ELITE AGAMA YANG CELAKA

Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M.Si.

Dosen Ilmu Politik FISIP UMJ; Pengasuh Pesantren Planet NUFO (Nurul Furqon) Mlagen, Rembang.

 

Di dalam setiap komunitas pemeluk agama, terdapat kalangan elite yang menjadi pemimpin. Kepemimpinan itu mereka dapatkan terutama karena mereka dianggap paling memahami ajaran agama dan karena itu juga dianggap paling dekat dengan Tuhan. Mereka biasanya diberi posisi terhormat dengan memimpin peribadatan atau acara-acara berbasis keagamaan yang dijalankan secar rutin. Bahkan, ada pula yang menganggap bahwa mereka adalah orang-orang suci yang tidak memiliki ketertarikan kepada materi duniawi. Karena itu, pandangan awam kepada mereka biasanya adalah pandangan positif (husn al-dhann).

Namun, al-Qur’an memberikan pandangan objektif tentang para elite agama. Menurut al-Qur’an, tidak semua elite agama telah membebaskan diri mereka dari orientasi atau kepentingan menikmati materi duniawi. Bahkan, yang digunakan untuk mendapatkan materi duniawi itu adalah ajaran-ajaran agama. Di antara ayat al-Qur’an yang secara tegas menyebutkan keburukan elite agama adalah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (al-Taubah: 34)

Di dalam ayat ini, Allah Swt. menegaskan dengan menyebut elite agama Yahudi dan juga Nashrani. Karena ahl al-kitab yang ada pada masa awal kelahirkan Islam adalah Yahudi dan Nashrani, maka pesan moral yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh al-Qur’an adalah bahwa di dalam semua agama terdapat orang-orang yang demikian itu. Lebih tepatnya lagi pada setiap zaman ada orangnya. Sebagai sama-sama agama yang berasal dari Allah, Islam pun akan mengalami hal yang sama. Di dalam komunitas muslim, juga akan ada elite agama Islam yang melakukan tindakan yang sama, yaitu lebih memilih sesuatu yang menguntungkan secara duniawi, walaupun tindakan itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Al-ahbar dan al-ruhban hanyalah sebutan simbolik tentang adanya elite agama yang berperilaku buruk, karena kecintaan kepada harta kekayaan, sehingga justru menghalangi dari jalan Allah Swt.. Bahkan mereka menjadikan umat sebagai aset karena bisa menjadi sumber kekayaan yang membuat mereka hidup bergelimang harta.

Fenomena ini cukup lazim terjadi sampai zaman sekarang. Sebagaimana disebut oleh al-Qur’an di atas, tidak sedikit orang yang dianggap sebagai elite agama, seolah-olah melakukan sesuatu untuk agama, tetapi sesungguhnya untuk kepentingan diri dan kelompok sendiri. Dan ujung-ujungnya adalah untuk mendapatkan kenikmatan dan bahkan kemewahan dunia. Mereka berebut pengaruh untuk mengumpulkan jama’ah dan pecinta dari kalangan awam. Dari mereka yang awam itulah berbagai keuntungan bisa didapatkan, karena kalangan awam mudah dieksploitasi secara langsung, atau dimobilisasi untuk memberikan dukungan politik kepada pihak tertentu yang dari agenda itu bisa dihasilkan uang. Dengan berbagai sebutannya, baik kiai, ajengan, ustadz, tuan guru, maupun yang lainnya, sudah cukup banyak kasus yang menunjukkan bahwa mereka hanya memanfaatkan kalangan awam yang memiliki semangat beragama tinggi untuk mendapatkan keuntungan dengan hanya bermalas-malasan atau nampak sedang menyampaikan ajaran agama.

Nabi Muhammad saw., dan sesungguhnya juga rasul-rasul yang lain, telah memberikan contoh sebagai pemimpin agama yang tidak menjadikan ajaran agama sebagai bahan jualan. Al-Qur’an mengetengahkan perkataan Nabi Nuh, Hud, Shalih, Luth, Syu’aib  tentang ini dengan:

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. (al-Syu’ara’: 109, 127, 145. 164, dan 180)

Nabi Muhammad saw. sebelum menjadi pemimpin agama karena menjadi penyebar Islam, beliau dikenal sebagai pedagang yang sukses. Di antara faktor kesuksesannya adalah kejujurannya, sehingga membuat seorang perempuan terkaya di Makkah, Khadijah, tertarik kepadanya dan menikahinya pada usia 25 tahun. Yang unik adalah Khadijah sudah menyadari bahwa suaminya akan membutuhkan banyak harta untuk perjuangan menyebarkan agama Allah. Karena itu, setelah menikah, Khadijah mengatakan kepada suaminya bahwa ia boleh menggunakan hartanya untuk apa pun yang ia inginkan. Dan benar; Khadijah merelakan hartanya dihabiskan untuk menggerakkan dakwah. Pengorbanan harta paling nyata Khadijah terjadi ketika elite-elite Makkah melakukan pemboikotan kepada umat Islam selama tiga tahun. Suku-suku di Makkah dilarang melakukan transaksi dan relasi dengan umat Islam dan Bani Hasyim serta Bani al-Muththalib yang memberikan pembelaan, dan terisolasi di kawasan Syi’b Bani al-Muththalib, sebuah celah bukit milik Abu Thalib pada tahun ke-7 sampai 10 kenabian.

Kecurangan elite agama yang memakan harta umatnya sendiri terjadi pada saat Salman al-Farisi sedang melakukan pencarian kebenaran. Salman yang lahir dan tumbuh besar di Persia dan memeluk agama Majusi, terpesona oleh cara beribadah orang-orang Nashrani. Dia kemudian mencari informasi tentang dari mana agama itu berasal dan berusaha untuk mempelajarinya walaupun harus meninggalkan kemapanan hidup bersama keluarganya. Dia pergi ke Syam dan tinggal bersama dengan seorang pendeta Nashrani yang terlihat sangat baik dan karena itu dijadikannya sebagai guru. Kepada para jema’aat, pendeta itu menganjurkan untuk berderma. Namun, setelah pendeta itu meninggal, terbongkar fakta bahwa harta yang terkumpul itu ternyata disimpannya sendiri, sehingga menimbulkan kemarahan umatnya sendiri.

Hal yang sama, di zaman sekarang, sesungguhnya juga banyak terjadi. Banyak elite agama yang mengumpulkan uang dari umat yang melarat dan dengan harta kekayaan itu bahkan mereka hidup bermewah-mewah. Terjadi kesenjangan antara pemimpin dan umat. Elite agama pamer kemewahan, sementara umatnya hidup dalam penderitaan. Materi pengajian yang disampaikan adalah tentang syukur dan tawakkal kepada Allah untuk membuat umat mendapatkan obat penenang yang pengaruhnya akan hilang tak lama setelah mereka bubar dari pengajian. Sementara para elite agama pulang dengan membawa pundi-pundi kekayaan. Bisa uang dalam amplop yang telah disediakan, nomial yang dikirimkan melalui nomor rekening, dan/atau monetisasi dari ceramah-ceramah agama yang viral yang angkanya disedot dari pulsa/kuota setiap umat yang menyaksikan dan mendengarkan.

Para elite agama mestinya adalah orang-orang yang dengan ilmu pengetahuan mereka menunjukkan cinta kepada umat yang memerlukan pengetahuan dan pemberdayaan. Dengan harta kekayaan yang mereka miliki, mereka melakukan gerakan pembebasan dari kemiskinan dan kefakiran. Hanya jika umat terbebas dari kemiskinan dan kefakiran, maka mereka akan menjadi umat yang cerdas yang bisa memahami ajaran Islam secara rasional. Elite agama yang mengeksploitasi umat, baik dengan cara-cara lama maupun dengan cara-cara baru, sesungguhnya bukan elite agama, melainkan adalah penjual spiritual yang berjubah dan bersurban atau berpeci. Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *