Mahatma Gandhi Pun Menangis Melihat Konflik India?

Mahatma Gandhi Pun Menangis Melihat Konflik Inda?
Istimewa

India sedang diuji dengan tantangan keragaman. Sebagaimana telah diberitakan oleh berbagai media, bahwa pada akhir Februari lalu di tengah kunjungan Presiden Amerika Serikat Donald Trump ke India, telah terjadi kerusuhan di pinggiran kota di utara Delhi. Kerusuhan ini dipicu aksi demonstrasi menentang Undang-Undang Kewarganegaraan atau Citizenship Amandement Act (CAA). UU ini, oleh para kritikus, dianggap mendiskriminasi warga Muslim karena UU tersebut memungkinkan para imigran ilegal dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan mendapatkan kewarganegaraan India, kecuali mereka yang beragama Islam.

Reaksi masyarakat India terhadap CAA pun mulai muncul. Hingga akhirnya pada Februari lalu terjadi gelombang massa yang terdiri dari dua kubu yang berseberangan, yakni pendukung dan penentang CAA. Dalam situasi ini, bentrokan antar kubu pun tak terbendung.

Celakanya, kericuhan tersebut berubah menjadi konflik komunal antara Muslim dan Hindu. BBC (03/3/2020) menginformasikan bahwa lebih dari 46 orang meninggal dunia dan lebih dari 200 orang luka-luka dalam bentrokan ini. Ini merupakan aksi protes yang digelar untuk kesekian kalinya dan menjadi yang terparah, sejak CAA diloloskan tahun lalu.

Tidak hanya sebatas itu, bentrokan juga menyisakan lara yang menga-nga bagi masyarakat India, terutama Muslim. Karena yang paling banyak terdampak atas bentrokan ini adalah warga Muslim.  Selain menjadi korban sampai nyawa melayang, banyak rumah dan toko mereka rusak serta dibakar. Sehingga mereka terpaksa harus mengungsi.

Rasa kemanusiaan kita semakin tercabik-cabik dengan adanya fakta bahwa imbas bentrokan berdarah di Delhi itu meluas hingga merambah pada fasilitas umum seperti sekolah. Banyak sekolah yang terimbas kerusuhan massa ditutup, meskipun hanya sementara waktu. Kondisi ini tentu berdampak pada mental siswa, yakni jelas terganggu, mereka pasti mengalami trauma.

Kerusuhan atau bentrokan yang pecah sejak Ahad 23 Februari itu juga merusak atau membakar sebuah Masjid di daerah Ashok, Nagar, New Delhi. Yang mencengangkan, sebagaimana yang beredar di media sosial, terlihat sejumlah pemuda naik ke menara Masjid dan mengibarkan bendera Hanuman (Hanoman).

Semua kejadian itu, baik pada saat dan pasca kerusuhan di New Delhi ini meletus, menunjukkan betapa brutal dan kejamnya aksi-aksi tersebut. Tidak hanya bertentangan dengan sistem demokrasi yang mereka anut, namun juga mencabik-cabik peri-kemanusiaan serta hak kebebasan beragama yang sudah menjadi hukum internasional.

Mengenang Sepak Terjang dan Ajaran Bapak Anti-Kekerasan Dunia

Sejarah kemerdekaan India tidak akan pernah lepas dari sosok Mohandas Karamchand Gandhi. Selain orang yang memiliki peran ‘vital’ dalam memerdekakan India, ia juga dikenal dunia, bahkan dianggap sebagai tokoh perdamaian dunia (Bapak Anti-Kekerasan) karena perjuangannya membangun solidaritas keberagaman tanpa adanya kekerasan.

Rasa hormat dan penghargaan tinggi rakyat India terhadap Mahatma Gandhi diantaranya terlihat pada kebijakan pemerintah India yang menetapkan pada setiap tanggal 02 Oktober sebagai peringatan Hari Kelahiran Mahatma Gandhi. Bahkan, organisasi kelas dunia PBB juga menobatkan hari kelahiran Gandhi itu sebagai International Day of Non-Violence.

Gandhi lahir di Porbandar, Gujarat, India, pada 2 Oktober 1869. Sebelum terlibat dalam proses kemerdekaan India dari Kerajaan Britania Raya, Gandhi pada masa mudanya, tepatnya pada tahun 1893, pernah merantau ke Durban, wilayah koloni  Inggris di Afrika selatan. Dalam pada waktu ini, Gandhi pernah mendapatkan diskriminasi.

Ketika ia naik kereta api perjalanan Durban-Johanesburg, ia dilempar ke luar dari kereta api karena di gerbong khusus kulit putih. Padahal, ia memiliki tiket kelas pertama dan berpakaian rapi. Kejadian ini sejatinya bukan kali pertama dan terakhir yang dialami Gandhi, melainkan diskriminasi dan kekerasan demi kekerasan masih sering dialami Gandhi.

Dari peristiwa tersebut telah banyak mempengaruhi pemikiran Gandhi tentang perjuangannya mewujudkan dunia yang damai, anti-diskriminasi dan anti-kekerasan. Sepak terjang Mahatma Gandhi untuk mewujudkan tatanan yang adil,tanpa diskriminasi dan mandiri terlihat dari kontribusi besarnya atas terselenggaranya kongres bagi keturunan India di Natal, Afrika Selatan. Meskipun kongres ini belum membuahkan hasil, namun Gandhi menjadi diperhitungkan rakyat kala itu.

Kondisi tanah kelahirannya, yakni India, yang telah diduduki Inggris sejak 1877, ekonomi telah dimonopoli oleh penjajahan Ingris dan mirisnya diskriminasi dan represi terhadap orang-orang lokal terjadi di mana-mana. Kondisi ini membuat Gandhi pulang ke tanah airnya untuk membawa misi perubahan bagi rakyat India.

Cara Gandhi melawan kolonial terbilang tidak masuk akal karena dilakukan dengan cara non-kekerasan. Perjuangan yang berpegang pada prinsip ahimsa (anti-kekerasan) tersebut diformulasikan dalam bentuk beberapa ajaran, seperti satyagraha (nonkooperatif dengan musuh), dan swadeshi (berdiri di kaki sendiri).

Gerakan yang berlandaskan pada sikap non-kekerasan dan toleransi terhadap semua agama yang dinakhkodai Gandhi mendapatkan simpati dari masyarakat India secara luas. Kesempatan inilah dimanfaatkan Gandhi untuk mengajarkan ajarannya.

Pertama, prinsip perlawanan tanpa menggunakan cara kekerasan (ahimsa). Kedua, berisikap non-kooperatif (satyagraha), menolak kerjasama dan mengabaikan seluruh himbauan serta instruksi apapun dari pemerintah Inggris (hartal). Ketiga, pemboikotan produk-produk monopoli dagang Inggris serta pemogokan kerja secara massal. Keempat, membangun kemandirian ekonomi (swadeshi).

Ajaran Gandhi yang diamalkan oleh masyarakat India ini membawa India meraih kemerdekaan pada tahun 1947. Gandhi yang disebut sebagai ‘Bapak Bangsa India’ ini sejatinya termasuk yang bercita-cita agar masyarakat Hindu dan Muslim hidup bersama dalam negara.

Melihat konflik sekatrian yang terjadi di India dalam beberapa waktu lalu tentu tidak hanya membuat ‘Gandhi’ bersedih, tetapi (mungkin) ia pun akan menganis. Bagaimana tidak. Sebuah ajaran yang ia ajarkan, ternyata tidak lagi dijadikan sebagai nilai-nilai yang melekat dalam diri masyarakat India dewasa ini. Kebrutalan yang dihindari, bahkan ‘dikutuk’ Gandhi, kini justru menjadi ‘gaya hidup’ sebagian masyarakat India.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *