Shalat Tarawih di Rumah, Why Not?

Dari Abu Hurairah ra., Nabi saw bersabda:

“Maka Apabila aku melarang Kamu dari sesuatu, tinggalkanlah!, dan apabila aku perintahkan kamu melakukan sesuatu, kerjakan SESUAI KEMAMPUANMU.” (HR. Bukhari-Muslim)

Ramadhan sebentar lagi menyapa kaum muslimin. Alih-alih bersuka cita, umat Islam di berbagai belahan dunia dalam waktu yang sama, justru berduka cita atas merebaknya covid 19 yang telah menjadi pandemik dunia. Dulu, ketika muncul iklan sirup marjan, kaum muslimin khususnya di Indonesia telah siap-siap penuh gembira menyambut Ramadhan. Kini, suka cita itu sirna, tertutup oleh informasi perkembangan penyebaran covid 19 di Indonesia yang terus menyebar setiap harinya, menambah angka jumlah orang-orang terinfeksi, bahkan kini beberapa daerah telah dijadikan sebagai daerah dengan pembatasan aktivitas sosial berskala besar.

Demikian, dapat dipastikan pelaksanaan sholat Tarawih tahun ini, akan dilaksanakan di rumah-rumah kaum muslimin. Agak aneh memang bagi kebanyakan kaum muslimin untuk melaksanakan sholat Tarawih bukan di masjid. Bisa jadi, sejak mereka anak-anak, shalat Tarawih sudah diperkenalkan oleh orang tua mereka dilaksanakan di masjid, bukan di rumah. Ditambah Ramadhan sebagai bulan suci, menjadikan shalat Tarawih beserta ragam ritual yang menyertainya menjadi sangat sakral, dihormati dan dimuliakan bahkan melebihi shalat wajib 5 waktu. Padahal kedudukan shalat Tarawih sebatas sunnah saja, tidak ada konsekuensi dosa jika tidak mengerjakannya. Shalat Tarawih di masjid telah menjadi semacam Norma Folksway. Terjadi berulang-ulang dan ajeg di alam realita, berangsur-angsur terasa kekuatannya sebagai hal yang bersifat standar, yang karenanya – secara normatif – WAJIB DIJALANI. Di antara yang ajeg wajib dijalani itu misalnya, bacaan surat pada shalat Tarawih setelah al-Fatihah ‘harus’ dimulai dari surat al-Takatsur, dan pada rakaat ke dua ‘harus’ surat al Ikhlas, atau pada malam 17 Ramadhan menjadi al-Qadar dibaca pada rakaat pertama dan rakaat ke dua dimulai dengan surat al-Takatsur. Beberapa masjid sebelum adzan Isya’ dikumandangkan ‘harus’ melaksanakan tilawah ayat2 pilihan dari beberapa surat dalam al-Quran yang lazim disebut ayat-ayat najat (monajati). Ples ragam bacaan doa dan sholawat yang mengiringi antara hitungan rakaat shalat Tarawih dengan rakaat Tarawih berikutnya. Praktik ini dikerjakan berulang-ulang pada tiap tahunnya, menguat dalam alam pikir, hingga masyarakat muslim saling mengetahui apakah yang akan terjadi atau dilakukan masing-masing di dalam situasi shalat Tarawih dan ritual-ritual Ramadhan pada umumnya.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Jika kita menelusuri praktik shalat Tarawih yang dikerjakan oleh Nabi saw, ketika beliau masih bersama para sahabat, kita akan menemukan berbagai riwayat sohih yang menceritakan bahwa beliau shalat Tarawih berjamaah di masjid hanya dua atau tiga kali saja. Di antara riwayat tersebut, sebagai berikut:

“Dari ‘Aisyah Ummil Mu’minin ra: sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pada suatu malam hari shalat di masjid, lalu banyak orang shalat mengikuti beliau, beliau shalat dan pengikut bertambah ramai (banyak) pada hari ke-tiga dan ke-empat orang-orang banyak berkumpul menunggu beliau, tetapi nabi tidak keluar (tidak datang) ke masjid lagi. Ketika pagi-pagi, nabi bersabda: “Sesungguhnya aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang ke masjid karena aku takut sekali kalau shalat ini diwajibkan pada kalian”. Siti ‘Aisyah berkata: “Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Atau pada riwayat lain:

Dari Nu’man bin Basyir, ra. Ia berkata: “Kami melaksanakan qiyamul lail (tarawih) bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam 23 Ramadhan, sampai sepertiga malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada malam 25 Ramadhan (berakhir) sampai separuh malam. Kemudian beliau memimpin lagi pada malam 27 Ramadhan sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati sahur.” [HR. Nasa’i, Ahmad, Al Hakim. Shahih]

Riwayat Nu’man menyebutkan Rasul shalat tarawih berjamaah di masjid 3 kali, yaitu malam 23, 25, 27 Ramadhan. Sedangkan pada riwayat Aisyah ra., menyebutkan bahwa ketika kaum muslim telah berkumpul di masjid pada malam ke 3 dan ke 4 untuk bertarawih, Rasul tidak datang menemui dan mengimami mereka. Redaksi ini menjelaskan bahwa Rasul shalat Tarawih berjamaah di masjid hanya 2 kali.

Pada masa pandemik covid 19 ini, melaksanakan shalat Tarawih di rumah adalah juga amalan yang dipraktikkan Rasul, bahkan dapat dinilai sebagai pelaksanaan shalat Tarawih yang sesungguhnya. Adapun pilihan Rasul untuk shalat tarawih berjamaah pada malam-malam ganjil tanggal 23, 25 dan 27 Ramadhan sebagaimana riwayat di atas, menurut saya sangat berhubungan dengan lailatul qadar dan membutuhkan pembahasan khusus.

Dalam sebuah hadist disebutkan:

Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya kalian mengerjakan shalat di rumah-rumah kalian, karena sesungguhnya sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat maktubah (fardhu)”.

Rasulullah juga bersabda:

“Sesungguhnya rumah yang dibacakan di dalamnya al-Qur’an, maka rumah tersebut akan terlihat oleh para penduduk langit sebagaimana terlihatnya bintang-bintang oleh penduduk bumi”. (HR. Ahmad)

Pada malam-malam Ramadhan nanti, rumah-rumah kaum muslimin di Gorontalo akan bersinar terang melebihi terangnya bintang-bintang, cahayanya akan disaksikan oleh para malaikat, karena al-Quran yang mereka baca, mereka lantunkan dalam shalat Tarawih di rumah-rumah mereka. Wa Allahu a’lam.

Oleh: Ustadz H. Rulyjanto Podungge, Lc., M.H.I, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Gorontalo

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *