Hikmah Jum’at-91: Menyikapi Karikatur Kanjeng Nabi (Bagian ke-2)

Uraian kali ini masih seputar status Karikatur Kanjeng Nabi Muhammad. Pembahasan pekan lalu dalam perspektif normatif Islam dengan qiyas aulawiy. Intinya hla wong menggambar Kanjeng Nabi dalam rangka menghormati beliau saja tidak boleh, dan itu merendahkan apalagi menggambarkannya dengan karikatur. Jelas lebih tidak diperbolehkan. Uraian kali ini akan membahasnya dengan perspektif sistem tanda atau semiotik.

Tanda adalah sesuatu yang merepresentasikan sesuatu yang lain. Dengan tanda seseorang bermaksud mengungkapkan suatu objek tertentu. Misalnya, gambar hati sebagai representasi dari cinta. Gambar hati adalah tanda cinta yangdirepresentasi. Di dalam semiotika ada tiga komponen penting yang saling berhubungan ketika terjadi proses memaknai tanda. Yakni representamen, obyek dan interpretan. Dalam konteks ini representamen adalah gambar karikatur, sedangkan obyek yang direpresentasi oleh gambar karikatur tadi adalah Rasulullah Muhammad, sedangkan interpretan adalah makna atau tafsir dari representamen tadi.

Sekali lagi, bahwa ini bukan masalah kita sudah pernah melihat Kanjeng Nabi atau belum, yang jadi soal itu adalah, menisbahkan Kanjeng Nabi yang luhur dan mulia dengan suatu penanda yang mengandung makna mengolok-olok (karikatur).Itu tampak dengan jelas dari relasi triadik yang digambarkan oleh pengirim pesan visual karikatur tersebut. Jadi sudah tampak terang-benderang, bahwa ada obyek yakni Kanjeng Nabi, ada representamen berupa karikatur yang digunakan untuk mewakili dan menggambarkan Kanjeng Nabi dan ada interpretan atau tafsir terhadap karikatur itu. Interpretan memang bisa saja berbeda antara satu orang dengan orang lain bergantung pada latar yang dimilikinya, namun perlu diingat bahwa di masyarakat ada konvensi pemaknaan tantang apa itu karikatur. Karikatur itu ya, penggambaran sesuatu secara berlebihan dengan maksud guyonan atau bahkan olok-olok itu tadi. Jadi sudah amat sangat jelas, terang benderang dan cetho welo-welo bahwa maksud dari visualisasi Kanjeng Nabi dengan karikatur itu, tidak lain dan tidak bukan adalah mengolok-olok Nabi. Menangkap pesan sederhana semacam itu, tidak butuh kemampuan kognisi tinggi, nalar sederhana sekalipun bisa dengan mudah memahaminya. Asalkan saja yang digunakan adalah nalar sehat.

Selain itu, nalar sederhana menemukan bahwa sebuah perilaku orang waras pasti ada maksud yang ingin dicapai. Demikian pula dengan menampilkan karikatur Kanjeng Nabi itu. Mungkinkah visualisasi Kanjeng Nabi itu nur maksud? Jawabannya amat sangat tidak mungkin, pasti ada maksud. Maksudnya apa? Ini persoalan sederhana. Untuk mencapai maksud, seseorang berusaha menggunakan sarana yang efektif. Tidak mungkin orang mau makan, kok yang dibawa dan gunakan sekop pasir. Orang mau menebang kayu tidak mungkin alat yang dibawa kok sendok dan garpu. Orang yang membawa sendok dan garpu itu sudah dapat ditebak bahwa ia bermaksud akan makan. Orang yang membawa kapak, sudah bisa ditebak bahwa ia akan menebang pohon dan sebagainya. Intinya tujuan itu bisa diidentifikasi dari alat apa yang ia gunakan.

Dalam hal ini, karikatur dipilih sebagai alat untuk menyampaikan pesan. Mungkinkah orang menggunakan alat yang bernuansa olok-olok, dan guyonan bermaksud menyampaikan pesan penghormatan? Jelas tidak mungkin. Ini adalah nalar sederhana yang tidak perlu perdebatan. Jadi tidak perlu berdebat apakah yang membuat karikatur dan kita sudah pernah melihat Kanjeng Nabi atau tidak. Jika belum pernah melihat Kanjeng Nabi, lalu karikaturnya Kanjeng Nabi itu tidak ada, maka ini sama saja memperdebatkan sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan. Jadi malah mubadzir. Kalau mubadzir malah jadi temannya syetan.

Jika ada seorang muslim yang merasa di dalam visualisasi karikatur Sayyidul Mursalin Kanjeng Nabi itu tidak ada olok-olok, bisa jadi karena sulitnya mengabstraksi di dalam alam pikirannya. Kesulitan mengabstraksikan tadi bisa jadi disebabkan oleh pertama, terlampau jauhnya jarak waktu antara Kanjeng Nabi dengan waktu sekarang. Jadi kehilangan konteks. Kedua, karena jauhnya ikatan emosional dengan Habibina, wa Syafiina, wa Qurrati A’yunina Sayyidina Muhammad. Jadi ada jarak emosional yang sangat jauh di dalam hati seseorang antara dirinya dengan Kanjeng Nabi. Kalau ini yang terjadi, memang repot jadinya.

Jika demikian masalahnya, coba kita tarik ke yang lebih dekat. Seandainya, ada orang yang menggambarkan Walisongo yang sangat kita hormati dengan karikatur, apa yang Anda rasakan? Walisongo kok dibikin karikatur, gitu hlo, apa yang kita rasakan? Jika masih sulit mengabstraksi bahwa hal itu olok-olok, baiklah kita tarik lagi ke yang lebih dekat. Jika ada orang memvisualisasikan melalui karikatur terhadap tokoh yang amat sangat kita segani, misalnya KH. Ahmad Dahlan atau Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, apa tanggapan kita? Akankah kita diam dan meneriman begitu saja? Jika kita tidak terusik sama sekali, maka sejatinya yang sedang ada masalah adalah diri kita.

Peristiwa penghinaan terhadap Kanjeng Nabi, tampaknya akan silih berganti dari waktu ke waktu, dengan berbagai macam cara yang berbeda-beda. Hal itu, seakan menjadi salah satu syawaahid dari sebuah riwayat yang disandarkan kepada Rasulullah, yang belum begitu jelas keshahihannya. Sebagaimana hal itu termaktub dalam Tanbih al-Ghaafilin karya Abu Laits as-Samarkandiy berikut ini.
ذكر عن وهب بن منبه رحمه الله تعالى قال أمر الله وتعالى إبليس أن يأتي محمدا صلى الله عليه وسلم ويجيبه عن كل ما يسأله فجاء على صورة شيخ وبيده عكازة فقال له من أنت قال أنا إبليس فقال لماذا جئت قال إن الله أمرنى أن أتيك وأجيبك عن كل ما تسألنى فقال النبي صلى الله عليه وسلم: يا ملعون كم أعداؤك من أمتى قال خمسة عشر أولهم أنت …
Disebutkan dari Wahab bin Munabbah rahimahulllah. ia berkata Allah memerintahkan kepada Iblis untuk mendatangi Kanjeng Nabi Muhammad saw. dan menjawab segala pertanyaan darinya. Ia datang dengan bentuk seorang yang sudah tua, yang tangannya memegang tongkat. Lalu Rasulullah bersabda: Jenengan siapa? Iblis menjawab: Saya Iblis. Rasulullah bersabda lagi: Mengapa kamu datang kepadaku? Ia menjawab: Sesungguhnya Allah memerintahku untuk datang kepadamu dan menjawab segala hal yang engkau tanyakan kepadaku. Kanjeng Nabi saw. bersabda: Wahai yang terlaknat, ada berapa musuh kamu dari kalangan ummatku. Ia menjawab: Ada lima belas, yang pertama adalah engkau.

Terlepas dari sahih atau tidaknya riwayat itu, kebencian iblis kepada Kanjeng Nabi itu tampak benar adanya. Kebencian tersebut kemudian mengejawantah dan terpersonifikasi melalui peristiwa-peristiwa semacam visualisasi Kanjeng Nabi dengan karikatur itu. Lalu, bagaimana kita harus menyikapinya? Insyaa Allah, akan dikemukakan pada Hikmah Jumat yang akan datang.

Demikain Hikmah Jumat kali ini. Semoga bermanfaat dan kita senantiasa dimasukkan menjadi golongan yang selalu mencintai Rasulullah, dan kelak mendapatkan syafaatnya. Aamiin. Billaahifii sabiilil Haq.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *