JANGAN JADI GURU GEMBLUNG

Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M.Si., Pengasuh Pondok Pesantren & Sekolah Alam Planet NUFO (Nurul Furqon) Rembang, Guru Utama di Rumah Perkaderan & Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institute Semarang, dan Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Perdebatan antara Ustadz Muhammad Nuruddin dan Guru Gembul yang mengangkat tema bisa diilmiahkan atau tidaknya akidah Islam di UI tanggal 9 Oktober 2024 lalu telah menarik perhatian cukup banyak orang. Sebenarnya ini adalah tema klasik yang mestinya memiliki argument final makin kokoh sebagai fundamen agama (ushul al-din) yang di atasnya bisa dibangun peradaban Islam yang maju dengan kualitas umat yang unggul. Namun, perdebatan mengenai urusan teologi seringkali hanya berputar-putar dan akhirnya tetap pada pandangan masing-masing karena objek perdebatannya bukanlah materi yang konkret. Apalagi kalau referensinya juga adalah ulama’-ulama’ yang membangun perspektifnya berdasarkan sekedar pikiran yang dianggap logis tanpa data objektif. Ujung-ujungnya adalah masing-masing bisa berpegang pada anggapan sendiri.

Walaupun demikian, para penceramah seolah tak pernah bosan mengangkat tema ini. Dan setiap kali terjadi polemik, kalangan awam juga sangat antusias mengikuti, walaupun akhirnya juga sekedar menjadi pendukung salah satu pihak tanpa memahami dengan baik argumentasi yang dihadirkan. Apalagi kalau sudah menjadikan kitab-kitab ulama’ klasik sebagai rujukan. Walaupun pandangan-pandangan yang dijadikan sebagai hujjah itu mestinya sudah harus didekonstruksi, karena sudah batal oleh temuan-temuan modern Salah benar kemudian tetap menjadi tidak penting. Sebab, masing-masing mereka memiliki persepsi sesuai dengan kapasitas intelektualnya (bi-qadri ‘uquulihim).

Namun, akhir perdebatan ini mestinya menjadi pelajaran bagi khalayak netizen bahwa tidak sedikit pandangan yang ada di short youtube yang sekilas nampak benar, ternyata keliru fatal. Yang sebelumnya dianggap waras dan rasional, kemudian terbalik jadi kelihatan gemblung. Sebenarnya, kasus semacam ini banyak, dan sebagian besarnya juga muncul dari para penceramah yang viral dengan jutaan subscriber. Namun, kalau tidak bersentuhan dengan akidah, biasanya orang yang tahu pun malas untuk melayaninya. Apalagi risikonya adalah menghadapi banyak komentar netizen yang keluar dari konteks pembahasan dan berubah menjadi sekedar dukung mendukung belaka, sebagaimana bisa dipahami dengan menggunakan teori post truth. Salah-salah malah dianggap sebagai pendengki yang berambisi untuk pansos.

Bukti bahwa banyak narasi keliru yang dianggap benar adalah umat Islam yang jutaan di antaranya menjadi subscriber chanel-chanel penceramah agama itu berada dalam ketertinggalan, baik dalam sains dan teknologi (saintek) maupun ekonomi. Padahal Islam mengajarkan kebenaran yang di antara isinya adalah jika umat Islam menjalankannya secara konsekuen, maka akan menjadi umat terbaik (khayru ummah) dan karena itu menjadi pemenang. Maka diperlukan guru-guru atau ustadz-ustadz yang berpikir holistik, dengan menjadikan ayat qawliyah (firman) dan ayat kawniyah (alam semesta) sebagai sumber ilmu. Dalil harus dipahami dengan basis data, demikian pula sebaliknya. Dalil tanpa data bisa menjerumuskan kepada takhayyul. Sebaliknya data tanpa dalil bisa menjerumuskan kepada ateisme, politeisme, dan atau cara beragama yang tidak benar.

Menjadi rasional atau gemblung, itu tergantung kebiasaan untuk melakukan aktivitas berpikir atau hanya menerima sesuatu tanpa mau berpikir, lalu melakukan kritik dan pembaharuan, dan lebih lanjutnya menghasilkan pengembangan sains dan teknologi untuk membuat kehidupan manusia makin mudah, juga indah. Bagi kalangan penceramah atau elite agama, juga para pembuat konten di era youtube, bisa karena merasa bahwa mayoritas masyarakat tidak bersikap kritis, maka kemudian merasa aman untuk mengatakan apa saja, karena sudah dianggap sering atau bahkan selalu benar. Maka yang berjaya adalah para ahli retorika yang kualitas inteleknya sesungguhnya medioker.

Keilmiahan Akidah Islam

Untuk menunjukkan ilmiah atau tidaknya akidah Islam, sesungguhnya tidak perlu berbelit-belit menghadirkan kitab-kitab yang justru memang belum menunjukkan keilmiahannya. Justru dengan langsung menunjukkan kebenaran al-Qur’an dengan berbagai bukti yang sebagian besarnya baru ditemukan di era modern, akidah Islam akan mudah diterima sebagai ilmiah.

Menurut al-Qur’an, segala sesuatu yang tidak memiliki dasar dan/atau bukti yang jelas bernilai dugaan (dhann). Dan dugaan tidak bisa dijadikan sebagai panutan dan jalan, karena tidak memiliki nilai sedikit pun bagi kebenaran. Itulah yang ditegaskan oleh al-Qur’an untuk memberikan konsepsi akidah yang benar-benar harus dibersihkan dari setitik dzarrah pun unsur syirik.

إِنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلَائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنْثَىٰ – وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ ۖ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ ۖ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran. (al-Najm: 27-28)

Dalam banyak ayat Makkiyyah, Nabi Muhammad diperintahkan untuk membangun fondasi akidah dengan Allah sebagai satu-satunya tuhan, meniadakan tuhan-tuhan lain selainNya. Konsep dasar tentang ketuhanan dalam Islam adalah semurni-murni tauhid. Percaya kepada Allah, tetapi juga percaya kepada tuhan-tuhan yang lain sama nilainya dengan tidak beriman sama sekali karena keduanya sama-sama bernilai salah. Karena itu tentang konsepsi ketuhanan ini, al-Qur’an berkali-kali menegaskan ungkapan yang tersusun atas penafian dan pengecualian.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (al-Bayyinah: 5)

Karena itulah, konsepsi tauhid Islam terumuskan dalam kalimat yang sangat singkat dan padat, yaitu: tiada Tuhan selain Allah. Dengan perangkat penafian laa, dan perangkat pengecualian yang sama, Islam menghapuskan segala macam yang membelenggu manusia. Kepasrahan manusia hanya absah oleh satu Tuhan saja, Allah Swt..

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. (Muhammad: 19)

Namun, konsepsi tauhid ini oleh kebanyakan orang, termasuk juga ulama’ Islam dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa dan karena itu tidak boleh dinalar. Mereka beranggapan bahwa domain iman atau kepercayaan memang hanya bisa diterima begitu saja. Cara berpikir ini tentu saja adalah kekeliruan fatal. Dan itu disebabkan oleh kekurangpahaman kepada keluasan al-Qur’an. Dan untuk memahami bahwa konsepsi akidah Islam itu rasional dan ilmiah, yang harus dilalui ibaratnya adalah jalan yang memutar. Sebab, untuk bisa memahami konsepsi ini, yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah memastikan kebenaran al-Qur’an.

Untuk memahami kebenaran al-Qur’an, yang harus dilakukan adalah falsifikasi dan verifikasi sekaligus. Falsifikasi adalah ikhtiar untuk menunjukkan kesalahan pada sebuah pandangan atau teori yang telah terbangun untuk membangun teori baru yang akan menggantikannya. Istilah ini dipopulerkan oleh Karl Popper di dalam karyanya The Logic of Scientific Discovery. Sedangkan verifikasi adalah ikhtiar untuk memastikan sebuah pernyataan atau teori bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah, karena bisa dicerap langsung dengan panca indera. Buktinya harus benar-benar empiris. Karena itulah, verifikasi ini menjadi salah satu prinsip penting di dalam positivisme dan naturalisme.

Al-Qur’an telah menyajikan banyak bukti tentang kebenarannya dalam setidaknya tiga kategori ayat, yaitu: tantangan yang tidak terjawab, isyarat ilmiah yang makin banyak terbukti, dan ramalannya yang sangat akurat. Dan jika ditarik simpulan tentang pandangan al-Qur’an tentang dunia ini, al-Qur’an memandangnya sebagai sesuatu yang riil dan objektif yang karena itu bisa diteliti. Hukum-hukumnya bisa dipelajari yang karena itu menjadi tanda-tanda yang diantaranya menghasilkan teori tentang hukum sebab akibat. Inilah yang mestinya ditangkap dan dipahami dengan baik oleh mereka yang dikenal atau dianggap sebagai ilmuwan Islam, baik dengan sebutan syaikh, kiai, ajengan, ustadz, atau tuan guru. Dengan begitu, doktrin Islam tentang akidah juga akan bisa dipahami dengan standar yang setara dengan standar ilmiah.

