Oleh: Dr. Mohammad Nasih
Pengajar di FISIP UMJ dan Pascasarjana Ilmu Politik UI, Guru Utama di Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Semarang, Pengasuh Pesantren dan Sekolah Alam Planet NUFO Rembang.

Saya lahir di kampung. Sampai lulus SMP, MTs tepatnya, saya berpindah ke ibukota kecamatan karena melanjutkan sekolah dan mondok di pesantren. Suasana berubah. Saat di kampung bisa bebas bergerak untuk bermain dan berkreasi, mulai dari main layang-layang sambil menggembala kambing, bergulat di pinggir kali, juga adu tangkas melawan arus sungai saat banjir besar dengan naik gedebok pisang, menanam berbagai tanaman dan merawatnya hingga berbuah atau bisa dipanen, sampai memelihara berbagai binatang ternak maupun kesukaan. Namun, saat berpindah ke kota, yang terlihat hanya tembok-tembok penghalang pandangan.

Tidak mungkin lagi melakukan banyak aktivitas yang sebelumnya menjadi agenda harian. Mau dan bangun tidur melihat tembok. Mandi dikelilingi atau dibawah tembok. Tidak mungkin bermain layang-layang karena banyak kabel listrik dan telephone yang menjadi penyangkut benang. Tidak mungkin lagi menanam dan memelihara binatang, karena ruang untuk gerak pun menjadi sempit. Aktivitas hanya terfokus kepada belajar, menela’ah buku atau kitab yang menjadi kurikulum sekolah dan terutama pesantren.

Lulus sekolah menengah, saya melanjutkan kuliah di kota yang jauh lebih besar, walaupun bermula di pinggiran. Pertama kali, belajar Fisika di UNNES lalu Tafsir Hadits di UIN Semarang. Di ibu kota provinsi, tentu saja tanah menjadi lebih mahal. Makin sulit bagi seorang mahasiswa dengan modal hanya untuk makan dan sedikit beli buku melanjutkan aktivitas yang dulu pernah saya lakukan. Beruntung saya menemukan organisasi yang memperkenalkan saya dengan banyak orang dan membuat saya melambungkan angan.

Lulus S1, langkah melaju menuju Jakarta. Jarak perpindahan menjadi lebih jauh lagi ke ibukota negara. Pikir saya, inilah pusat ilmu pengetahuaan, kekuasaan, dan tentu saja juga uang. Modal utama adalah tekad terkuat. Yang telihat adalah gedung-gedung yang tinggi untuk mewadahi penghuninya yang padat. Kuliah S2 dan S3 di Ilmu Politik UI selesai dalam tempo yang relatif singkat. Di ibu kota, kawan makin banyak, termasuk elite politik. Awal niat masuk ke dalam lembaga negara, dengan menjadi staff ahli adalah dapat uang halal dari gaji bulanan untuk menyambung hidup, juga sekaligus menyalurkan idealisme untuk mengubah dari dalam.

Ibarat pepatah sambil menyelam minum air. Namun, saya kemudian sadar, jangankan mengubah dari dalam; tidak diubah di dalam itu sudah keberuntungan besar. Tidak mungkin mengubah dari dalam atau meminjam istilah Trimberger melakukan “revolusi dari atas” jika tidak memiliki kekuasaan yang paling besar. Jika kekuasaan formal yang sesungguhnya besar, tetapi berada di tangan orang-orang tanpa ilmu pengetahuan yang cukup, terlebih hanya boneka para pemilik kapital, juga akan sama saja. Padahal itulah kenyataannya.

Baca Juga  Inferioritas Ganda

Maka mulai terpikir untuk membangun jalan alternatif. Harus ada kawah candradimuka yang bisa melahirkan kader canggih yang akan menggantikan mereka di masa depan. Kualitas SDM yang diperlukan adalah muslim-intelektual-profesional. Ketiga kualitas itu harus ada dalam satu diri. Konkretnya mereka haruslah pribadi yang berilmu dan berharta agar bisa merebut kuasa dan menggunakannya untuk menolong seluruh warga negara. Jumlahnya harus banyak. Mereka akan masuk dari berbagai pintu, sebagaimana anak-anak Nabi Ya’qub, lalu bertemu di dalam dengan idealisme yang sama untuk memperjuangkan kebenaran.

Dengan modal 1/3 hasil panen tebu di tanah warisan, bersama dengan beberapa pimpinan aktivis mahasiswa di Semarang Barat, kami membangun rumah perkaderan persis di seberang kampus III UIN Semarang. Untuk melahirkan kader dengan kualitas paripurna itu, jargon yang kami gaungkan untuk memompa semangat para disciples, sebutan untuk para mahasiswa yang menjadi mahasantri di rumah perkaderan kami, adalah ilm al-ulama’, amwaal al-aghniyaa‘, dan siyaasat al-muluuk. Jargon ini saya comot dan gabungkan dari ide sulthan al-awliyaa’ Syaikh Abul Qadir al-Jilany dan pemikir Syi’ah Ali Syari’ati. Lembaga ini kemudian saya namakan Monash Institute.

Pikir saya, yang berhak punya institute bukan hanya tokoh-tokoh senior yang telah mendirikan The Amien Rais Center, Akbar Tandjung Institute, The Fatwa Center, dll. Mohammad Nasih pun punya hak yang sama dengan menggunakan singkatan nama yang dulu hanya pahatan di sandal jepit saat di pesantren Mo dan Nash agar tidak dighashab oleh teman-teman yang lemah integritas. Dalam masa rintisan ini, seorang pengusaha senior mampir ke Monash Institute dan memberikan motivasi. Seusai acara, saya mengantarkannya ke hotel tempatnya menginap.

Di tengah perjalanan dia mengatakan: “Jika antum bisa menghasilkan 5 persen saja mereka jadi pengusaha, mantap”. Saya kaget, dan membalas: “Loh kok hanya 5 persen?” “Maumu berapa?” Dia bertanya balik. “80 persen dong.” Jawab saya cepat. Dia hanya tersenyum kelihatan meledek. Ternyata dia benar. Lebih dari 60 persen angkatan pertama mahasantri Monash Institute telah lulus pascasarjana, dalam dan luar negeri, dan jadi dosen. Namun, belum ada yang benar-benar jadi pengusaha. Memang cukup banyak yang membangun wirausaha, tetapi hasilnya belum signifikan.

Hampir sewindu mengelola lembaga perkaderan dengan hasil yang tidak sesuai harapan, walaupun hampir di setiap semester ada saja yang menjadi wisudawan yang mendapatkan penghargaan, membuat saya berpikir ulang. Pikiran sederhana saya, pasti ada yang kurang, atau bahkan ada yang salah. Di antara yang kemudian saya anggap sebagai penyebab adalah mereka kekurangan ruang dan kesempatan. Fokus mereka hanya belajar dan berorganisasi. Itu pun dengan modal yang menurut saya sangat kurang untuk menguasai paradigma keislaman, walaupun sebagian mereka adalah lulusan pesantren.

Mayoritas mereka ketika masuk Monash Institute belum menghafalkan al-Qur’an, sehingga aktivitas menghafal yang saya wajibkan menyita waktu dan tenaga mereka. Waktu yang kurang membuat banyak diantara mereka tidak bisa menghafal al-Qur’an total 30 juz. Yang berhasil menghafal total bisa dihitung dengan jari kedua tangan. Hafal tapi tidak total, meskipun sudah di atas 20 juz, saya anggap sebagai SDM tanggung, karena masih ada paradigma yang seharusnya ada di dalam dada mereka belum berhasil terkumpulkan. Berarti saya harus memulai kaderisasi dari usia belia, agar ada kesempatan yang lebih panjang.

Baca Juga  Negara Kemakmuran

Gayung bersambut secara tidak sengaja. Mas Arif Budiman, mengajak untuk mendirikan SMP untuk anaknya yang saat itu sudah kelas VI SD Islam terbaik di Kota Rembang yang didirikan olehnya sendiri bersama istrinya. Semangat saya tersengat, karena saya memang telah mengangankannya. Ditambah lagi dengan saya punya anak-anak yang sejak awal memang sebenarnya saya tidak ingin mereka masuk di sekolah konvensional. Awalnya saya ingin mereka menjalani home schooling. Namun, eyangnya mendaftarkannya di SDN samping dan depan rumah. Hanya beberapa langkah saja untuk sampai sekolah. Saya biarkan saja, agar tidak terjadi “konflik internal”. Apalagi saya tinggal alias numpang di “rumah mertua indah”. Toh, sepulang sekolah, anak saya bisa langsung ke Monash Institute untuk belajar dengan cara yang saya inginkan.

Para peserta Program Tahfidh 10 Bulan (PT10) di Planet NUFO.

SMP kami dirikan. Namanya SMP Alam Planet NUFO (Nurul Furqon). Guru-gurunya adalah para mahasantri Monash Institute angkatan 2014 yang sedang menempuh studi pascasarjana. Puteri bungsu Mas Arif, Aisya Sasmaya, menjadi murid angkatan pertama. Saya kira Mas Arif dan istrinya hanya akan menyekolahkan anaknya.

Ternyata keduanya yang sudah sangat berpengalaman mengelola sekolah, sangat total. Saya lebih banyak mengendalikan untuk urusan kurikulum yang bisa membuat murid-murid bisa hafal al-Qur’an, mampu menalar dengan logis, dan memiliki semangat wirausaha. Mbak Rita menjadi pengawal urusan administratif dengan sangat ketat. Mas Arif memelototi urusan menejemen pengelolaan agar semua berjalan sesuai perencanaan.

Planet NUFO saya tempatkan di dua bidang tanah seluas kira-kira 0,5 hektar, milik saya dan ibu saya yang kemudian diwakafkan. Area Planet NUFO menjadi makin luas, setelah istri saya membeli tanah di sampingnya seluas 2500 meter persegi dari uang zakatnya. Rizki tak terduga.

Tidak banyak murid SMP angkatan pertama. Hanya belasan saja. Ditambah dengan beberapa santri yang sekolah di MTs dan MA Darul Huda Mlagen. Padahal gurunya ada 20 orang. Suasana terasa sangat dinamis karena ada belasan santri lulusan SMU dan sarjana peserta program menghafal al-Qur’an 10 bulan. Mereka menjadi teladan dalam belajar dan menghafal, juga sekaligus pembimbing di luar waktu sekolah, bagi para siswa SMP.

Tahun kedua, Planet NUFO makin dinamis. Jumlah total penghuninya sudah lebih dari 100 orang. Saya makin semangat mengunjungi mereka. Di sana, saya lebih banyak memerankan diri sebagai tukang kebun sambil mengamati lingkungan dan segala dinamika yang terjadi di dalamnya.

Baca Juga  Abah Literasi

Setiap setelah shalat, saya hanya memberikan kultum berisi motivasi seputar belajar dan bekerja. Jika ingin pintar, belajar! Jika ingin kaya, kerja! Begitu singkatnya, dengan basis argumen ayat-ayat al-Qur’an ditambah pengalaman pribadi. Saya melihat anak-anak itu benar-benar sangat bersemangat. Saya mengamalkan nasehat Socrates bahwa mendidik itu mengobarkan api, bukan sekedar mengisi gelas kosong. Saya menemukan harapan saya untuk melahirkan kader dengan tiga kualitas di atas.

Masa pandemi membuat saya memiliki banyak kesempatan. Sepekan dua kali ke Planet NUFO, membuat saya bisa melakukan pengamatan di alam luas sekitarnya. Di sana muncul banyak sekali inspirasi. Tanah yang tidak dijual, bisa saya sewa. Bisa untuk kandang domba dengan desain bisa dipindah-pindah. Yang ada tanaman tebunya, bisa untuk menggembala tanpa mengurangi hasilnya.

Tebu tumbuh normal, dan rumput yang jadi gulmanya dimakan domba. Keduanya jadi integratif. Samping kandang kambing digunakan sebagai kebun sayur mayur untuk memenuhi kebutuhan dapur. Kotoran domba juga jadi bokasi untuk pakan unggas yang menghasilkan telur dan daging ayam tanpa obat-obatan kimia. Semua jadi organik.

Kotoran domba dan ayam yang dipelihara oleh para santri yang diolah sedemikian rupa, langsung dialirkan ke kebun sayur dengan mengandalkan gravitasi. Sayur tercukupi. Harapan swasembada mendekati nyata. Bisa dikata, hanya beras dan minyak saja bahan pokok yang harus beli dari luar.

Sebagian realisasi inspirasi butuh dana. Dari mana? Saya dibantu oleh mertua, istri, dan orang-orang beriman tanpa saya harus mengajukan proposal sumbangan. Sejak awal mendirikan Monash Institute, kami memang bertekad tidak akan pernah membuat proposal permohonan bantuan kepada siapa pun.

Kami harus berdikari, berdiri di kaki sendiri. Kalau ada yang mau berkontribusi, kami terima dengan syukur. Mereka tahu yang saya lakukan. Ibarat ada mobil yang berjalan, mereka mendorong dari belakang untuk mengakselerasi tanpa ikut campur tangan menentukan arah roda depan. Modalnya kepercayaan.

Di desa, tepatnya di luarnya, semua inspirasi bisa direalisasi. Untuk mewujudkan inspirasi menjadi relatif lebih mudah, karena kita tidak perlu membongkar tembok dan betonnya. Kita juga tidak perlu berhadapan dengan kepadatan penduduk dengan segala ragam paradigmanya yang sudah bagaikan batu karang. Kita bahkan bisa memanfaatkan teduhnya kebuh pepohonan untuk memelihara hewan untuk peternakan. Yang sebelumnya tidak menghasilkan, jadi menghasilkan.

Kita bisa melakukan start tanpa tantangan, bukan restart yang risiko karena tantangannya besar. Di pinggiran desa ini, segala visi dan aksi mendapatkan ruang untuk berkembang secara kontinue dan menjadi sarana yang sangat strategis bagi tumbuh kembang anak-anak yang akan jadi kader tangguh di masa depan. In syaa’a Allah. Alhamdulillah. *.

Dr. Mohammad Nasih, M.Si.
Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pembangun Qur’anic Habits di Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Semarang dan Sekolah Alam Planet NUFO Pilanggowok Mlagen Rembang.

    Kesetaraan Gender dalam Hukum Islam

    Previous article

    Ngalor Ngetan

    Next article

    You may also like

    1 Comment

    1. Inspirasi yang top! Semoga segala harapan dikabulkan.

    Ruang Diskusi