Hujan kembali jatuh menciumi bumi. Rintik demi rintik tiada henti. Ternyata di langit sana mendung sudah asyik bergumul. Dari timur hingga barat daya hanya kegelapan yang nampak di mata. Suara guntur pun mulai menggemuruh. Kilatan-kilatan cahaya yang menyilaukan pasti membuat hati siapa saja gentar. Rutinitas yang biasa dilakukan makhluk bumi menjadi redup seketika. Semua terlihat enggan untuk berguyur di bawah tetesan air hujan, meskipun sekadar keluar dari persembunyian. Kecuali mereka yang benar-benar ada kepentingan saja yang mau bermandi dengan rintikan hujan. Sebab, mereka cenderung memilih kehangatan selimut yang dapat menenangkan perasaan.
“Ah, malam ini pasti akan terasa lebih panjang.” Lirihku memecah kesunyian.
Iya, hujan kala ini akan lebih lama dari biasanya. Bukan karena saking lebatnya intensitas air atau durasi waktu, tapi karena kepingan-kepingan kenangan yang ditimbulkannya. Seakan ikut memahami apa yang hati ini rasakan, sang hujan mau berbaik hati menjadi temanku malam ini sebagai peredam sepi. Membiaskan sendu yang sempat hadir di hati. Menguatkan diri tentang tujuan yang hakiki. Terima kasih hujan, karena bersamamu aku merasa tidak jatuh sendirian.
Ditemani dengan buku “Meniti Jejakku” dan sebuah pena digenggaman tangan, aku mencoba membuka kembali rentetan aksara yang tertulis indah di sana. Sejenak, biarkanlah hujan malam ini menjadi saksi bisu atas kejujuran yang dahulu pernah digaung-gaungkan. Dengan seksama dan penuh khidmad, aku mulai tenggelam dalam lautan kata-kata. Hingga tepat pada sepenggal kata, nafasku kian terasa berat. Diri ini lantas bertanya, “Apakah aku bisa menampik takdir ini?” Masamku sembari menatapnya.
Aku sangat percaya bahwa Tuhan adalah Sang Pemilik sekaligus sebaik-baik Perencana. Iya, manusia bisa apa? Tanpa-Nya, manusia tidak berdaya. Sebab itu aku menggantungkan semua pada sang Maha Kuasa. Apakah takdir akan berpihak kepadaku atau tidak, biarlah menjadi rahasia Dia. Namun, jauh di lubuk hati terdalam ada harapan yang tidak bisa aku sembunyikan. Ia berusaha untuk menarik diri ini, terus menyeret menuju pusaran kebohongan. Suatu ruang dimana aku bebas mengeksplorasi diri, tapi selalu dibayangi hal-hal yang berbau ilusi.
Tatkala sebuah komitmen dilanggar, apa yang akan terjadi? Apakah situasi dan kondisi dapat baik-baik saja seperti tidak ada apa-apa? Bulshitt !! Semua itu hanyalah bualan kosong yang hanya manis diucapan tapi pahit dikenyataan. Janji hanya sebatas janji, dan mengingkari seolah hal yang sudah pasti. Menjadikan diri ini tidak mengerti, mengapa esensi perjanjian tidak dihormati lagi. Komitmen yang dibuat sungguh-sungguh, begitu mudah hilang tidak berbentuk. Ia hanya menyisakan puing-puing lara dan untaian aksara yang kini tengah kubaca.
Apabila tidak kuasa menjalani, seharusnya tidak perlu menunjukkan prediksi bahwa “We can do it”. Jujurlah pada diri sendiri tentang apa yang dimiliki dan belum dimiliki. Sebab, tidak selamanya takdir hidup sesuai dengan apa yang diyakini. Daripada menimbulkan kesan buruk di kemudian hari, lebih baik mulai membuka diri dan jujur tentang semua hal untuk hasil yang baik lagi. Selain itu, agar tidak menimbulkan korban akibat kesalahan yang sebenarnya tidak diinginkan. Karena sekali lagi, Tuhan tahu mana yang baik untukku dan untukmu.
Seiring waktu berjalan, luapan rasa sakit dan sesal perlahan memudar digantikan dengan jutaan keniscayaan. Perempuan ini akan tetap kuat, meskipun kebohongan telah menggerogotinya. Tidak mengapa, toh ada hikmah yang dapat dipetik dari hal tersebut. Biarkan semua mengalir laiknya air. Lepaskan dan biarkan takdir Tuhan yang bekerja. Setidaknya, takdir Tuhan tidak akan berkhianat. Ia akan berterus terang tentang apa saja kejadian yang sudah menjadi hak milik seseorang. Mau tidak mau, inilah harga mahal yang harus dibayar akibat sebuah ketidakjujuran.
Perlahan, kaki ini melangkah meninggalkan buku yang telah menenggelamkannya. Secara tidak sadar, kini aku sudah berada diantara jutaan tetes hujan yang beberapa menit lalu sudah kuanggap teman. Badan yang menggigil hingga membuat jari-jemari memutih, ku hiraukan. Fokusku lebih menuju pada air-air yang jatuh dari langit. Ia jatuh ke bumi, menetes melalui ujung-ujung rambut ini. Sembari menengadahkan tangan, ku coba menghayati mereka, berharap tahu bagaimana cara menampik sakit, meskipun jatuh berkali-kali. Akupun lantas tersenyum masam dan mengatakan: “Hai hujan, maukah kamu berbagi rahasia untuk menghilangkan rasa sakit itu kepadaku?”
Oleh: Yumna Naa, Pelenyap lara, pecandu rindu