***

Tentang tantangan al-Qur’an yang tidak terjawab sampai hari ini, itu pun karena al-Qur’an dianggap sebagai kebohongan, sihir, dan dongeng masa lalu yang dikarang oleh Muhammad dengan bantuan jin, sehingga menjadi sya’ir berkualitas tinggi. Karena setiap kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad ditolak, maka tidak ada jalan lain kecuali menantang balik, mulai dari yang berat sampai yang paling ringan, berupa satu surat saja. Surat terpendek dalam al-Qur’an hanya tiga ayat saja. Tantangan itu diawali dengan:

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَىٰ أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَٰذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”. (al-Isra’: 88)

Al-Qur’an memberikan tantangan yang lebih ringan hanya dengan membuat sepuluruh surat saja:

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat al-Qur’an itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”. (Hud: 13)

Setelah tak mampu menjawab tantangan ini, al-Qur’an menantang dengan tantangan yang sudah tidak mungkin lagi ada yang lebih ringan.

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (al-Baqarah: 23)

Isyarat ilmiah yang paling mudah diverifikasi adalah proses kejadian embrio di dalam perut ibunya, yang jika tidak terbukti maka al-Qur’an menjadi tidak relevan.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ – ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ – ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (al-Mu’minun: 12-14)

Ayat-ayat tentang prediksi di dalam al-Qur’an, jika sejak awal tidak terbukti, maka pasti sudah sejak Nabi Muhammad masih hadup ditinggalkan oleh para pengikutnya. Prediksi paling presisi adalah tentang kemenangan kembali Romawi atas Persia yang tidak akan lebih dari sembilan tahun.

غُلِبَتِ الرُّومُ – فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ – فِي بِضْعِ سِنِينَ ۗ لِلَّهِ الْأَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ ۚ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ

Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, (al-Rum: 2-4)

Sejarah mencatat bahwa Romawi benar-benar bisa menang kembali atas Persia hanya dalam waktu tujuh tahun. Padahal ayat ini dulu ditertawakan, karena tingkat kerusakan akibat perang ini sangat parah yang menurut para ahli perang untuk melakukan recovery membutuhkan waktu minimal dua dekade.

***

Pernyataan tentang akidah Islam dengan konsepsi semurni-murni tauhid itu ada di dalam al-Qur’an. Jadi, jika al-Qur’an mengatakan bahwa Allah berjenis kelamin laki-laki, atau punya anak, atau punya pasangan, maka itulah konsepsi yang harus diterima. Namun, al-Qur’an menegaskan tentang kemurdian ketuhanan Allah dalam QS. al-Ikhlas: 1-4.

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ – اللَّهُ الصَّمَدُ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ – وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. (al-Ikhlas: 1-4)

Walaupun konsepsi itu tidak bisa diverifikasi, ia tetap harus dinilai rasional dan ilmiah, karena dalam hal-hal yang bersifat verifikatif, al-Qur’an menunjukkan bahwa dirinya benar dan tak pernah terbukti salah. Jika pernyataan al-Qur’an yang bersifat verifikatif selalu menunjukkan kebenarannya, maka untuk hal-hal yang bersifat unverifikatif, misalnya tentang konsepsi tauhid, akhirat, surga, dan neraka, harus dimasukkan dalam kategori iman. Karena itu, konsepsi iman Islam kemudian menjadi bersifat tidak hanya rasional, tetapi juga ilmiah. Jalan untuk menyimpulkan itu adalah qiyas atau analogi. Sebab, ayat qawliyah ternyata cocok dengan ayat kawniyah.

Akhirnya, sekali lagi, untuk memahami itu, diperlukan muslim cendekia yang tidak hanya mampu memahami tanda-tanda (alam, alamat) yang ada di lingkungan sekitar, baik makro maupun mikro kosmos, tetapi sekaligus juga mampu menginterkoneksikannya dengan tanda-tanda (ayat) yang ada di dalam firman. Karena firman itu adalah ilmu, sebagaimana para filsuf Yunani Kuno sudah menyebutnya sebagai logos. Karena ilmu yang mereka diskursuskan ternyata awalnya juga berasal dari firman. Dari sini makin nampak bahwa firman yang masih terjaga keasliannya sesungguhnya adalah sesuatu yang logis. Ia, sekali lagi, adalah rasional dan juga benar-benar ilmiah. Dan karena itu, akidah Islam yang ada di dalamnya tentu rasional dan ilmiah. Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *