Deradikalisasi dan Islamophobia

Baladena.ID

Oleh: Abdurrahman Syafrianto

Sekretaris Umum GPII Kota Semarang, Alumnus Pondok Pesantren Nurul Hakim, Mahasiswa Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang

Belakangan ini, isu radikalisme dan terorisme kembali mencuat ke publik.  Hal ini disebabkan oleh wacana kebijakan yang disampaiakan Facrul Razi Menteri Agama Republik Indonesia Kabinet Indonesia Maju 2019-2024,  yang menegaskan bahwa dalam wilayah domain kekuasan istana pemerintah, Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak boleh memakai cadar dan celana cingkrang.

Menurut Menag yang berlatarbelakang militer itu, wacana kebijakan pelarangan memakai cadar dan celana cingkrang adalah upaya untuk memberantas radikalisme dan terorisme (baca: deradikalisasi). Sebab, dirinya yang ditelah diamanahi sebagai menteri agama mendapat tugas khusus dari Presiden Joko Widodo untuk menangkal radikalisme, kerena menurut Presiden, persoalan yang paling krusial bangsa Indonesia saat ini adalah soal radikalisme.

Kendati demikian, wacana kebijakan tersebut justru menimbulkan perpecahbelahan, sehingga pemerintah saat ini dinilai pemerintah yang memecah belah. Padahal, seharusnya pemerintah itu sebagai pemersatu dan pengayom seluruh elemen bangsa, termasuk umat Islam dengan paham apapun.

Jika diamati dengan nalar kritis, persoalan krusial bangsa Indonesia saat ini bukanlah soal radikalisme, tapi ketimpangan sosial dan ekonomi. Sebab, masih banyak rakyat Indonesia yang terlantar, miskin, dan bahkan faqir. Hak mereka tidak disalurkan dengan baik, karena sebagian dirampas oleh para koruptor, sebagiannya lagi bocor di mana-mana.  Kondisi akan mengakibatkan yang kaya semakin kaya dan yang miskin tambah melarat. Lalu apa solusi yang ditawarkan oleh pemerintah?

Radikalisme Identik dengan Cadar dan Celana Cingkrang?

Memakai cadar dan celana cingkrang tidaklah mempunyai korelasi dengan radikalisme yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah maupun sosial. Sebab, memakai cadar dan celana cingkran adalah kultur umat Islam, untuk tidak dikatakan ajaran, sedangkan radikalisme dalam perspektif pemerintah adalah kelompok yang ingin mengubah ideologi bangsa.

Dalam hukum Islam, memakai cadar dan celana cingkrang adalah persolan khiilafiyyah. Persoalan khilafiyah ini merupakan permasalahan dalam hukum Islam yang menjelaskan bahwa ada perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam menetapkan hukum suatu perkara.

Seorang ahli fiqh dan dinilai setara dengan imam fiqh yang empat bernama Sufyan at-Tsauri menjelaskan bawah jika kita melihat seseorang mengerjakan sebuah amalan yang masih diperselisihkan dan kita memiliki pendapat yang berbeda dengannya, maka kita janganlah melarangnya. Itulah salah satu gambaran kebijaksaan dalam agama Islam. Karena itu,  sebagai seorang muslim dan terlebih orang yang mempunyai domain kekuasaan di kementerian Agama, Facrul Razi tidak boleh melarang suatu perkara yang masih dalam persoalan khilafiyah. Sebab, itu adalah hak masing-masing individu.

Selain itu, data empirik yang membuktikan bahwa memakai cadar dan celana cingkrak tidak ada korelasinya dengan radikalisme adalah peristiwa bom thamrin itu pelakunya memakai pakaian blue jeans. Dan di Masjid New Zealand, yang melakukan penembakan secara brutal itu memakai pakaian milenial. Ditambah lagi, kelompok kriminal bersenjata di Papua itu bukan orang yang memakai celana cingkrang yang membunuh tentara dan sipil.

Narasi negatif terhadap makna radikalisme yang digiring selama ini adalah strategi propaganda yang memecahbelah umat, terutama internal umat Islam. Karena itu, dengan narasi negatif tersebut, mau tidak mau lahir istilah islamophobia. Islamophobia adalah istilah kontroversial yang merujuk pada prasangka dan diskriminasi terhadap Islam dan Muslim.

Istilah Islamophobia sudah dikenal sejak tahun 1980-an, tetapi menjadi lebih populer ketika pasca peristiwa serangan 11 September 2001. Menurut Runnymede Trust, Islamophobia didevinisikan sebagai suatu rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan juga pada semua Muslim.

Impact Islamophobia ini merujuk pada praktik diskriminasi terhadap Muslim dengan memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan bangsa. Di dalamnya juga ada persepsi bahwa Islam tidak mempunyai norma yang sesuai dengan budaya lain, lebih rendah dibanding budaya barat dan lebih berupa ideologi politik yang bengis daripada berupa suatu agama

Menyelamatkan Makna Radikal

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Atas dasar devinisi itulah opini publik digiring untuk memahami bahwa makna radikal itu berkonotasi negatif.

Dr Mohammad Nasih atau yang akrab dipanggil Abah Nasih, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Guru Utama Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an Monash Institute Semarang memiliki pendapat yang berbeda. Ia berpendapat bahwa seorang muslim sudah semestinya berislam secara radikal. Sebab, dalam diskursus Filsafat, radikal itu kan berasal dari kata radix yang  memiliki arti berpikir sampai ke akar-akarnya. Dalam artian, Islam itu agama yang benar. Kalau dikaji secara filosofis sampai ke akar-akarnya, akan makin nampak kebenaran itu. Sementara orang yang tidak radikal, maka justru akan menjauhi kebenaran tersebut.

Karena itu, dalam berislam kita tidak boleh hanya ikut-ikut saja atau yang dikenal dengan istilah taqlid. Sebab, salah satu faktor Islam mengalami degredasi adalah karena umat Islam berpedoman pada taqlidisme. Jika ingin mengembalikan kejayaan Islam, maka kita harus berislam secara radikal. Dengan begitu, seorang muslim akan tahu ajaran dalam Islam sampai ke akar-akarnya, hingga pada akhirnya akan diketahui cabang-cabang, ranting, daun dan buahnya. Jika demikian, maka Islam rahmatan li al-alamin akan benar terwujud dalam ruang dan waktu yang bernama Indonesia ini. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *