Cerpen  

Dentuman Masa Lalu

Malam ini nafasku tersenggal naik turun setelah terbangun dari mimpi buruk. Segera kuraih gelas berisi air putih di atas meja samping tempat tidurku. Ketakutan itu rasanya masih hinggap dalam diriku. Kusibak tirai yang menutup jendela. Masih jelas terlihat cahaya rembulan. Artinya, aku harus terlelap kembali. Namun ketika menit demi menit berlalu, mataku tak kunjung terkatup. Aku masih ingat betul kejadian dalam mimpiku yang rasanya seperti nyata.

Akhirnya, jemariku meraih buku bersampul warna merah yang kudapat darinya. Membuka buku itu berarti mengingat kembali kejadian di masa lalu. Kejadian dimana aku dan dia masih sering menghabiskan waktu bersama. Membuka kembali buku itu juga berarti membuka kembali kenangan manis yang telah menjadi bagian dari perjalananku.

Halaman pertama buku itu bertuliskan “Menjadi bagian dari perjalananmu merupakan kecelakaan yang aku syukuri hingga saat ini”. Di bawah tulisan tersebut, terdapat tanda tangan dia. Sampai saat ini aku juga tidak mengerti maksud dari tulisan itu. Sebab, penulisnya memang tidak pernah memberitahuku. Katanya aku akan mengetahui maksud tulisan itu suatu saat nanti. Entah yang dimaksud saat itu kapan.

Lalu, dihalaman berikutnya, terdapat foto yang menggambarkan diriku dengan manisnya sedang memakai gaun berwarna hijau muda seusai latihan menari. Dalam foto itu, ia berdiri disampingku dengan tangan yang penuh membawa banyak bunga. Mirip sekali dengan pelayan toko bunga yang sedang kebanjiran pesanan. Disamping foto itu tertuliskan, “semangat berjuang nona kecil, semoga beruntung”. Seingatku waktu itu adalah pemilihan perwakilan ajang tari se-provinsi dan aku terpilih untuk menjadi perwakilan. Ia membawakan banyak bunga sebagai bentuk apresianya terhadap keberhasilanku.

Halam ketiga foto itu menunjukkan dia sedang mengajar anak-anak kecil di bawah pohon delima. Tangan kanannya memegang pengggaris kayu yang ia gunakan untuk mendikte anak-anak membaca. Waktu itu, rambutnya masih cepak. Belum segondrong sekarang. Tidak ada aku dalam foto itu. Sebab akulah yang mengabadikan waktu itu. Ia menuliskan sebaris kalimat “menghabiskan waktu bersamamu bukan berarti tidak berbagi dengan dunia. Dan ini adalah duniaku”. Dahulu, kamu selalu mengajakku untuk menemanimu mengajar. Aku selalu menikmati waktu dimana aku dapat dengan puas melihat kamu begitu menikmati peranmu. Pemandangan yang selalu berhasil membatku menarik garis lengkung keatas di bibirku.

Ketika hendak membalik halaman berikutnya. Sesuatu terjatuh dari buku merah itu. Tanganku dengan cekatan mengambilnya. Ternyata sebuah gantungan dandelion yang masih terjaga. Aku mungkin sudah lupa kapan terakhir kalinya aku memegang gantungan itu. Namun ingatan tentang kejadian dibalik gantungan itu tentunya tidak akan pernah bisa aku lupakan. Seketika air mata membasahi pipiku. Membuatku sedikit terisak. Bagaimana mungkin kenangan demi kenangan di masa lalu berlalu lalang dengan cepatnya silih berganti. Dentuman masa lalu menghujam kembali hatiku.

Paginya, kudapati Pilik sudah duduk manis menungguku di teras depan. Menyapaku dengan senyum hangat yang selalu membuat siapapun yang menatapnya akan terpikat. Namun senyum itu mulai luntur ketik sorot matanya menatapku.

“Sesuatu pasti sudah terjadi padamu, Wortelina. Katakanlah.”

“Masa lalu itu datang kembali, Pilik. Ia mengejarku melalui mimpi dan kenangannya berdentum kembali malam tadi setelah aku membuka buku merah.”

“Kamu belum berdamai dengan masa lalumu, Wortelina.”

“Ma’afkan aku, Pilik. Sepertinya aku memang belum bisa berdamai dengan masa lalu. Namun, bukan berarti aku menginginkannya kembali.”

“Aku percaya padamu, Wortelina. Aku hanya ingin berpesan. Sebesar apapun dan serajin apapun masa lalu mendatangimu, kupastikan ia akan selalu kalah. Dan aku akan selalu menjadi pemenang.”

“Aku tidak mengerti.”

“Sebab sudah terjadi, pastilah masa lalu kalah. Sebab ia tidak akan pernah bisa memperbaiki yang telah rusak. Sebab bukan masa lalu. Pastinya aku akan selalu menjadi pemenang. Sebab aku yang datang membuat lukamu hilang dan akan memperbaiki sesuatu yang belum kamu dapati di masa lalu.”

“Terima kasih, Pilik.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *