Lebih Baik Kamu Mirip Tersangka Kasus Mafia Hukum, daripada Mirip Pelaku Terorisme

Lebih Baik Kamu Mirip Tersangka Kasus Mafia Hukum, daripada Mirip Pelaku Terorisme
Ilustrasi

Gara-gara jidat hitam, Jibril mendapatkan masalah serius di kantornya karena dituduh terlibat jaringan teroris. Kondisinya semakin runyam karena pria ini sering menenteng majalah yang selalu mengangkat isu khilafah. Dia pun dituduh sebagai pengikut ajaran radikal nan ekstrem.

Jibril pun dijauhi teman-temannya di kantor. Tidak ada yang berani berdekat-dekat karena takut imbas buruk terorisme. Bahkan sekedar makan siang, Jibril terpaksa mojok di meja kerjanya. Dia tidak berani ke kantin karena pasti tidak akan dilayani.

Kantornya sudah berubah, tidak lagi memperlakukan Jibril seperti dahulu. Pernah pelayan kantin tidak mengembalikan uang Rp 50 ribu. Padahal, makan siangnya hanya menghabiskan Rp 15 ribu. Pelayan itu pura-pura sibuk.

Stigma teroris pada dirinya membuat Jibril hidup segan, mati tak mau. Dia pun dipanggil HRD.

“Pertanyaan saya mudah saja. Kenapa jidat kamu hitam?”, tanya Subroto, Direktur HRD tempat Jibril bekerja.

Jibril yang pemalu tidak menyangka mendapat pertanyaan seperti itu. Pipinya merona merah menahan malu, air matanya diusahakan tidak tumpah.

Subroto tidak puas dengan jawabannya. Pria berkumis tebal ini mencari cara lain agar Jibril mau mengaku aktif  di salah satu jaringan terlarang di negeri ini.

“Lalu, kenapa nama kamu Jibril. Bukannya mirip sama tersangka terorisme?” lanjutnya sengit.

Jibril kehilangan jawabannya. Dia tidak menyangka namanya pun dipersoalkan. Bukannya waktu pertama kali masuk perusahaan ini, dia tidak pernah ditanya mengapa namanya Jibril.

“Kamu mengaku aja deh. Kamu aktif di jaringan teroris kan?” Subroto menembak Jibril dengan pertanyaannya itu.

“Nggak, Pak. Saya tidak pernah berminat. Sungguh, Pak,” Jibril menggigil.

Tuduhan dirinya terlibat jaringan teroris membuatnya panas dingin. Hidupnya semakin sulit. Dunia seperti mencekik tubuhnya yang kecil. Napasnya sesak. Dia takut asmanya kumat. Berlama-lama dengan Direktur HRD ini membuat pantatnya serasa terbakar. Meski ruangan dingin, keringatnya menetes satu-satu.

“Begini deh. Kamu saya kasih waktu satu minggu untuk cuti. Kamu hilangkan warna hitam di jidat kamu. Lalu kamu ganti nama. Jangan Jibril lah, nama yang lain, yang lebih ngetren. Asal jangan Jibril.”

Jibril terhenyak. Dia menunduk tidak berani menatap Subroto. Keputusan orang nomor satu di departemen HRD ini laksana firman Tuhan yang tidak boleh dibantah. Dia takut kehilangan pekerjaannya karena siapa yang akan membiayai keluarganya di kampung.

“Silakan kamu keluar. Ingat! minggu depan nama kamu sudah berubah, dan jidat kamu tidak hitam lagi.” “Baik, Pak,” kata Jibril lunglai.

**

Pria bertubuh kecil melangkah pasti masuk ke dalam ruangan. Penampilannya sporty dengan kemeja hem lengan panjang, dasi kupu-kupu dan celana jins yang warnanya agak pudar. Harum tubuhnya menyeruak dan menebar kesegaran ke seluruh ruangan. Seluruh karyawan yang ada di ruangan itu,  melongok dengan penampilannya. Apalagi rambut wig yang menempel di kepalanya mengingatkan pada sosok tersangka kasus mafia hukum yang sering tampil di layar kaca.

“Mas Jibril,” seru Viona, resepsionis cantik memanggil pria itu dengan suara pelan. Dia khawatir salah menyebut nama orang. Pria yang dipanggil pun menyahutnya.

“Maaf, mulai sekarang jangan panggil Jibril. Saya ganti nama. Justin. Ingat! J-U-S-T-I-N,” kata pria itu sambil mengeja namanya.

Di dadanya terpasang tanda nama bertuliskan Justin.

“Oh, maaf mas Justin. Wah, mas sudah berubah. Semakin ganteng.”

“Iya dong.”

Siang itu, kantor geger dengan perubahan penampilan Jibril, ups.. maksudnya Justin. Pria ini tiba-tiba dikelilingi rekan-rekannya. Seminggu berlalu tanpa kabar, Justin hadir seperti membawa kejutan besar. Menghilangnya Justin selama sepekan sebenarnya tidak berpengaruh apa-apa.

Para karyawan pun sudah melupakan pria ini. Apalagi sejak tuduhan terorisme dialamatkan kepadanya, ketidakhadirannya di kantor ini mengurangi satu beban. Mereka takut tiba-tiba polisi menggeruduk ke kantor dan menciduknya.

“Wah, Jibril sudah berubah,” kata Sartono yang berada di samping meja. Selain dia, ada sepuluh karyawan lain yang ikut nimbrung. “Maaf, saya bukan Jibril. Tapi, Justin.”

“Waduh, Justin mirip penyanyi beken dari luar negeri itu, dong,” sahut Mardianto menimpali.

“Iya. Saya mau beken kayak Justin.” “Kamu pakai wig ya. Wah, mirip tersangka kasus mafia hukum itu, ya,” seru Erni, bendahara kantor, berusaha memegang rambut Justin.

“Eits, jangan pegang-pegang ya. Wig ini mahal, satu juta rupiah,” Justin menepis tangan Erni dengan cepat.

Justin seperti magnet yang mampu menarik perhatian seluruh karyawan. Dia pun bersinar seperti matahari pagi yang memberikan kebahagiaan pada manusia. Kabar perubahan pada diri Justin cepat menyebar ke seluruh karyawan. Mereka membicarakan pakaian, celana, dasi kupu-kupu dan wig yang menjadi ciri khas barunya. Justin sendiri senang karena teman-temannya sudah bisa menerima dirinya dengan baik.

Dia pun kembali dipanggil HRD.

“Wah, kamu sudah berubah sekarang,” ujar Subroto sambil tersenyum. “Iya, Pak,” jawab Justin singkat.

“Bagaimana perasaan kamu sekarang?”

“Lega, Pak. Saya tidak dihimpit dengan stigma buruk lagi.”

“Omong-omong, kok pakai wig segala. Kamu jadi mirip tersangka kasus mafia hukum.”

“Iya, biar jidat saya tertutup wig.”

“Lho, memangnya jidat kamu masih hitam?”

“Sudah tidak, Pak. Saya sudah tidak salat Tahajud lagi.”

“Wah, kamu ini ternyata karyawan yang baik. Kamu mau mengikuti peraturan kantor. Saya akan promosikan kamu agar naik gaji bulan depan.”

“Terimakasih, Pak.”

Subroto lalu mengambil sebotol anggur merah dari balik lemari kecil yang ada di sampingnya. Minuman berkadar alkohol tinggi itu lalu dituangkan ke dua gelas. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk Justin.

“Saya bangga punya karyawan seperti kamu. Silakan diminum wine ini. Bagus buat kesehatan,” kata Subroto.

“Terimakasih, Pak.”

Lebih baik kamu mirip tersangka kasus mafia hukum, daripada mirip pelaku terorisme,” ujar Subroto sambil menuangkan minuman itu ke mulutnya.

“Iya, Pak. Mirip tersangka kasus mafia hukum tidak ada yang musuhin, kalau jadi mirip pelaku terorisme tidak ada yang mau deket sama saya.”

“Hahahahaha. Bener kamu. Bener banget,” tubuh Subroto berguncang karena tertawa dengan lepas.

Keduanya asyik dalam pembicaraan yang hangat. Meski sudah satu jam lebih, keduanya tetap mengobrol. Subroto pun tidak keberatan Justin tidak mengerjakan kewajibannya sebagai staf di kantor ini. Tidak terasa wine yang mereka tenggak sudah habis. Mata keduanya merah menahan panasnya minuman tersebut.

****

Kisah di atas dikutip secara persis dengan kisah aslinya, yaitu kisah yang ditulis oleh M. Fadhilah Zain (2019) dengan judul “Jidat Hitam”. Cerita ini menarik diulas karena mengandung beberapa poin penting.

Pertama, tren labelisasi dengan tuduhan terlibat jaringan terorisme. Bahwa ada yang tidak beres dalam kehidupan bermasyarakat di bumi Indonesia saat ini. Hal ini terjadi karena labelisasi begitu kuat oleh kelompok tertentu terhadap kelompok tertentu. Celakanya, korban labelisasi itu adalah umat Islam, dan yang melabeli juga orang Islam sendiri. Aneh dan terkesan “gembleng” memang, tapi mau bagaimana lagi, inilah yang terjadi pada hari ini. Label kelompok radikal, teroris hingga esktrimis, begitu gencar dilekatkan dalam diri umat Islam.

Cerita Jidat Hitam di atas sesungguhnya berangkat dari fenomena yang terjadi di masyarakat. Jidat hitam dijadikan justifikasi bahwa orang tersebut (yang berjidat hitam) terlibat jaringan kelompok radikal. Padahal, jidat hitam tidak selalu identik dengan kelompok ektrimis, justru jidat hitam banyak yang disebabkan karena rajin salat tahajjud atau aktivitas positif lainnya.

Namun, karena labelisasi itu lahir karena hendak membawa misi tertentu, maka narasi yang dibangun adalah, bahwa jidat hitam erat kaitannya dengan kelompok teroris. Tidak hanya jidat hitam, celana cingkrang juga turut menjadi celah untuk melakukan generalisasi bahwa, orang yang demikian itu berafiliasi dengan kelompok radikal.

Tentu labelisasi dengan tuduhan yang terkesan lucu tersebut sangat merugikan umat Islam. Dan menguntungkan segelintir umat Islam saja. Lagi-lagi mau bagaimana lagi, radikalisme dan terorisme sudah menjadi isu yang diperdagangkan, begitu ujar Bung Fahry.

Kedua, menciptakan gelombang Islamphobia. “Lalu, kenapa nama kamu Jibril. Bukannya mirip sama tersangka terorisme?”. Tidak hanya jidat hitam, namanya pun disoal dalam penggalan cerita di atas. Ini memberikan informasi kepada kita semua bahwa labelisasi Islam teroris benar-benar tepat sasaran. Artinya, dapat menciptakan gelombang islamphobia, tidak hanya di Eropa pada umumnya, tetapi juga di bumi Nusantara.

Ketiga, tersangka mafia hukum dan tersangka bidang lainnya, lebih mulia daripada pelaku terorisme. Tentu kita semua, yang waras, sepakat bahwa mafia hukum dan pelaku teror sama-sama bidadab dan kita kutuk. Tetapi, di negeri yang mayoritas Islam ini, kedua tindakan kejahatan tersebut diperlakukan berbeda. Koruptor yang menghambat pembangunan dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat luas, cenderung mendapatkan “perlakuan” istimewa. Kita bisa saksikan sendiri, betapa koruptor di tempatkan di penjara yang “mewah”. Bahkan, beberapa koruptor kelas kakap, mendapatkan remisi yang sungguh mencederai hati nurani rakyat. Dan keluarganya pun cenderung baik-baik saja di mata masyarakat dan pemerintah. Bahkan eks koruptor pun bisa menjadi pejabat tinggi negara.

Akan tetapi, pelaku teror, jangankan mendapatkan perlakuan istimewa, yang ada justru sebaliknya. Penjaranya di tempat yang terisolasi. Bahkan ketika menjadi eks napi, mereka seringkali dikucilkan oleh masyarakat setempat. Saya tidak dalam posisi membela pelaku teror, namun jauh dari itu adalah, berusaha mendudukkan bahwa pelaku kejahatan harus diperlakukan secara “jahat” pula.

Di luar pelaku teror dan mafia hukum, ada stigmatisasi yang sesat dan menyesatkan. Cerita di atas memberikan ilustrasi kepada kita semua betapa radikalisme dan terorisme begitu massif distigmatisasikan. Sampai-sampai muncul pernyataan bahwa lebih baik menjadi mafia hukum daripada pelaku terorisme. Secara gitu ya, tersangka kasus mafia hukum tidak ada yang musuhin, kalau pelaku terorisme tidak ada yang mau deket sama kamu.

Keempat, minimnya idealisme. Sosok Jibril yang berjidat Hitam  dan dituduh berkomplot atau terpapar paham radikalis-teroris, ketakukan jika ia tidak menghilangkan Jidat Hitam dan mengganti namanya, akan dipecat.

Secara ideologi, Jibril sama sekali tidak terlibat dalam jaringan terorisme. Jidat Hitam tidak lantas menjadikan ia radikal. Namun, ia tidak memiliki idealisme yang kuat sehingga ia lebih memilih keinginan bosnya dan mengorbankan “keimanan dan ketaqwaannya”, dengan meninggalkan tahajjudnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *