Abana: “Fokus pada Banyak Titik”

Baladena.ID/Istimewa

Seorang pemanah profesional harus selalu fokus pada satu titik yang akan ia bidik. Tatkala ia ingin membidik satu titik tersebut, maka segala hal yang sedang dia pikirkan harus dihilangkan sementara waktu hingga ia mampu melepaskan anak panah pada bidikan yang tepat. Pemanah yang bijak akan selalu memfokuskan satu persatu titik yang akan menjadi tujuan bidikannya. Ketika ia ingin membidik semua titik itu, mustahil akan dapat terbidik dengan baik tanpa adanya kefokusan yang menyertainya.

Mengenai fokus dalam memanah ini, penulis teringat satu kisah dalam cerita Mahabarata, yaitu ketika guru Durna mengajar memanah kepada Pandawa dan Kurawa. Ia pun menguji satu-satu persatu muridnya itu, apakah ajarannya dicerna dengan baik oleh mereka, atau tidak. Ia pun meminta Duryudana mengarahkan anak panahnya pada target seekor burung di atas ranting pohon. Guru Durna pun bertanya pada Duryudana, “Apa yang kau lihat, Duryudana?”

“Guru, aku melihat seekor burung yang indah,” jawab Duryudana.

“Apalagi yang kamu lihat?” kejar gurunya.

“Burung itu kakinya bertengger pada cabang pohon,” jawab Duryudana.

“Apalagi?” suara sang guru Durna terdengar mulai marah.

“Aku melihat kepalanya berjambul indah,” jawab Duryudana lagi.

“Jangan lepaskan panahmu, turunkan busurmu, Duryudana!” sungut sang Durna.

Begitu seterusnya, hingga Arjuna yang mendapatkan giliran untuk mengarahkan panahnya pada target tersebut.

Guru Durna bertanya, “Apa yang kamu lihat, hai Arjuna?”

“Mata burung, Guru!” jawab Arjuna singkat.

“Apalagi yang kamu lihat.”

“Mata burung, Guru!”

“Apalagi?” suara sang guru terdengar makin menggebu.

“Mata burung, Guru!” kata Arjuna tanpa mengubah jawabannya.

Mendengar jawaban itu, Guru Durna senang lalu memerintahkan Arjuna untuk melepaskan anak panahnya.

Dalam konteks ini, ada pelajaran yang bisa kita ambil, yakni bagaimana seorang harus fokus menemukan bidikan untuk menjadi juara laiknya Arjuna. Demikian pula, titik-titik tersebut ibarat target yang harus dicapai dalam mengarungi luasnya samudra kehidupan. Ketika hanya ada satu target dalam kehidupan, maka seseorang akan lebih mudah mencapai keberhasilan. Sebab, ia akan lebih fokus dalam mengupayakan realisasi dari target tersebut. Lantas, bagaimana jika target tersebut lebih dari satu? Lalu bagaimana pula jika target itu sangat banyak? Jawaban atas pertanyaan itulah yang akan penulis jabarkan dalam tulisan ini.

Ada tiga kemungkinan yang akan terjadi, jika seseorang dihadapkan kepada banyak titik. Pertama, target tersebut dapat tercapai semua. Peluang ini merupakan tingkatan tersulit dalam mengupayakan realisasi target. Dalam keadaan ini, fokus seseorang akan terbagi-bagi menjadi banyak. Usaha yang maksimal dengan intensitas istikamah dan juga komitmen yang tinggi harus dilakukan. Orang yang berhasil mencapai tingkatan ini adalah hanya mereka yang memiliki tingkat keterfokusan yang sangat tinggi. Dia mampu fokus pada banyak titik.

Kedua, target tersebut hanya akan tercapai sebagian. Hal ini karena seseorang itu condong kepada salah satu atau sebagian saja dari target yang telah ia tentukan. Hingga pada akhirnya sebagian target yang lain tidak tercapai. Dia kehilangan fokus pada bagian titik tertentu, sehingga bidikannya meleset, bahkan sama sekali tidak terlihat lagi sebuah target itu. Hal ini disebabkan antara kemampuan dan fokus tidak terkoneksi dengan sempurna. Bisa jadi sudah fokus, tetapi kemampuannya kurang atau sebaliknya kemampuan bagus tetapi dia memiliki fokus yang tidak cukup baik.

Ketiga, target tidak tercapai semua. Keadaan ini merupakan sebuah pembuktian bahwa orang tersebut tidak memiliki sebuah keseriusan dalam mengupayakan tercapainya target-target itu. Ia hanya sibuk membuat target tanpa adanya usaha yang maksimal untuk merealisasikannya. Dalam hal ini, bisa jadi karena kemampuan yang dimilikinya rendah atau komitmen untuk merealisasikan tidak kuat. Lebih dari itu, yang pasti ia memiliki fokus yang buruk.

Dr. Mohammad Nasih, seorang intelektual muslim yang peduli akan masa depan generasi muda, memberikan satu tawaran untuk menjawab problematika ini. Ia tidak hanya hadir membawa gagasan, tetapi juga sebagai figur yang dengan penuh komitmen akan merealisasikan semua titik yang ia bidik dalam kehidupannya. Hal ini terlihat pada berbagai capaiannya yang begitu signifikan dalam berbagai bidang.

Semenjak kecil ia sudah membiasakan diri untuk melakukan banyak hal yang bisa Ia kerjakan dalam satu waktu. Menggembala sambil belajar, misalnya. Sambil itu pula, ia mencari rumput untuk pakan kambing di malam hari ketika sudah dibawa pulang. Abana, begitu para santri di Monash Institute memanggilnya, dalam menjalani kehidupannya selalu fokus pada satu persatu titik yang meskipun banyak. Selain itu, ia memiliki komitmen yang sangat tinggi dalam merealisasikan sebuah target, ditambah memang kemampuannya yang memang teruji.

Dengan kemampun yang demikian itulah, menjadi sebuah hal yang sangat wajar apabila ia dapat mencapai titik-titik tersebut secara maksimal. Hal itulah yang menjadikannya sebagai seorang figur yang patut dijadikan contoh bagi semua orang yang ingin fokus pada banyak hal. Tidak terkecuali pada anak-anak idiologisnya, yang setiap waktu selalu terpacu dengan berbagai capaiannya.

Penulis akan flashback kepada masa lalu Abana untuk menujukkan fokus pada banyak titik yang berhasil ditaklukannya. Ketika duduk di bangku SLTA, Nasih remaja memulai fokusnya untuk menghafalkan al-Qur’an di salah satu pondok pesantren Salafiyah an-Nur, Lasem. Padahal  secara habitat, pondok tersebut bukanlah pondok tahfidz yang menerapkan berbagai metode serta sistem yang biasa diterapkan oleh pondok untuk menghafalkan al-Qur’an pada umumnya. Sementara itu, ia tetap harus mengikuti kajian kitab setiap Shubuh hingga sebelum berangkat SMA, seusai sekolah, dan malam hari.

Nasih menambah hafalan dan muraja’ah di sela-sela semua jadwalnya yang begitu padat. Ia lebih banyak melakukan kegiatan menghafal pada malam hari seusai kajian kitab di makam  Sayyid Abdurrahman Basayaiban (Mbah Sambu lasem) hingga larut malam. Tidak hanya itu, ia mengkolaborasikan metode utawiiku dalam menghafalkan al-Qur’an. Ilmu alat yang ia kuasai menjadi kunci pembuka pintu-pintu yang biasa menghambat para penghafal Al-Qur’an pada  umumnya. Alhasil, Abana dapat memahami al-Qur’an dan meneyelesaikan hafalannya hanya dalam jangka waktu 1,5 tahun.

Selain dengan ilmu alat, penguasaan dan pemahaman yang mendalam terhadap setiap ayat al-Qur’an ia fahami juga menggunakan referensi dari setiap buku yang sudah berkali-kali dilahapnya. Suatu ketika, bahkan ia pernah mencuri-curi untuk membaca sebuah tafsir milik kiainya, karena yang punya tafsir itu di pesantren hanya kiainya. Hal inilah yang membuat wawasannya semakin terpaku dan terhindar dari sebuah kekolotan yang biasanya terjadi pada para penghafal al-Qur’an pada umumnya.

Tidak berhenti di situ, setelah lulus MAN 1 Lasem, ia melanjutkan jenjang pendidikan strata satu di Unnes dan IAIN (sekarang UIN) Walisongo Semarang. Selain fokus menjadi mahasiswa, ia juga aktif di salah satu organisasi ekstra kemahasiswaan. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menjadi wadah pertama untuk menumbuhkan daya kritisnya yang sudah terbangun sejak SMA. Ia aktif di struktural organisasi Hijau Hitam, dari komisariat sampai PB HMI, sekaligus aktif berperan sebagai instruktur (guru) di HMI. Hampir tiap akhir pekan, ia menghabiskan waktunya untuk mengelola latihan kader organisasi mahasiswa tertua dan terbesar tersebut. Setelah itu, ia juga pernah menjadi Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam (PP GPI) dan juga sebagai Presidium Pengurus Pusat MASIKA ICMI pada periode yang sama menuntut ia tidak memihak salah satu di antara keduanya.

Berkat kesibukan yang selalu ia jalani, Abana seringkali kewalahan mendapatkan job dari berbagai pihak yang berkaitan dengan keahliannya. Sebab, mereka yakin dia orang yang tepat dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut. Hal ini sesuai dengan prinsip yang disampaikan Nasih, “Orang sibuk itu yang bisa mengatur waktu. Pekerjaan akan selesai tepat waktu jika diserahkan kepada orang yang sibuk”.

