Corona, Sosial Distance, dan Perempuan

Istimewa

Corona merupakan istilah asing di telinga manusia Indonesia, sebelum munculnya berbagai pemberitaan tentang corona di media massa dan keriuhan media sosial. Menurut Catatan Wikipedia, Coronavirus adalah sekumpulan virus dari subfamily Orthocoronaviridae dan ordo Nidovirales. Virus ini menyebabkan pilek dengan gejala utama seperti demam dan sakit tenggorokan akibat pembengkakan adenoid, bahkan berpotensi kematian. Penyakit ini mulai familiar sejak negeri tirai bambu menjadi korbannya, warga negaranya terjangkit virus corona yang memakan banyak korban. Berita itu sangat cepat tersebar dan menjadi buah bibir di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Namun, awal kemunculannya, sekitar Januari, virus corona ini masih menjadi guyonan di Indonesia. Pasalnya, kala itu, Indonesia tengah disibukkan oleh fenomena tahunan yang melanda Ibu Kota Negara dan beberapa daerah langganan lainnya, yaitu banjir yang tak kunjung surut.

Indonesia merasa aman hingga pada tanggal 02 Maret 2020, Presiden RI, Joko Widodo memberikan kabar yang mengejutkan rakyat Indonesia, ia menyampaikan bahwa pada tanggal tersebut ada dua orang yang telah terpapar virus corona, yaitu seorang ibu berusia 64 tahun dan putrinya 31 tahun. Berita mengejutkan itu, sontak menuai berbagai reaksi dari seluruh elemen masyarakat, ada yang merasa ketakutan dan ada juga yang menanggapinya dengan santai, dengan dalih semua orang akan menemui kematian, semua perkara adalah kehendak Tuhan. Sebelum santer terdengar deretan nama pasien corona yang meninggal dunia dan beberapa dalam perawatan dengan kondisi yang sangat mengkhawatirkan, corona ini dianggap remeh temeh. Namun, realita di lapangan menujukkan kabar, bahwa penyebaran wabah ini terjadi dengan sangat cepat, banyak korban berjatuhan, pasien dengan keterangan terpapar virus corona ini, mulai memenuhi rumah sakit di kota maupun daerah.

Indonesia tengah dirundung pilu, satu persatu kabar kematian mulai mencuat ke permukaan. Pasalnya, keberadaan virus Corona, nyatanya amat ganas dan menyerang kekebalan tubuh manusia. Kematian berjamaah seakan tak bisa ditepis, dengan jumlah pasien yang membludak dan kapsitas ruangan dan tenaga medis yang terbatas membuat penanganan tidak bisa dilakukan dengan maksimal. Melihat fenomena ini, beberapa edukasi penanganan dan upaya pencegahan penularan virus corona mulai dilakukan, mulai dari himbauan mencuci tangan dengan sabun secara rutin, memakai masker, menutup hidung dan mulut dengan tisu atau siku yang ditekuk saat batuk dan bersin, menghindari tempat ramai atau dikenal dengan istilah sosial distance, tidak bersalaman sementara, hingga menjaga jarak 1-2 meter dengan orang lain.

Sosial Distance

Menghindari keramaian adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia, sebab secara lahiriah, sebagai mana yang dikatakan oleh Aristoteles, manusia selain makhluk individu, ia juga merupakan makhluk sosial (zoon politicon). Manusia akan sangat berat untuk mengurung diri, sebab secara naluriah manusia membutuhkan interaksi sosial dengan individu lainya, dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup ataupun menjalin kerjasama. Namun, untuk memutus mata rantai penyebaran virus, berdia di rumah merupakan pilihan yang harus diambil. Hal ini dianalogkan dengan jajaran korek api yang dibariskan kemudian disulut api, kobaran api akan sangat cepat merember dari satu korek api ke korek api selanjutnya, namun saat satu korek api memutuskan untuk menarik diri maka api itu akan berhenti merembet, begitulah setidaknya gambarannya.

Pilihan sosial distance juga menuai pro dan kontra, terkhusus pada Fatwa MUI nomor 14 tahun 2020 tentang penggantian sholat jum’at dengan sholat dhuhur, hal ini sontak memunculkan banyak reaksi. Argumentasi yang dibangun dalam pengambilan keputusan tersebut adalah pertimbangan besarnya potensi tersebarnya virus. Berdasakan hal tersebut MUI menyatakan, “Dalam kondisi penyebaran virus corona tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan sholat Jum’at di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan sholat dhuhur di tempat masing-masing. Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran virus corona, seperti sholat jamaah sholat lima waktu, rawatib, sholat tarawih, dan ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.”

Menyikapi pernyataan MUI, beberapa pihak kontra merasa sangsi akan keputusan MUI, mereka menganggap keputusan itu akan melemahkan iman para Muslim, sebab menjauhkannya dari masjid dan memutus silah ar-rahmi, juga beberapa mengadirkan penggalan ayat ..kullu nafsi dzaaiqah al-maut.. setiap yang bernyawa akan mati. Namun, tentunya MUI telah memperimbangkan dengan matang keputusan ini, sebagaimana dalam kisah Umar bin Khattab dalam kisahnya tentang takdir, Abu Ubaidah memberitahu Umar bahwa wilayah Syam sedang terjadi wabah penyakit. Mendapat kabar tersebut Umar memutuskan berhenti di Saragh. Kemudian Umar mengadakan musyawarah, hasilnya putar balik. Lalu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah tak sepakat dengan keputusan Umar tersebut. “Apakah Engkau ingin lari dari takdir wahai Amirul Mukminin?” kata Abu Ubaidah. “Ya, kita akan lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lainnya,” Jawab Umar bin Khattab.

Umar masih berusaha meyakinkan pilihannya kepada Abu Ubaidah. Hingga kemudian datanglah Abdurrahman bin Auf yang menjelaskan bahwa apa yang akan dilakukan Umar, persis dengan sabda Rasulullah SAW: “Apabila kalian mendengar ada suatu wabah di suatu daerah, maka janganlah kalian mendatanginya. Sebaliknya kalau wabah tersebut berjangkit di suatu daerah sedangkan kalian berada di sana, maka janganlah kalian keluar melarikan diri darinya.” Umar bin Khattab kemudian meminta Abu Ubaidah untuk meninggalkan Syam. Namun Abu Ubaidah menolak dan tetap tinggal di Syam. Dia kemudian terkena wabah dan meninggal dunia. Muaz bin Jabal yang menggantikan Abu Ubaidah sebagai Gubernur Syam juga meninggal dunia terkena wabah.

Fenomena perempuan

Corona dan sosial distancing di atas, selanjutnya akan penulis kaitkan dengan perempuan. Hal yang penulis maksudkan adalah tentang haid (menstruasi) perempuan. Bagi perempuan haid, mereka dilarang melaksanakan sholat, puasa, dan beberapa hal yang dianjurkan, bahkan wajib saat tidak haid. Mungkin saja perempuan haid merasa dekat dengan Tuhannya saat bermunajat dalam sholat dan doa-doa malamnya, tetapi justru ujiannya di sana, ketika haid, taat dan pahala itu ada pada sabar menjauhi sholat, puasa, dan amalan-amalan yang dilarang saat haid. Hal ini sama halnya dengan kegelisahan orang yang memperoleh ketenangan saat i’tikaf di Masjid, namun saat ini dilarang demi kemaslahatan.

Hal ini juga senada dengan psikologi seorang ibu menyusui yang tengah mengidap Covid-19, tentunya secara naluriah seorang ibu ingin selalu berada di dekat buah hatinya, namun ia harus menahan diri untuk mendekap sang buah hati, demi keselamatannya. Bahkan, ia disarankan untuk tidak menyusui secara langsung, ia harus memerah susunya. Tentunya, sebagai seorang ibu, kondisi ini sangat menyiksa dan membutuhkan pengorbanan yang sangat besar. Apalagi bayi hanya bisa menangis saat menginginkan sesuatu, pastilah menahan diri untuk mendekati bayi yang ia lahirkan adalah sebuah pengorbanan yang tak ternilai harganya. Wallahhu a’lam bi al-shaawaab.

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *