Ketika Cahaya Lahir

Hari ini, rumahku ramai bukan karenaku, tapi karena tiba-tiba ada banyak orang yang datang. Aku tidak kenal sebagian besar dari mereka. Banyak wajah yang belum pernah ku lihat sebelumnya. Aku suka keramaian, tapi bukan keramaian seperti ini yang ku sukai. Biasanya, akulah penguasa rumah ini. Aku bebas melakukan apapun yang ku inginkan tanpa ada yang boleh mengusik. Aku bebas berlarian, melukis di dinding kanvas raksasa, makan apapun yang kusuka, mencoba semua baju yang ada di lemari, mengotak-atik komputer ayah dan bermain dimana pun yang ku mau. Namun hari ini, kehadiran manusia yang tidak aku kenali telah membuat gerakku terbatas. Aku merasa wilayah kekuasaanku dijajah. Aku jadi tidak mau melakukan apa-apa karena tidak mau mereka melihat kepintaranku dalam melakukan banyak hal.

Tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku memilih untuk mengamati apa yang sebenarnya terjadi di rumahku. Aku jalan ke kamar orang tuaku, karena disitulah tempat yang paling ramai di rumah. Ku lihat bunda dikelilingi oleh banyak orang, yang semuanya perempuan. Aku tidak tau mengapa, hari ini bunda tidak memakai bajunya sendiri, tapi memakai baju ayah. Baju kemeja pendek yang ada kancingnya. Aku tidak suka baju model seperti itu. Aku tidak suka bunda memakai baju ayah. Sudah begitu, bunda tidak memakai celana seperti ketika ayah memakai baju itu. Bunda memakai rok aneh dari selendang yang biasa bunda pakai untuk menggendongku. Harusnya bunda pakai bajunya sendiri dong. Bagiku, bunda sangat cantik ketika memakai bajunya sendiri, baju gamis panjang.

Tapi, aku melihat ada hal yang aneh. Kulihat bunda seperti kelelahan, dan ada keringat menetes di wajahnya. Apa bunda sedang sakit? Tapi tadi pagi masih sehat-sehat saja kok. Perut bunda yang membesar itu terus dielus-elus oleh orang-orang yang ada disekitarnya. Aku tidak terlalu memahami apa yang sedang terjadi saat ini. Sebenarnya, perut bunda sudah lama membesar. Kata bunda dan ayah, dari situ nanti akan keluar adik baru. Aku tahu, kalau aku punya adik, itu berarti aku akan jadi kakak. Tapi yang aku tidak mengerti, kenapa adik harus ada di perut bunda dulu? Kata ayah bunda, aku juga berasal dari sana. Tapi aku tak bisa mengingatnya sama sekali. Bagiku, sesuatu yang tidak bisa kuingat tidak bisa aku percayai.

Ketika sedang khusyuk menonton, antara penasaran dan ingin mengorek informasi, tiba-tiba ayah menggandengku, mengajak keluar rumah. Sontak, aku berontak. Aku tidak suka diganggu ketika sedang serius melakukan sesuatu. Aku pun digendong dan diturunkan ketika sudah sampai di depan rumah. Kemudian, ayah berlutut di depanku dan membujukku.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

“Kak, ikut Bude yok. Ke rumah eyang.”

“Nggak mau. Aku mau lihat bunda,” jawabku dengan nada marah dan geleng-geleng kepala.

“Nanti ke sananya naik mobil loh, mau ya?” Ayah berusaha membujukku lagi. Aku enggan menjawab dan hanya menggelengkan kepala. Aku sangat suka naik mobil. Tapi kali ini, aku benar-benar ingin tau apa yang sebenarnya terjadi di rumah. Ayah tidak menyerah, dan bersiap hendak mengeluarkan kata-kata lagi.

“Nanti disana kakak bisa main sama kakak-kakak yang lain. Kamu suka kan kalo main bareng mereka? Kebetulan mereka lagi kumpul di rumah eyang.”

Setelah mendengar bujukan yang terakhir, benteng pertahananku runtuh. Aku sangat suka bermain bersama kakak-kakakku. Sebagai adik yang paling kecil, bagiku mereka adalah panutan, teman yang asyik dan menyenangkan. Bersama mereka, aku selalu dikenalkan dengan bermacam-macam permainan baru yang nantinya bisa aku mainkan sendiri di rumah bersama bunda.

Aku pun segera berangkat naik mobil bersama bude. Ayah tetap tinggal di rumah. Katanya sih mau menemani bunda. Sesampainya disana, aku langsung disambut eyang putri dan diperbolehkan untuk mengambil jajanan sesukaku di toko milik eyang. Setelah ambil jajan coklat kesukaanku, aku segera bergabung bersama kakak-kakakku dan bermain bersama. Saking asyiknya bermain, tak terasa sudah waktunya bagiku untuk kembali ke rumah. Aku pulang ke rumah dijemput ayah menggunakan motor, karena bude sudah pulang ke rumahnya sendiri. Sebenarnya aku agak kesal, kenapa bude harus pulang dulu? Aku kan ingin naik mobil lagi.

Sampai rumah, aku langsung menuju kamar bunda untuk menceritakan permainan baru yang aku mainkan bersama kakak-kakakku tadi. Sesampainya di depan kamar, aku sangat terkejut ketika melihat ada manusia kecil yang tidur disamping bunda. Manusia itu dibungkus kain dengan warna terang, seperti bungkusan arem-arem, jajanan kesukaanku. Yang kelihatan dari bungkusan itu cuma kepalanya saja. Perut bunda juga tidak besar lagi. Apakah benar kalau ini adalah adik yang sering ayah bunda ceritakan? Aku baru tahu kalau ada manusia sekecil itu di dunia ini. Model baju yang dia pakai juga berbeda dengan bajuku, bunda, dan ayah. Aneh, batinku. Aku menahan rasa ingin tahuku, dan mulai mengajak bunda bermain.

Bukan jawaban iya dan ayok yang aku dapatkan, tapi jawaban iya dan nanti, karena bunda harus menemani manusia kecil itu dahulu. Bunda mencoba mengalihkan perhatianku dengan memperkenalkan manusia mungil itu sebagai adikku. Bunda bilang aku bisa memanggilnya Dik Cahaya dan harus menyayanginya seperti kakak-kakakku menyayangiku. Aku tidak terlalu mendengarkan. Aku tak suka menunggu sampai nanti. Aku mau main sekarang. Aku yang merasa kesal dengan jawaban bunda langsung melihat ke ayah untuk minta pembelaan. Tapi ternyata, ayah membela bunda dan mengatakan kalau bunda capek dan harus istirahat. Aku tak mengerti. Yang capek itu kan aku. Aku sudah sampai main kemana-mana. Sedangkan bunda, cuma di kamar saja sejak tadi.

Seketika, timbul rasa tidak sukaku pada adik kecil. Aku merasa dia telah mengambil semua yang aku punya. Ayah, bunda, lalu apa lagi? Aku sudah tidak semangat main gara-gara Adik Cahaya. Aku ingin tidur, dan harus disamping bunda. Aku langsung merebahkan badanku di antara bunda dan adik yang hampir tidak ada celahnya sama sekali, membuat badan adik terhimpit dan terbangun. Adik langsung nangis. Kencang sekali. “Huuuaaaaa…” Begitulah kira-kira suaranya. Ah, baru sebentar dia sudah bikin ribut saja. Aku tidak mau tahu dan langsung memejamkan mata.

Oleh: Almas Fairuza Salsabila, Mahasiswi Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *