Bagi Monash Institute, disiplin adalah komitmen. Dalam konteks ini, komitmen adalah harga mati yang tidah dapat ditawar-tawar. Rumah Perkaderan Tahfidh al-Qur’an ini memang benar-benar menerapkan kedisiplinan tingkat tinggi. Bahkan, santri-santrinya pun diberi sebutan disciples, yang artinya orang-orang yang berdisiplin, dengan maksud bahwa di sana memang sangat menekankan kepada kedisiplinan. Untuk melatih kedisiplinan disciples, disediakan buku presensi kehadiran pada setiap agenda. Dengan adanya buku presensi tersebut, maka akan diketahui siapa saja yang terlambat dan siapa saja yang tepat waktu.
Biasanya disciples yang terlambat diharuskan menulis sendiri di buku presensi tersebut berapa lama mereka terlambat; lima menit, sepuluh menit, atau bahkan lebih. Penulisan waktu keterlambatan yang dilakukan sendiri-sendiri itu selain bertujuan untuk melatih kedisiplinan, juga sekaligus untuk melatih kejujuran. Pemberlakuan presensi merupakan sebuah upaya untuk menenamkan sifat kejujuran, kedisiplinan serta komitmen pada setiap diri disciples. Dan pada setiap seminggu sekali, biasanya diadakan eksekusi hukuman (iqab)bagi mereka yang tidak disiplin.
Setiap kali izin meninggalkan agenda maupun pulang ke rumah, mereka selalu diberi batas waktu keterlambatan kembali ke Monash. Bagi disciple yang kembali ke Monash melebihi batas waktu keterlambatan yang sudah disepakati, maka dia akan diberi hukuman. Apalagi bagi yang izin pulang ke rumah; dia akan dipanggil untuk “disidang” oleh Menteri Kedisiplinan dan Hukum (Mendishuk) bersama Direktur Eksekutif apabila dia terlambat kembali ke Monash.
Bagi Rumah Perkaderan tersebut, terlambat kembali ke Monash merupakan suatu kesalahan fatal. Apapun alasannya, dia akan tetap diberi hukuman. Sebab, kalau terlambat, berarti dia sudah mengingkari komitmen yang telah disepakatinya. “Menjaga komitmen untuk hal kecil saja tidak bisa, apalagi untuk berkomitmen dengan orang lain di luar sana. Lalu kalau begitu, bagaimana dia mau jadi seorang pemimpin, kalau menjaga komitmen untuk hal kecil saja tidak bisa?” Komitmen itulah yang selalu diajarkan di sana.
Terkena Hukuman
Suatu ketika, saya izin pulang ke rumah karena ada keperluan. Mendishuk dan Direktur Eksekutif memberi izin kepada saya, karena memang pada waktu itu saya hanya izin pulang tidak sampai sehari—dan tentu saja tidak menginap. Saya pun diberi izin, tetapi dengan ketentuan bahwa saya harus sudah sampai di Monash sebelum Maghrib.
Pagi hari setelah selesai agenda, tepatnya pukul setengah tujuh, saya pulang ke rumah dengan diantar oleh salah satu teman. Saya berboncengan naik motor dengannya menuju rumah. Kami sampai di rumah sekitar pukul delapan kurang seperempat. Kami istirahat sejenak karena kelelahan, sambil makan makanan yang sudah disediakan oleh ibu saya, apalagi sejak pagi kami belum sarapan. Setelah selesai sarapan, teman saya tersebut pamit pulang ke Monash.
Setelah sekiranya lelah saya hilang, saya bersama orang tua dan juga beberapa saudara saya berangkat menuju tempat tujuan, yaitu di kuburan kakek-buyut kami yang berada di Kecamatan Kaliwungu. Tujuan kami ke sana adalah untuk berziarah kubur, sekaligus mengganti batu nisan kuburan mereka dengan yang baru.. Setelah selesai berziarah dan mengganti batu nisan, kami pulang ke rumah, yaitu di Kecamatan Kendal.
Sekitar pukul satu siang kami sudah sampai rumah. Karena sesuai kesepakatan, bahwa setelah selesai saya akan langsung kembali ke Monash, saya pun meminta kakak saya untuk mengantarkan saya kembali ke Monash. Tetapi dia tidak berkenan, karena hari sedang panas, apalagi (mungkin) dia juga masih kelelahan karena baru pulang pergi tadi. “Nanti sore saja setelah Ashar, biar tidak panas,” katanya. Saya pun meminta kakak saya yang lain, tetapi dia juga memberi jawaban yang sama.
Saya pun menunggu sampai Ashar. Tetapi sekitar pukul tiga sore, malah turun hujan. Tentu saja saudara-saudara saya tidak mau mengantarkan saya kalau dalam keadaan hujan, apalagi dulu salah satu kakak saya pernah sampai sakit gara-gara kehujanan saat mengantarkan saya kembali ke Monash.
Saya akhirnya menunggu sambil berdoa supaya hujan segara reda, sehingga saya bisa kembali ke Monash. Tetapi sampai pukul enam sore, hujan tidak kunjung reda. Melihat waktu sudah menunjukkan pukul enam sore, sedangkan hujan belum kunjung reda, saya pun langsung menge-chat Mendishuk dan Direktur Eksekutif. Saya meminta maaf karena belum bisa kembali ke Monash pada hari itu juga, karena di tempat saya masih hujan, apalagi ibu saya juga melarang. Tetapi saya berjanji mereka, bahwa saya akan kembali ke Monash besok harinya.
Keesokan harinya pun saya langsung berangkat ke Semarang dengan diantar kakak naik motor sampai terminal. Di terminal, saya naik bis sampai depan kampus 3 UIN Walisongo Semarang. Saya sampai di depan kampus 3 sekitar pukul satu siang. Setelah sampai sana, saya pun langsung menuju masjid yang berada di depan Pon-Pes Bina Insani untuk melaksanakan sholat Dhuhur.
Setelah selesai sholat, saya langsung menuju Monash dengan berjalan kaki. Tetapi beruntungnya, ketika di tengah jalan, saya bertemu dengan salah satu teman yang juga mondok di Monash. Saya di antarnya sampai Monash dengan menaiki motornya. Sampai di sana, saya beristirahat sejenak untuk memulihkan tenaga, karena setelah Ashar saya harus mengikuti agenda.
Saya sudah menduga bahwa saya pasti akan disidang karena terlambat kembali ke Monash. Saya sudah siap untuk menerima apapun konsekuensinya. Sebab, saya tahu dan saya sadar bahwa saya memang bersalah, dan sudah sepatutnya mendapatkan hukuman, apapun alsannya. Dugaan saya benar, tepatnya setelah selesai agenda malam, saya dipanggil untuk menghadap Mendishuk dan Direktur Eksekutif.
Saat saya masuk ruangan, saya agak terkejut. Ternyata yang dipanggil bukan hanya saya. Ada salah satu teman saya yang juga dipanggil karena dia izin pulang ke rumah, tetapi terlambat kembali ke Monash, sama seperti saya. Di sana kami di sidang, ditanya mengenai alasan kami, mengapa kami sampai terlambat. Kami pun menjelaskan alasan kami masing-masing yang menyebabkan kami sampai terlambat.
Peraturan tetaplah peraturan. Siapa pun yang melanggar, harus tetap dihukum, apapun alasannya. Kami berdua pun akhirnya diberi hukuman untuk membuat sebuah tulisan tentang komitmen. Tulisan tersebut harus kami kirimkan kepada Mendishuk sebagai tebusan atas kesalahan kami.
Hukuman yang Mencerdaskan
Tetapi bagi saya, itu bukanlah hukuman yang terlalu memberatkan, apalagi menyiksa. Menurut saya, itu adalah “hukuman yang mencerdaskan”. Sebab, dengan menulis, kita akan terlatih untuk menyusun kata-kata, sehingga hal itu akan sangat membantu kita dalam menyampaikan gagasan-gagasan kepada orang lain. Dengan terbiasa merangkai kata-kata, maka kita akan menjadi terlatih berbahasa.
Saya sangat setuju dengan pemberlakuan hukuman menulis ini. Perberlakuan hukuman menulis ini jauh lebih bermanfaat daripada hukuman fisik (push up, sit up, lari, dan sebagainya) yang biasa diberlakukan di sekolah-sekolah maupun instansi-instansi pada umumnya. Sebab, tidak jarang banyak siswa yang akhirnya sampai mengalami cedera gara-gara dihukum fisik oleh gurunya.
Andaikan sekolah-sekolah maupun instansi-instansi di negara kita memberlakukan hukuman semacam ini, maka para pelajar di negara kita pasti akan menjadi orang-orang yang cerdas. Sebab, menurut penelitian, selain matematika, bahasa merupakan salah satu hal paling dasar yang harus dikuasai terlebih dahulu sebelum seseorang belajar disiplin-disiplin ilmu lainnya.
Islam pun menempatkan bahasa pada urutan pertama sebelum seseorang menguasai disiplin-disiplin ilmu yang lain. Hal ini dibuktikan dengan wahyu yang kali pertama diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad adalah perintah untuk membaca. “Iqra’ bi ismirabbika alladzii kholaq(a). “Bacalah (dengan sempurna) dengan menyebut nama Tuhanmu. Wallahu a’lam bi al-shawab.