinggi menjadi sistem peringatan dini akan terjadinya banjir. Itu tidak akan terjadi, apabila daya dukung alam terpenuho, seperti kapasitas sungai yang cukup dan adanya daerah resapan air yang cukup. Namun, yang terjadi tidaklah seperti idealitas yang semestinya. Kapasitas sungai yang kurang karena penumpukan berbagai sampah dan daerah resapan air yang dijadikan blok-blok beton, sehingga air harus menjadi jalan lain untuk menuju ke tempat yang rendah.
Akhirnya, air protes karena ‘tempat tinggalnya’ dijadikan perumahan, swalayan, gedung-gedung dan lainnya. Alhasil, air harus menduduki kawasan tersebut sebagai balasan terhadap apa yang telah manusia lakukan kepada ‘rumahnya’ untuk mengambil kembali hak-haknya yang hilang.
Kebijakan pemerintah turut memperparah kondisi lingkungan dengan melegalkan perubahan tata ruang. Syarat minimal sebagai resapan air sebesar 30% tidak tercukupi, bahkan di Jabodetaka, khususnya di Jakarta hanya tersisa 9%. Kawasan Puncak, Bogor dialihfungsikan sebesar 10.000 hektar per tahun. Wacana penghapusan kebijakan dan analisis dampak lingkungan yang diterapkan oleh pemerintah harus ditolak. Sebab, kebijakan tersebut tidaklah berdampak baik untuk lingkungan dalam jangka waktu lama.
Manusia memiliki hak untuk membangun, berkembang, hingga berkarya. Namun, perlu diingat kembali bahwa lingkungan pun mempunyai hak untuk menjaga keseimbangan diri serta berkembang.
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, hak pewakilan suara alam diberikan kepada organisasi lingkungan. Hal ini telah pernah dilakukan pada tahun 1980-an saat majelis hakim setuju akan legal standing ini dengan menggugat pemerintah atas nama lingkungan.
Banjir, tanah longsor, dan bencana alam yang lain adalah sebuah bentuk ‘pembelaan diri’ alam atas tindakan yang dilakuakan manusia kepadanya dengan seenaknya sendiri. Beda halnya dengan manusia, saat hak-haknya diambil, mereka bisa mengadu serta membawanya ke ranah meja hijau. Namun, alam tidaklah mampu melakukan hal demikian. Mereka tidak bisa melakukan berbagai cara agar hak-haknya bisa diambil kembali. Sudah menjadi tanggung jawab manusia untuk menjaga keseimbangan alam, terutama pemerintah yang harus mengambil kebijakan yang benar-benar bijak bukan seakan-akan bijak untuk melindung dan membela hak-hak alam. Sebab, semua hal yang dirasakan oleh manusia semata-mata adalah hasil dari alam.
Alam di Jabodetabeka, sangat memprihatinkan. Ibarat barang, perlu ada perbaikan secara menyeluruh dan berkala, dan tidak bisa jika setengah-setengah. Tindakan sistematis untuk pemulihan alam sangat diperlukan. Alam harus diberi hak-haknya secara proporsional, sehingga proses pembangunan dan keseimbangan alam dapat berjalan berdampingan.
Alam di Jakarta dan sekitarnya, serta kota-kota lain, telah rusak parah. Ibarat barang, perlu diperbaiki secara menyeluruh dan mendalam, tidak bisa sepotong-sepotong. Perlu upaya dan tindakan sistematis untuk memulihkan hak-hak lingkungan alam. Berikan hak lingkungan alam secara proporsional sehingga antara pembangunan dan kelestarian alam berjalan secara harmonis.
Pemerintah perlu mengambil tindakan tegas terhadap pelanggar-pelanggar yang menyulap alam dan kawasan resapan air sebagai beton-beton permanen. Pembongkaran villa-villa di kawasan Puncak, masih kurang. Perlu ada tindakan lebih besar lagi.
Jika manusia ingin terpenuhi hak atas lingkungan yang sehat dan baik, maka perlu mereka perlu menghargai dan menghormati hak-hak alam. Agar keberlangsungan hidup manusia dan alam bisa terjamin tanpa ada tindakan merugikan pada salah satunya.