“Islam Yes; NKRI Yes”

Baladena.ID/Istimewa

Dewasa ini, hubungan antara agama dan negara menjadi problem yang masih terus diperdebatkan. Meski bukan hal yang baru, perdebatan tentang itu terlihat meruncing sejak Pemilihan Gubernur (Pilgup) DKI Jakarta 2017 kemarin. Hingga saat ini, masih terasa bagaimana pembicaraan mengenai agama dan negara terus memancing emosi masyarakat, baik di dunia nyata maupun maya. Jika saling berdebat itu sama-sama didasarkan pada keyakinan kebenaran dan moral, tentu hal itu menjadi sesuatu yang positif dan konstruktif. Namun, yang menjadi ironi adalah jika halnya saling berdebat itu tidak berpijak pada keduanya dan hanya menuruti hawa nafsu belaka.

Dalam sejarah Islam, nasionalisme tidak bisa lepas dari lahirnya Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah), yang oleh para pakar politik Islam sekaliber Montgomery Watt pada 1988 dan Bernard Lewis pada 1994, dianggap sebagai embrio lahirnya negara nasional atau nation-state dan menempatkan Nabi Muhammad Saw sebagai pemimpin negara dan tidak sekadar menjadi pemimpin agama. Dengan kata lain, Nabi Muhammad selain menjadi penyampai risalah kenabian (yang memiliki dimenasi kerohanian), juga dalam waktu yang sama menjadi kepala negara yang mengurus rakyat Madinah seluruhnya. Menurut Robert N. bellah, ‘negara madinah’ yang pernah dibentuk Nabi Muhammad saw itu merupakan model ideal bagi hubungan antara agama dan negara. Wujud sejarah dari sistem sosial politik yang pernah terjadi dalam “negara Madinah” itu dapat dilihat dari Piagam Madinah.

Dalam konteks Indonesia, hubungan agama dan negara bukanlah persoalan baru, bahkan bisa dibilang bangsa ini sudah sangat terbiasa dengan relasi antarkeduanya. Dan harus diketahui dan diingat bahwa relasi keduanya adalah positif, meski dalam dinamikanya ada anomali-anomali negatif. Sebelum Indonesia merdeka, artinya ketika masih dalam perjuangan mengusir penjajah, para pejuang kemerdekaan menjadikan para penjajah sebagai common enemy yang harus diusir dari bumi Nusantara. Mereka bersatu padu membentuk kelompok-kelompok pemberontakan kepada pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Tanpa mempermasalahkan apa agama dan keyakinan masing-masing, mereka bersepakat untuk maju melawan penjajahan demi terwujudnya kemerdekaan tanah air mereka.

Umat Islam sebagai penduduk mayoritas dari bangsa Indonesia tidak mau kalah, dengan berdiri paling depan menentang penjajah. Umat Islam mengambil peran yang sangat penting dalam kemerdekaan Indonesia. Mereka dipimpin oleh para ulama. Tak sedikit jumlah pejuang kemerdekaan yang berstatus sebagai ulama penyebar dakwah Islam. Mereka telah diakui negara dan mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional. Sebut saja di antara mereka, ada Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asyari, Bung Tomo, Cut Nyak Dien, Pangeran Antasari, Muhammad Natsir, dan lain masih banyak lainnya. Mereka semua adalah penganut Islam yang taat dan berjihad pula demi negara, tanah air tercinta.

Semua penjelasan di atas semakin menguatkan pemahaman bahwa Islam bisa berjalan dinamis di dalam sebuah Negara, terutama sekali Indonesia; negara dengan kekayaan suku, agama, ras, dan sumber daya yang luar bisa. Indonesia yang memiliki dasar negara bernama Pancasila, sangat compatible dengan ajaran Islam yang merupakan rahmat bagi seluruh alam (rahmat li al-alamiin), bahkan diduga keras Pancasila merupakan simplifikasi pokok-pokok ajaran Islam yang disarikan oleh ulama-ulama Islam terdahuluHubungan keduanya menyangkut hubungan historis-filosofis yang tidak bisa dipisahkan. Pancasila Lahir dari keinginan umat Islam untuk berislam secara kaffah sekaligus dalam waktu yang bersamaan dapat menjalin hubungan baik dengan saudara sebangsa dan setanah air untuk mencapai kehidupan yang harmonis dalam bingkai nation-state, NKRI.

Menurut hemat penulis, saat ini ada dua kelompok besar yang membahayakan NKRI hubungannya dengan Islam dan Indonesia. Mereka terus berupaya menggoyang jalinan relasi antarkeduanya, mengancam sendi-sendi persatuan dan kesatuan. Pertama, kelompok yang mencoba menghilangkan agama, terutama Islam dari Indonesia, dengan cara membenturkan antara (umat) Islam dan Indonesia. Mereka menyebarkan hoax dengan seluas-luasnya bahwa Islam itu agama privat, tidak perlu dibawa kepada urusan publik; bahwa Islam itu radikal dan identik kepada kekerasan, dan lain sebagainya. Kelompok ini terindikasi sebagai neo-komunisme dan/atau kelompok berpaham sekuler ala Barat.

Mereka menyebut-nyebut diri mereka sebagai kolompok nasionalis. Padahal, “bapak nasionalisme” Indonesia sekaligus Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno pernah mengatakan bahwa jika orang-orang islam ingin agar hukum-hukum di indonesia berdasarkan islam, maka hendaknya mereka berjuang untuk merebut sebanyak-banyaknya kursi di parlemen, sehingga bisa mempengaruhi pembuatan hukum. Begitu pula jika orang-orang Kristen menginginkan agar konstitusi di Indonesia bercorak Kristen, maka orang-orang Kristen harus berjuang sekuat-kuatnya untuk merebut kursi-kursi di parlemen. Itu artinya, nasionalisme yang ajarkan Bung Karno adalah nasionalisme religious, bukan nasionalisme sekuler ala Barat.

Kedua, golongan yang ingin mengganti dasar negara Pancasila dengan ide khilafah yang tekstualis, tanpa berpikir konteks dan relevansi sosio-historis-kultural dari bangsa Indonesia.  Mereka ingin mendirikan “Negara Islam”, yang jelas-jelas ditolak oleh kelompok nasionalis dan dilepaskan dengan ikhlas dan cerdas oleh kaum Islamis pada awal kemerdekaan pada masa perumusan bentuk dan dasar negara 1945. Padahal, para ulama sejak masa penjajahan dan saat merebut kemerdekaan memiliki prinsip “hubbub al-wathan min al-iman”, sehingga tidak rela jika Indonesia dijajah. Mereka menngumumkan perang melawan penjajah adalah jihad. Apalagi penjajah-penjajah itu secara islam bisa dikategorikan kafir, mereka sama sekali tidak takut mati, sampai-sampai berprinsip “hidup mulia atau mati syahid”.

Penulis melihat bahwa kedua kelompok tersebut perlu diwaspadai, supaya jangan sampai diberikan jalan sedikitpun. Umat Islam perlu menyakini bahwa di dalam negara Pancasila, Islam tetap dapat diamalkan dengan penuh kegembiraan. Diakui atau tidak, agama sangat diperlukan dalam menyelenggarakan negara, sedangkan negara diperlukan untuk melindungi pemeluk agama menjalankan kepercayaan yang diyakininya. Karena itu, perlu dikampanyekan: “Islam Yes; NKRI Yes”. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

Oleh: Mokhamad Abdul Aziz, Ketua Umum PW GPII Jawa Tengah

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *