Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M.Si.
Pengasuh Pesantren Nurul Furqon (Planet NUFO) Mlagen, Rembang; Guru Utama di rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institute Semarang; & Pengajar Ilmu Politik di FISIP UMJ
Perkembangan mentalitas kiai Nusantara nampak akhir-akhir ini dengan keberanian mereka menggugat kalangan yang disebut habib karena klaim mereka sebagai keturunan Rasulullah Muhammad saw.. Fenomena ini sebelumnya tidak pernah ada, atau setidaknya hanyalah sekedar ibarat pepatah “api dalam sekam”. Tak kelihatan, karena baranya hanya kecil di bagian terdalam disebabkan oleh nalar kritis yang kadangkala muncul. Namun, dengan modal tesis Kiai Imaduddin al-Bantani bahwa silsilah habaib di Indonesia tidak nyambung kepada Rasulullah, api dalam sekam itu membesar. Gugatan terhadap habaib makin meluas, bahkan sampai level kiai kampung. Padahal, sebelumnya kalangan elite muslim tradisional di Indonesia ini sangat tawadlu’ di hadapan para habib.
Para habib mendapatkan superioritas di hadapan sebagian besar kiai dan juga ustadz di Indonesia karena banyak di antara mereka yang belajar ilmu-ilmu keislaman ke Yaman. Di sana mereka berguru kepada para habib dan memulai tradisi pemuliaan secara eksklusif, bahkan dalam sebagian kasus nampak sangat berlebihan. Sikap para elite agama yang demikian, menyebabkan kalangan awam lebih dari itu, sehingga terjadi semacam pengkultusan. Jadilah ini sebagai kesempatan untuk melakukan hegemoni. Dalam forum-forum pengajian yang dihadiri oleh mayoritas awam, digelorakan semacam doktrin tentang keharusan mencintai habib dengan eksploitasi ayat dan hadits yang sesungguhnya dipaksakan. Di antara ayat yang paling sering disitir untuk membangun fanatisme adalah:
ذَٰلِكَ الَّذِي يُبَشِّرُ اللَّهُ عِبَادَهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ۗ قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَىٰ ۗ وَمَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”. Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. (al-Syura: 23)
Frase “kasih sayang dalam kekeluargaan” ini dieksploitasi luar biasa untuk membangun pemahaman bahwa umat Islam haruslah mencintai mereka yang disebut habib itu melebihi yang lainnya. Bahkan juga ditambahkan bahwa syafaat Rasulullah tidak akan bisa didapatkan tanpa melalui kecintaan kepada mereka.
Memang ada beberapa riwayat tafsir yang mengarahkan kepada pemahaman itu sebagaimana juga dikutip oleh Ibnu Katsir, tetapi didlaifkannya. Terlebih ayat ini turun di Makkah dan konteksnya adalah Nabi Muhammad menghadapi banyak orang dari berbagai puak Quraisy yang menolak dakwahnya. Dan tentu saja, tidak ada satu pun puak dalam suku Quraisy yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan dengan Bani Hasyim. Karena itu, Nabi Muhammad sebagaimana rasul-rasul sebelumnya diperintahkan untuk menegaskan bahwa beliau menyampaikan risalah bukan karena menginginkan bayaran uang atau harta kekayaan.
وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. (al-Syu’ara’: 109. 127, 145, 164, dan 180)
Ungkapan yang persis sama dengan yang diungkapkan oleh Nabi Nuh ini diungkapkan juga oleh Nabi Hud, Shalih, Luth, dan Syu’ayb, sehingga ada lima ayat yang sama persis di dalam surat al-Syu’ara’. Isinya adalah pernyataan tegas bahwa penyampaian risalah mereka bukan karena untuk mendapatkan materi duniawi. Dan Nabi Muhammad saw. berharap agar dakwah beliau tidak dibalas dengan permusuhan dan tindakan menyakiti, melainkan kecintaan sebagai keluarga dekat, karena antara Nabi dan mereka sesungguhnya memang masih memiliki hubungan kekerabatan sesama Quraisy.
Namun, kandungan al-Qur’an itu kemudian dibelokkan oleh sebagian orang dengan cara melakukan glorifikasi. Doktrin kecintaan ini kemudian dikuatkan dengan menancapkan pemahaman tentang superioritas karena seolah mendapatkan legitimasi spiritual dengan mengekspoitasi ayat tentang ahlul bait (anggota keluarga, maksudnya adalah keluarga Nabi Muhammad):
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (al-Ahzab: 33).
Rerata para habib mentahbiskan diri sebagai ahlul bait yang disucikan sebagaimana dalam ayat tersebut, hanya karena mereka merasa diri sebagai orang-orang yang di dalam diri mereka mengalir darah Rasulullah saw.. Padahal, jalur nasab, baik dalam budaya pra Islam di Arab maupun setelah kedatangan Islam, turun dari laki-laki. Sementara Rasulullah saw. tidak memiliki seorang pun putera yang hidup sampai dewasa. Selain itu, al-Qur’an tidak sekali dua kali menegaskan paradigma ideologis bahwa keluarga, persaudaraan, dan hubungan kasih sayang itu sesungguhnya lebih disebabkan oleh kesamaan iman.
Berkaitan dengan keluarga ideologis ini, al-Qur’an menyinggungnya dalam kisah Nabi Nuh dan puteranya, Kana’an, ketika dia termasuk ke dalam golongan yang ditenggelamkan dalam banjir besar.
وَنَادَىٰ نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ
Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya”. (Hud: 45)
“Gugatan” Nabi Nuh itu dijawab oleh Allah dalam ayat selanjutnya yang berisi penjelasan tentang makna keluarga yang sesungguhnya:
قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ ۖ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۖ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan”. (Hud: 4)
Sama halnya dengan anak yang karena kedurhakaannya tidak lagi menjadi keluarga adalah istri. Dan itulah yang terjadi pada istri Nabi Nuh dan Nabi Luth.
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)”. (al-Tahrim: 10)
Dari berbagai perspektif yang diberikan oleh al-Qur’an mudah untuk ditarik sebuah benang merah bahwa yang dimaksud ahlul bait adalah sebagaimana diulas oleh banyak ahli tafsir, yaitu keluarga Rasulullah yang diharamkan makan sedekah, yaitu: istri-istri beliau dan orang-orang yang dilarang makan sedekah, yakni keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas ra.. Jadi batasannya jelas; selain mereka bukanlah termasuk ahlul bait.
Namun, kalangan awam dijejali dengan doktrin yang sangat potensial membuat para kiai nusantra tersingging, misalnya: “Jika ada kiai kemudian menjadi gila, maka kekiaiannya hilang. Namun, jika ada habib gila, maka kehabibannya tetap melekat”. Juga sering diucapkan oleh para habib yang menjadi penceramah bahwa puluhan kiai yang alim masih kalah kemuliannya oleh seorang habib yang bodoh. Inilah awal mula kiai-kiai nusantara terang-terangan bangkit melakukan “serangan balik”.
Gugatan terhadap habaib ini makin kuat disebabkan oleh setidaknya tiga hal, yaitu:
Pertama, pemalsuan banyak makam. Salah satu yang dimanipulasi adalah sebuah situs di lokasi tak jauh dari Kampus Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang. Sebelum tempat itu ramai dikunjungi oleh rombongan dari berbagai daerah, yang ada hanyalah sebuah masjid kecil tanpa makam. Namun, kemudian tempat itu telah dirombak dengan tulisan besar Syaikh Jumadil Kubro dan menarik banyak peziaran. Usut punya usut, ternyata motif di baliknya adalah “bisnis” untuk mengakumulasi kapital dari para peziarah.
Kedua, sikap arogan beberapa habib muda di panggung-panggung pengajian. Celakanya lagi, sebagian mereka ini minim ilmu alat, sehingga kalangan santri biasa pun tahu bahwa banyak dalil baik al-Qur’an apalagi hadits mereka lafalkan secara salah. Di antara faktor keengganan dan kesungkanan kalangan pesantren adalah anggapan alim kepada seseorang. Tapi kalau anggapan alim itu ternyata terbukti tidak benar, maka pelan-pelan akan muncul keberanian untuk melakukan perlawanan. Sikap tawadlu’ akan berubah menjadi sikap menantang. Dan itulah yang sekarang sedang terjadi.
Ketiga, upaya pembelokan sejarah organisasi NU. NU adalah organisasi mapan dengan sejarah yang relatif jelas. Karena itu, setiap upaya pemalsuan sejarah organisasi keislaman terbesar secara kuantitas anggota di Indonesia, bisa memicu reaksi berupa kecurigaan motif di dalamnya. Jika pun dilakukan oleh orang yang tidak memiliki motif kekuasaan struktural, bisa saja ada motif untuk mendapatkan kekuasaan kultural, yang semuanya bisa digunakan sebagai alat untuk mengakumulasi kapital. Belum lagi adanya faksi-faksi yang ada di dalam NU. Faksi yang berbeda dengan pembelok sejarah pasti akan cepat melakukan reaksi. Inilah yang menjadi bahan bakar tambahan yang membuat para santri pun ikut bergerak mengikuti kiai mereka yang sudah tidak lagi tinggal diam.
Para keturunan Nabi Muhammad saw. mestinya justru lebih berhati-hati, karena ada nama besar yang selalu membayangi sikap dan tindakan mereka. Dan mereka mestinya mereka memiliki prinsip moral bahwa jika mereka melakukan tindakan yang tidak pantas, maka sanksi yang mestinya mereka terima adalah berlipat dibandingkan yang bukan keturunan Nabi.
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan di lipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah. (al-Ahzab: 30)
Yang lebih substansial lagi, sesungguhnya seluruh manusia di muka bumi sekarang ini adalah keturunan Nabi. Nabi Muhammad sendiri menegaskan bahwa seluruh manusia ini berasal dari Nabi Adam, dan Nabi Adam diciptakan dari tanah. Karena itu, siapakah orang yang memahami agama ini dengan baik yang berani mengklaim bahwa masih ada orang yang lebih mulia? Sebab, derajat kemuliaan dalam pandangan Islam hanya ditentukan oleh ketakwaan kepada Allah Swt..Wallahu a’lam bi al-shawab