*Oleh: Sayyid Abdurrahman, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Salah satu peristiwa yang tak pernah luput dari benang merah sejarah dunia adalah peperangan. Pergulatan bersenjata ini sangat mempengaruhi kehidupan manusia dan berdampak besar bagi perkembangan bidang-bidang ilmu pengetahuan, salah satunya adalah ilmu hukum. Dalam menanggapi suatu peristiwa kekerasan kolektif ini, hukum hadir guna memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap para kombatan, warga sipil maupun para medis dari suatu penderitaan yang tidak diperlukan serta sebagai pelindung hak-hak bagi kombatan maupun masyarakat sipil yang berada dalam kawasan perang.
Hal tersebut diperlukan sebab bila melihat keadaan pada masa lalau, peperangan merupakan suatu peristiwa yang bilamana perang itu dilakukan, maka segalanya dapat dihalalkan untuk mencapai sebuah kemenangan. Manusia sudah tidak melihat kembali apa itu hak-hak maupun norma, tak heran para peperangan masa lalu sering terjadi sebuah kekerasan-kekerasan yang tak hanya ditunjukan bagi kombatan, tetapi warga sipil maupun para medis juga terkena dampaknya. Pembunuhan, pemerkosaan maupun pencabutan hak warga sipil sudah menjadi suatu hal yang lumrah dalam keadaan peperangan. Seperti dalam pengepungan Baghdad oleh Bangsa Mongol.
Kekerasan-kekerasan yang berlebihan dan amoral inilah yang menjadi salah satu alasan lahirnya hukum yang mengatur mengenai peperangan, yang umumnya disebut dengan hukum humaniter internasional ataupun hukum perang. Hukum humaniter tidak berusaha untuk menghilangkan adanya sebuah konflik peperangan secara keseluruhan melainkan mencoba mengatur tata cara peperangan tersebut agar warga sipil terhindar dari segala kehancuran, sebab bisa saja perang merupakan jalan terbaik dan satu-satunya untuk menyelesaikan sebuah konflik. Konvensi Jenewa 1949 merupakan intrumen awal sebagai tonggak dasar hukum humaniter internasional di era modern. Salah satu prinsip pokok mengenai hukum humaniter internasional adalah prinsip pembedaan (distinction principle) yang membagi antara kombatan dan warga sipil guna mengatur apa saja hak-hak antar kedua golongan tersebut.
Hukum humaniter internasional, secara umum dibagi menjadi 2 kategori besar, yaitu aturan yang mengatur bagaimana kombatan bertindak saat perang berlangsung (jus in bello) dan syarat-syarat mengenai apa saja yang harus dilakukan sesaat sebelum perang dimulai (jus ad bellum). Distrinction prinple merupakan prinsip yang harus ada dalam hukum humaniter bagian jus in bello, sebab dengan ini para kombatan mengetahui dan harus mematuhi apa saja objek daripada target operasi serta perbuatan-perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan kombatan saat perang berlangsung. Ini menunjukan bahwa hukum menjaga hak-hak dari warga sipil yang tidak memiliki keterkaitan dan andil terhadap peperangan yang sedang berlangsung.
Pada dasarnya dan seharusnya, peperangan hanya melibatkan para kombatan, pihak yang terlibat perang hanya dapat berujuan untuk melemahkan armada dan militer musuh saja sesuai dengan yang ditetapkan oleh Deklarasi St. Petersburg 1868 bahwa “satu-satunya tujuan sah yang harus diupayakan oleh negara selama perang adalah untuk melemahkana militer musuh.” Prinsip pembedaaan secara eksplisit diterangkan dalam Pasal 49 Protokol Tambahan I bahwa “Agar dapat dijamin penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil dan obyek sipil, Pihak-Pihak dalam sengketa setiap saat harus membedakan penduduk sipil dari kombatan dan antara obyek sipil dan sasaran militer dan karenanya harus mengarahkan operasinya hanya terhadap sasaran-sasaran militer saja.” Kemudian, dalam Pasal 13 Protokol Tambahan II juga dijelaskan secara eksplisit bahwa warga sipil harus diberi perlindungan serta bukan merupakan objek penghancuran. Dalam Protol Tambahan I, guna menjelaskan individu maupun kelompok yang dianggap sebagai kombatan dijelaskan paada Pasal 43-44.
Idealnya, apa yang dikatakan oleh hukum tidak boleh dilanggar tetapi kenyataannya prinsip dasar seperti pembedaan ini tidak dapat terlealisasikan dengan baik. Entah sudah sebanyak apa berita yang muncul mengenai tewasnya warga sipil akibat perang yang berkecambuk. Negara yang melakukan tindakan seperti itu, umumnya menggunakan istilah collateral damage atau kerusakan tambahan sebagai pembenaran mereka dari kecaman publik. Collateral damage, dalam hukum humaniter adalah sebuah peristiwa yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian terhadap warga sipil yang disebabkan oleh militer karena efek samping daripada penyerangan. Singkatnya, ini dapat diartikan sebagai serangan “nyasar” atau “tidak sengaja”.
Ataupun, mereka menyerang balik pihak lawan dengan mengatakan bahwa lawan menggunakan warga sipil sebagai tameng (human shield) yang menyebabkan mau tidak mau mereka menembak warga sipil tersebut. Lalu, pelanggaran seperti serangan mendadak secara tiba-tiba dengan menargetkan warga sipil sering dilakukan pada beberapa dekade lalu, walaupun untuk periode lima tahun terakhir praktek serangan seperti ini jauh berkurang disebabkan intensitas peperangan yang tidak semasif zaman dahulu.
Penghianatan terhadap hukum humaniter terlihat dari peperangan yang hingga hari ini masih terjadi di Timur Tengah. Di wilayah Palestina, tentara Israel secara rutin menggunakan warga sipil Palestina sebagai tamengnya. Dikutip dari Tempo, mereka melakukan hal keji seperti demikian tidak hanya kepada pria dewasa saja, tetapi kepada perempuan, anak-anak bahkan lansia. Strategi ini bahkan dilakukan sepengetahuan dan persetujuan oleh para pemimpin militer Israel. Selain itu, peledakan serta penghancuran gedung-gedung tempat tinggal warga sipil, rumah sakit, masjid dan sekolah juga merupakan serangan yang secara rutin tentanra Israel lancarkan, padahal menurut hukum humaniter ini termasuk dalam suatu pelanggaran hukum.
Pasal 52-53 Konvensi Jenewa I telah menetapkan bahwa objek-objek tersebut bukanlah sasaran militer. Berpindah ke negara di Utara sana yang sedang berkonflik yaitu Ukraina dan Rusia. Dilansir dari beberapa media digital seperti Aljazeera, konflik yang telah dimulai sejak 2 tahun yang lalu telah menewaskan lebih dari 10.000 lebih warga sipil baik dari pihak Ukraina maupun Russia. Tentu saja saat menatap angka korban warga sipil sangat kecil kemungkinan hal ini disebabkan oleh Collateral Damage sebab angkanya yang terlalu besar dan tidak wajar.
Dalam hukum humaniter, seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa sasaran atau objek penghancuran adalah militer ataupun kombatan. Prinsipnya, seharunya para kombatan dari pihak yang berkonflik harus memastikan terlebih dahulu dalam melakukan operasinya agar para warga sipil tidak terdampak, prinsip dasar ini yang disebut prinsip proporsional juga sering diacuhkan oleh para pihak yang berperang.
Selain itu, karena strategi militer yang terus-menerus mengalami pengembangan menyulitkan pengklasifikasian antara objek yang dapat dihancurkan dan objek yang tidak boleh dihancurkan. Jikalau zaman dahulu kombatan sangat jelas terlihat dengan ciri-cirinya seperti mengenakan baju baja serta membawa senjata dan pastinya selalu berada berseberangan dengan kombatan lawan.
Kini, strategi seperti itu agaknya tidak terlalu efektif untuk peperangan modern. Kombatan menggunakan strategi-strategi yang malah memudarkan dan merumitkan prinsip pembedaan, seperti kombatan yang berpura-pura menjadi warga sipil, kombatan yang menggunakan tempat netral sebagai markas maupun warga sipil yang tiba-tiba memegang senjata atas dasar sengaja maupun tidak sengaja di mana itu dapat secara otomatis menajadikan mereka sebagai objek penghancuran. Penggunakan senjata peledak yang bersifat destruktif seperti rudal ataupun drone juga menyulitkan tegaknya prinsip pembedaan dalam perang.
Walupun senjata seperti ini memeilik keakuratan dalam membidik sasaran, tetapi karena sifat ledaknyanya yang amat besar mengakibatkan warga sipil dan tempat-tempat yang seharusnya tak boleh dimusnahkan ikut hancur pula. Sedangkan negara yang melakukannya, seperti yang sudah-sudah pasti mengatakan bahwa itu adalah serangan “nyasar” saja.
Negara-negara lain dalam memandang perilaku dari negara berperang anehnya bersikap tidak satu suara. Beberapa dari mereka mengecam dengan tegas bahkan dapat melakukan beberapa upaya seperti sanksi ekonomi. Sebaliknya, ada pula negara yang tutup mata dan telinga padahal mereka tahu bahwa di seberang sana banyak warga sipil yang berlumuran darah dan berteriak lantang sebagai upaya terakhir menyelamatkan nyawanya. Kendati demikian, negara-negara tersebut beralasan bahwa mereka menegakkan prinsip non-intervensi dalam hukum internasional. Tentu saja sikap tidak satu suara ini ada disebabkan unsur politik yang sangat kental.
Faktor politik yang amat kental ini dapat mengesampingkan prinsip kemanusiaan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang merupakan wadah berkumpulnya negara untuk menjaga perdamaian dunia, dalam melaksanakan praktiknya seringkali bertindak lambat. Mungkin dimaksudkan agar menghasilkan kebijkan sebaik-baiknya, namun pergerakan lambat macam siput ini sangat membuang waktu dan sangat jelas menambah banyaknya korban sipil di wilayah perang. Ditambah lagi dengan adanya hak veto untuk beberapa negara yang membuat kebijkan yang hampir disahkan menjadi kusut dan sia-sia yang sangat menghambat terimplementasikannya prinsip pembedaan secara optimal.
Sejatinya memang begitulah, hukum yang telah ditulis dan menjadi harapan semua manusia agar terciptnaya kedamaian di dunia terkadang tidak sesuai dengan realita lapangan. Apalagi hukum humaniter yang mengatur mengenai peperangan di mana jikalau manusia sudah masuk ke dalam medan perang, seringkali sifat kemanusiannya telah hilang yang ada hanyalah nafsu untuk mengahancurkan dan mengahbisi lawannya. Mirisnya, jika kita mempelajari mengenai politik dan sejarah banyak sekali peperangan yang tersulut semata-mata untuk kepentingan penguasa. Mereka menggunakan dalih nasionalisme, menggunakan nama bangsa dan cinta tanah air guna mempempengaruhi rakyat supaya terjun ke medan pertempuran untuk mensukseskan tujuan mereka. Padahal, di mata penguasa rakyat hanyalah bidak catur yang tidak ada artinya.
Optimalnya hukum humaniter dan prinsip-prinsip didalamnya terkhusus prinsip perbedaan dapat diupayakan melalui pembaharuan 2 kategori yaitu pembaharuan dalam hukum humaniter itu sendiri dengan mengamandemenkan dan mempertegas kembali mengenai jus in bello dan jus ad bellum serta akibat hukum bagi para pelanggar hukum humaniter internasional. Lalu, Lembaga-lembaga penengak hukum humaniter internasional seperti DKPBB dan pengadilan pidana internasional juga diperbaharui dari segi sistem, tata kelola dan cara menyelesaikan suatu perkara atupun permasalahan guna menghasilkan kebijakan maupun putusan-putusan yang lebih cepat dan sesuai dengan harapan daripada masyarakat global.
Tetapi, pembaharuan seperti semacam itu juga memerlukan waktu yang tidak cepat, konflik internmal dalam lembaga-lembaga didalamnya pasti akan bermunculan, yang dapat kita harapkan sebagai rakyat Indonesia adalah mengawasi dan mendukung upaya pemerintah dalam menjaga perdamaian dunia sesuai dengan konstitusi dan upaya terakhir sebagai rakyat biasa yang tidak memiliki kuasa adalah untuk menolak segala bentuk pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter dan tidak menormalisasinya, setidaknya itu yang bisa kita lakukan.