Namaku Rino Satria, putra bungsu sepasang pemulung ibukota yang teramat setia dengan profesinya itu. Mengetahui latar belakang keluarga saja, aku yakin kalian langsung mengerti bagaimana keadaan ekonomiku. Serba kekurangan, kumuh, dan kriminalitas, tiga kata itu seakan sudah mendarah daging di sekitarku. Tumpukan sampah seakan menjadi ladang usaha kami. Untuk sekolah sendiri orangtua ku masih terus gencar mempertahankannya.
Alasannya satu, ayah ingin aku mewujudkan cita-citanya terdahulu yang pupus karena sebuah tragedi. Tragedi memilukan di Indonesia, tragedi yang mebuktikan betapa kesenjangan Hak Asasi Manusia perlu dipertanyakan lebih dalam lagi. Ya, ayahku termasuk salahsatu korban tragedi trisakti tahun 1998.
Di masa mudanya, ayah memiliki impian untuk menjadi seorang wartawan. Berkat usaha dan tekadnya yang bulat, ia akirnya mampu menuntut ilmu sebagai mahasiswa jurusan komunikasi di Universitas Trisakti. Beliau termasuk mahasiswa terpopuler d kampus, berkat bakatnya di bidang jurnalistik. Sehingga perlahan satu persatu tawaran pekerjaan sebagai wartawan mulai menghamirinya kala itu. Alhasil saat tragedi Trisakti berlangsung, ayahlah yang terjun ke medan untuk meliput berita.
Ayah memiliki julukan si kertas karton karena kepiawaian dalam mengambil celah ketika mengambil berita. Naas, kala itu keberuntungan tidak berpihak padanya. Sebuah peluru sempurna tertancap di lengan kanan ayahku. Ayah bukan orang bodoh yang dengan mudahnya melepaskan pelaku begitu saja. Nampak seorang pria berbaju militer nampak gusar di sebrang sana dengan tangan gemetar memegangi pistol.
Ayahpun mendekat hendak meminta pertanggungjawaban, ketika jarak mereka mulai terkikis, pria itu malah menjatuhkan pistol tersebut ke tangan ayah dan meneriakkan, “Woyy, wartawan ini pelaku penembakannya!”. Massa yang tengah emosi pun tersulut amarahnya, lalu memukuli ayah habis-habisan. Ayah pun di serahkan ke pihak berwajib.
Ayah pun di jatuhi hukuman 8 tahun penjara, dengan tangan kanan yang harus di amputasi akibat infeksi peluru. Ayah sudah mencoba berkali-kali membuat pembelan diri, namun nihil. Uangnya pun tela habis untuk membayar pegacara. Alhasil ayah harus mengalah pada takdir, ia harus menghabiskan hukumannya tanpa punya kesalahan sedikit saja di dalamnya.
Namanya pun ter Black List di berbagai media tulis karena kasus ini, sehingga sudah pasti akan sangat mustahil baginya untuk kembali terjun ke dunia jurnalistik. Kejamnya lagi, ternyata salahsatu petigas kantor polisi tempat ayah di penjara tidak lain adalah si pelaku penembak ayah. Pria itu bukannya merasa bersalah, meainkan kerap kali memperlakukan ayah scara tidak adil di lapas.
Empat tahun pun berlalu, entah dari mana asalnya tersebarlah foto dimana ayah dijebak oleh si pelaku soal pistol penembakan. Ayah memanfaatkan hal ini sebagai bukti untuk meminta keadilan pada pemerintah. Ayah kembali menyewa pengacara dengan cara menjual tanah satu-satunya di desa, sebenarnya bukan kebebasan yang ayah cari. Ia hanya mau nama baiknya bersih, sehingga karirnya di dunia jurnalistik masih akan terus berjaya.
Namun, nampaknya mantra “Hukum itu runcing ke bawah tumpul ke atas,” sudah mendarah daging di negeri ini. Kala itu, si pelaku telah mendapatkan kenaikan pangkat menjadi komando polisi se provinsi. Membuat adegan ini menempatkan seakan ayah seekor semut yang berani-beraninya menentang gajah. Bukannya mendapatkan keadilan, ayah malah mendapatkan tambahan hukuman 2 tahun. Karena dituding telah melakukan pencemaran nama baik oleh seorang komando terpandang.
Dan begitulah, akhirnya ayah mengalah saja pada kejamnya takdir ini. Ia menjalani hukuman tersebut dengan sabar dan tawakal, ia yakin setiap kesulitan yang datang pasti juga datang bersamaan dengan kemudahan.
Maka dari itu sejak dini ayah selalu menanamkan pendidikan budi pekerti dan pengetahuan soal kewarganegaraan untukku. Ayah ingin aku bisa menjadi penegak keadilan di bumi pertiwi ini. Membangun rakyat madani sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah dalam berbaai kisahnya. Ayah begitu mengidolakan strategi pemerintahan Rasulullah yang bukan hanya berbuat adil saja dalam bertugas, namun juga menanamkan nilai kasih dan sayang di dalamnya.