Radikalisme tidak mesti harus dikaitkan dengan cara berpakaian seseorang. Sebab, cara berpakaian adalah hak dan keyakinan masing-masing orang. Selain itu, radikalisme sama sekali tak ada hubungannya dengan cara berpakaian seseorang.
Apabila kasus radikalisme hanya dititik beratkan pada cara berpakaian saja, maka akan terjadi ketimpangan analisis. Terlebih radikal itu pikiran dan tindakan, sekali lagi, bukan cara berpakaian.
Terkait isu radikalisme yang mencuat belakagan ini, Wakil Menteri Agama menjelaskan bahwa, larangan penggunaan cadar dan celana cingkrang bertujuan sebagai penertiban di instansi pemerintah. Sudah menjadi kewajiban bagi pihak birokrasi untuk menertibkan cara berpakaian di instansi. Tentu saja penertiban tersebut sebagai hal yang wajar.
“Kebijakan tersebut tidak menjadi kewajiban bagi instansi lain,” ungkap Zainud Tauhid Sa’adi sebagaimana dikutip dari republika.co.id.
Selain itu, Deputi 1 Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Mayjen TNI Hendri P Lubis menegaskan radikalisme dan terorisme tidak bisa dinilai dari apa yang dikenakan seseorang.
“Kita menilai seseorang bukan dari penampilan fisiknya, yang paling bahaya adalah pemikirannya. Radikal dalam pemikiran, radikal dalam sikap, dan radikal dalam tindakan” ujar Hendri dalam kegiatan yang digelar oleh BNPT dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kepulauan Riau (Kepri) di Batam, Kamis (7/11/2019) malam.
Hendri mengatakan bahwa, menilai seseorang sebagai teroris dan radikal hanya dari jenggot, cadar maupun celana cingkrang adalah pemikiran yang sederhana dan keliru. Ia menyebutkan kasus terorisme di kawasan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Januari 2016.
Pada peristiwa itu, pelaku teror mengenakan celana jeans, kaos, dan topi. Karena itu, mantan BAIS TNI ini menyatakan tidak ada korelasi yang kuat antara pakaian dan ideologi seseorang.
“Artinya, seseorang yang memakai celana cingkrang, jenggot, dan cadar bukan ciri pelaku terorisme,” ujar Hendri sebagaimana dikutip dari Media Indonesia.
Merespon pernyataan yang dilontarkan Menag ke publik tentang radikalisme, cadar dan celana cingkrang, anggota DPR RI Komisi VIII DPR RI Ali Taher meminta Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi belajar apa itu agama.
Ali berharap tidak ada lagi isu-isu tentang radikalisme. Permintaan tersebut disampaikan Ali dalam rapat kerja (raker) dengan Kemenag. Dia awalnya bicara tentang radikalisme.
“Jangan lagi muncul isu-isu radikalisme. Kalau tidak ada radikalisme, tak pernah ada (Raja) Namrud berjumpa dengan (Nabi) Ibrahim. Jika tidak ada radikalisme, (Nabi) Musa tidak akan bertemu Firaun. Jika tidak ada radikalisme, maka (Nabi) Muhammad tidak akan bertemu dengan Abu Lahab,” kata Ali di ruang rapat Komisi VIII DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019).
“Oleh karena itu, belajar lah tentang apa itu agama, Pak Menteri. Dan apa itu faith dan apa itu religion. Agama Pasal 29 adalah organisasi, mengatur, bukan faith. Faith itu iman, jangan diganggu. Tugas agama dan pendidikan itu religion, kerukunan interagama itu religion, hubungan antarumat agama itu religion, hubungan antara pemerintah dan agama itu religion,” tuturnya sebagaimana dikutip dari detiknews.
Menteri Agama perlu mengkaji karakteristik orang yang terkena kasus radikalisme secara komprehensif. Tentu saja hal ini untuk memberikan pemahaman bagi masyarakat Indonesia dan semua pihak, agar tidak terjadi salah paham. (Red/Atikah N.A.F.)