Titik fokusnya pada dunia perpolitikan juga disokong dengan ilmu pengetahuan  yang didapatkannya tatkala meraih gelar doktor ilmu politiik di Uneversitas Indonesia. Berbekal ilmu pengalaman yang ia dapatkan itu ia terpilih sebagai salah satu pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional (DPP PAN). Kesungguhannya dalam bidang politik juga mengantarkannya menjadi calon legislatif MPR RI dalam dua kali pemilu secara berturut-turut (2009 dan 2014), meski akhirnya tidak berhasil.

Gagal menjadi anggota DPR RI tidak menyurutkan titik fokusnya pada dunia perpolitikan. Fokus beliau pada bidang ini bukan semata-mata hanya gila akan segudang gemerlap kesenangan yang ditawarkan oleh kekuasaan. Akan tetapi, ia ingin mengubah tatanan pemerintahan yang sangat  tidak sesuai dengan perundangan-undangan dan tata tertib yang  menjadi fokus bidikannya tatkala terjun di dunia pemerintahan. Ia terus melakukan upaya-upaya yang dapat ia kerjakan guna melakukan perbaikan dari atas.

Selain fokus dalam bidang politik, Abana juga mendirikan rumah perkaderan Monash Institute, yang bertempat di Semarang, Rembang, dan Jakarta. Penamaan rumah perkaderan ini menggunakan nama Mohammad Nasih (Monash). Ini adalah upaya konkret bukti kesungguhan Abana dalam mengubah keadaan menjadi lebih baik melalui jalan “pinggir”. Ia selalu bekerja keras mewujudkan semua impian itu tanpa mempedulikan rasa lelah yang melandanya.

Rumah yang ia bangun dengan uangnya sendiri itu, memfasilitasi para disciples (sapaan untuk anak idiologisnya) yang mau diajak berproses menjadi para pemimpin masa depan  yang sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Hadist. Di rumah tersebut, Abana juga  mengajari  para disciple fokus pada banyak titik seperti yang Ia jalani selama ini. Para disciple diajari bagaimana cara membidik satu-persatu titik-titik tersebut hingga dapat tercapai secara maksimal.

Prodi yang menjadi titik fokus disciples di dalam rumah perkaderan tersebut ada 3 hal, yaitu tahfidh al-Qur’an dan wirausaha, tahfidh al-Qur’an saja, dan wirausaha saja. Selain itu, di rumah perkaderan ini disciples juga diharuskan aktif  dalam berbagai organisasi kemahasiswaan, faham tentang perpolitikan, menjadi penulis yang inspiratif, ahli dalam public speaking dan harus kritis terhadap berbagai permasalahan maupun peristiwa yang terjadi.

Abana juga menerapkan sistem pembelajaran i’robu al-Qur’an (IQ) secara intensif bagi seluruh disciples sejak pertama kali masuk di Monash Institute. Tujuannya agar seluruh disciples paham akan isi dan kandungan al-Qur’an dan juga al-Hadits. Karena sejatinya semua ilmu bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist. Maka dari itu, ia berharap para disciple mampu menjadikannya  pedoman dalam kehidupan dan juga bahan materi tatkala berdebat dalam forum.

Selain itu, untuk melatih para disciple yang ingin berwirausaha, Abana memberikan fasilitas yang diperlukan dengan perjanjian tertentu. Ini dilakukan agar disciples lebih serius menjalani usahanya. Tidak jarang Abana memasang target untuk yang merintis usaha. “Harus ada angka yang ingin dicapai. Time line nya harus jelas,” katanya. Beberapa fasilitas untuk membantu menumbuhkan spirit wirausaha antara lain, gilingan tebu, mesin cuci, mesin jahit, kebun, kolam ikan, kandang bebek, dan lain sebagainya.

Dengan taget yang begitu banyak, tidak jarang disciples berkeluh kepada Abana, ketika satu target tidak tercapai. “Kenapa ini tidak berhasil,” tanya Abana. “Karena terlalu banyak target sehingga kami tidak bisa fokus,” kata salah satu dari mereka berapologi. Dengan sabar, Abana memberikan penjelasan bagaimana disciples harus fokus pada banyak titik. Ketika seorang sedang menghafal, maka ia harus benar-benar fokus pada saat itu juga dengan mengabaikan hal lainnya. Demikian pula, ketika seseorang sedang menulis gagasan, maka ia harus fokus dalam kegiatan ini, dan seterusnya.

Menjadi manusia yang multi talenta dan fokus terhadap banyak titik memerlukan perjuangan yang luar biasa. Manajemen waktu yang tepat dan juga rasa ikhlas yang selalu menyelimuti membuat doktor muda ini dapat mengalahkan berbagai rasa yang menghambatnya. Jadi, janganlah engkau berapologi bahwa fokus pada banyak titik hanya akan menyia-nyiakan waktu, karena asumsi kegagalan. Hal itu terjadi karena kurangnya fokus tatkala mengerjakan suatu hal itu. Jadi, fokuslah terhadap apa yang kamu jalani saat ini juga, nanti berganti jam, misalnya, berubah kegiatan, fokuslah dengan kegiatan itu, dan seterusnya.

Editor: Anzor Azhiev

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *