Angin siang berhembus perlahan. Daun-daun kuning mulai berguguran memenuhi pelataran. Angin sepoi-sepoi itu pun ikut menerbangkan dedaunan yang berjatuhan. Pohon-pohon ikut bergoyang mengikuti alunan angin.
Sinar sang mentari terlihat sangat bersahabat. Hari ini, sinarnya tidak begitu panas dan menyengat. Matahari berada tepat di atas kepala. Perlahan, bayang-bayang setiap benda mulai melebihi panjang aslinya. Pertanda, bahwa waktu dluhur telah tiba. Sebagai seoarng muslim, tentu saja Albert dan Gravita tak ingin meninggalkan shalat lima waktu. Mereka pun menghentikan langkah untuk menunaikan kewajiban. Sejak SMP, Albert tidak pernah meninggalkan shalat berjama’ah.
Tepat di pintu masuk Kampung Cokelat, kedua kaki Gravita berhenti sejenak. Ia bersyukur karena bisa menikmati karunia-Nya yang maha indah. Karya Sang Pencipta. Tangan Gravita terbentang lebar. Kedua telapak tangannya pun terbuka menghadap ke atas. Merasakan sensasi sejuknya suasana. Ia menghirup nafas perlahan-lahan. Kemudian semakin dalam. Matanya terpejam, membayangkan indahnya pemandangan.
“Theobroma cacao L. Aku suka, Ka. Saaaaa….ngat suka, aroma ini sungguh tak bisa Vita lupakan,” ungkap Gravita pada kakak laki-laki yang sedang berdiri di sampingnya. Kebahagiaan Gravita terukir jelas di wajahnya. Senyumnya mengembang lebar. Tak bosan-bosan ia memuji kakaknya.
“Suka, ya?” timpal Albert dengan senyuman tertulusnya. “Khusus untuk adik tersayang kakak, apa sih, yang engga kakak kasih?” pertanyaan retorik itu terlontar dengan mudahnya. Tentu untuk menyenangkan hati Gravita. Ia pun membalas senyuman Gravita dengan kedua alisnya yang terangkat.
Albert hanya ingin menyayangi adik perempuan satu-satunya. Usianya dan usia Gravita hanya berjarak tiga tahun. Sejak TK, Gravita hidup bersama kakek-neneknya di Kota Batu. Gravita sering ditinggal dinas ke luar kota oleh kedua orang tuanya yang tinggal jauh Kota Santri. Oleh karena itu, mereka lebih memilih tinggal di sana. Curahan kasih sayang yang Albet berikan ke Gravita, tentu untuk membahagiakan dan menghiburnya.
Albert begitu pengertian. Ia adalah orang yang detail. Bahkan, Albert mengetahui segala sesuatu yang Gravita sukai dan dibencinya. Sosoknya yang bijak dan ramah lah, yang membuat teman-teman Gravita tertarik padanya. Selain itu, Albert sudah mengkhatamkan 30 juz dengan mutqin sejak SMA. Kata mereka, Albert itu sosok ideal bagi semua perempuan.
Kemampuan Albert bermain musik pun sangat lihai. Mulai gitar, keyboard, hingga drum, semua itu bisa ia mainkan. Tidak hanya sekedar bisa, tapi benar-benar mahir. Logika matemaikanya pun tak diragukan lagi. Ketika masa putih biru dan masa putih abu-abu, Albert sering menjuarai olimpiade matematika tingkat nasional. Biasanya, orang yang jago matematika, ia pasti cerdik bermain musik. Kemampuan logika matematika dan musiknya berjalan mulus.
Saat ini ia fokus di jurusan fisika. Baginya, fisika itu menarik, rumpun ilmu yang unik. Menurutnya, fisika menjadi bidang ilmu yang fokus mempelajari gejala alam tak hidup (materi) dalam lingkup ruang dan waktu. Dasar-dasar hukum alam partikel submikroskopis, yang membentuk materi hingga perilaku materi alam semesta sebagai kesatuan kosmos, bisa ditelusuri.
Welcome to Kampung Cokelat. Tulisan ini terpampang jelas di gapura. Saat Albert dan Gravita akan membayar retribusi juga menemukan tulisan yang serupa di sekitar area. Mulai dari tempat parkir, pengunjung akan disambut oleh biji kakao yang sedang dijemur. Khas aroma biji kakao yang dijemur saaaaaangat istimewa. Tentu saja bagi yang menyukainya. Selanjutnya, kebun kakao nan rindang siap menyambut kehadiran Albert dan Gravita.
Pohon-pohon cokelat tumbuh mengelilingi Kampung Cokelat ini. Ada banyak pohon cokelat yang sedang berbuah dan siap dipanen di sana. Pepohonan itu memberikan keteduhan di Lounge. Tempat istirahat bagi pengunjung Kampung Cokelat.
Tempat duduk dan meja kayu terlihat elegan, tertata rapih, di bawah pepohonan cokelat. Setiap pengunjung bisa menyaksikan langsung petugas yang memetik cokelat. Sungguh sejuk. Adem, karena pohon tumbuh begitu rindang. Pesona buah cokelat yang matang tentu menggiurkan Albert dan Gravita. Banyak bangunan bernuansa tradisional di area ini. Ornamen kayu cokelat pun menghiasinya dengan indah.
Setiap orang akan dimanjakan dengan aroma dan panorama cokelat. Aroma ini tercium sejak mereka menginjakkan kaki di kampung ini. Harum cokelat yang semerbak begitu khas. Sangat menggoda. Siapa saja bisa ngiler dibuatnya. Mata Gravita terpejam, ia menarik nafas dalam-dalam, lalu merasakan aroma cokelat. Lagi.
“Ah! Aroma ini. Tak bisa aku melupakannya. Aku sungguh cinta dengan aroma ini,” gumam Gravita dalam hati.
Setiap orang yang masuk ke kampung ini, mereka bisa melihat proses pengolahan kakao. Mulai dari pembibitan, hingga pengemasan, ada semua. Gravita tak sabar lagi. Ia ingin segera berkeliling Kampung Cokelat. Mulai dari istirahat di Lounge, Bale Cokelat, Pulo Cokelat, sampai ke Cooking Class.
Gravita terlihat sangat antusias saat dirinya berada di Cooking Class. Di tempat ini, mereka bisa belajar memasak dan menghias cokelat. Berkreasi. Gravita memang gadis yang saaaangat kreatif. Dia juga ulet. Ia sangat menyukai keindahan. Ia suka menghias aneka makanan. Ia hias cokelat-cokelat itu dengan sabar. Telaten sekali. Ia membuat tujuh cokelat berbentuk bintang. Bagi Vita, bentuk ini sangat cocok untuk dikasihkan ke kakaknya. Sang fisikawan. Tujuh, angka favorit Albert. Menurut Albert, angka tujuh itu spesial.
Hampir saja Gravita tidak mau meninggalkan tempat ini. Bagaimana tidak? Dia sangat menyukai makanan yang satu ini. Aneka olahan cokelat tersedia di kampung ini. Ia bisa menemukan cokelat original, brownies cokelat, ice cream cokelat, dan semuuuuuua tentang cokelat. Cokelat, makanan favorit Gravita sejak kecil. Bertolak belakang dengan Gravita, mamanya justru lebih menyukai keju.
Albert memang suka memberikan kejutan untuk Gravita. Berkunjung ke Kampung Cokelat ini pun ide Albert. Albert tahu betul, Gravita pasti akan memujinya sepanjang hari. Barangkali ini adalah detik-detik terakhir Albert dengan Gravita. Karena besok Albert harus terbang ke San Fransisco.
Sepanjang perjalanan pulang, Gravita banyak bercerita tentang hari ini. Tanpa henti, ia lahap habis cokelat-cokelat itu. Sepanjang perjalanan, mereka bisa menikmati panorama dengan puas. Albert sangat tahu, kalau Gravita suka dengan pemandangan alam yang memanjakan mata. Oleh karena itu, ia lebih memilih membawa Chevrolet Trax. Lengkap dengan fitur panoramic roof dan sunroof, itu yang Gravita suka. Menikmati keindahan alam sekitar dengan leluasa.
“Vita, kau tau? Kota ini adalah tempat presiden pertama Republik Indonesia dimakamkan, loh…. Asal kau tau, selain dikenal sebagai Kota Patria, kota ini juga dikenal sebagai Kota Peta (Pembela Tanah Air),” jelas Albert kepada adik manisya. Albert dan Gravita membayangkan betapa keras perjuangan kala itu. Mobilnya terus melaju kencang.
“Tentu saja Vita tahu ya, Ka… Hmm…. ngremehin nih critanya…. Hehehhehe..” Vita semakin ngledek kakaknya. “Adik siapa du-lu doooonggg. Kalo kakaknya hebat, adiknya juga harus hebat. Pantang tidak tahu untuk Gravita, xixixixiixiii…” Tawa mereka semakin keras memecah keheningan.
“Oh iya, Vit. Ini kaka punya sesuatu untuk Estrella. Nanti kamu yang ngasih, yaa…” pesan Albert pada Gravita.
“Boleh Vita buka, ka? Suratnya doang, Koo.. Masa ngga boleh. Boleh, yaaaa.. Heheheee…” begitulah Gravita kalau dengan kakaknya. Gravita memang sering dimanja oleh kakaknya. Jadi begini, deh. Selalu manja dengan dengan kakaknya.
“Hmmmm… Kali ini ngga boleh, yaaa, adek Ka Albert yang paling manis dan penuruuut…” Albert semakin ngledek Vita.
“Ya udah kalo ngga boleh. Hmm.” Vita pun cemberut. Biasa, akal bulus dia mencari perhatian si Albert.
“Kalo mau tau isinya apa, kamu bisa buka postingan kakak 7 Oktober tahun lalu di twitter. Isinya sama persis, dek…”
“OKE.” Suara Gravita masih terdengar ketus.
“Senyum donggg… Kalo cemberut terus, lesung pipitmu bisa hilang nanti… Wwkkwkwkwkkw…” Albert semakin mengejek adeknya.
“Iiiiiiiih. Ka Albert. Apaan sih!” Meskipun Gravita ngambek, akhirnya dia senyum juga. “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…. Awaaaaas, Kaaaaaaaaaaa…. Ka Albert….” Hening. Senyap. Sunyi. Tak ada suara. Tiba-tiba, dunia terasa gelap gulita.
Aroma cokelat, buah kakao, dan kampung cokelat merupakan hal yang tidak akan pernah Gravita lupakan. Sebelum pulang, mereka memutuskan untuk berkunjung ke rumah Estrella, sahabat dekat Gravita. Mereka berniat untuk bermalam di sana. Estrella seperti saudara Gravita sendiri. Sejak kecil, ia sering bersama. Bermain loncat tali, gobak sodor, kelereng, dan permainan tradisional lainnya. Karena berbagai alasan, akhirnya keluarga Estrella memutuskan untuk bermigrasi ke Magetan.
Mumpung masih di sana, Albert dan Gravita pergi mampir sejenak. Namun, ketika mobil mereka ke arah telaga Sarangan, takdir berkata lain. Mobil yang Albert dan Gravita tumpangi terguling ke jurang. Waktu itu, jalanan sangat lenggang dan licin. Benar-benar sepi. Tak ada satu pun yang menyaksikan kejadian itu. Memang benar, medan daerah sini sangat curam dan terjal. Siapa saja bisa tergelincir. Apalagi saat musim penghujan. Jalanan semakin licin dibuatnya.
Lusa, mereka berdua berhasil ditemukan. Mereka langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Gravita tak sadarkan diri. Selama tiga hari, ia terbaring di rumah sakit. Glasgow Coma Scale (GCS) menunjukkan angka 4. Sungguh miris. Ia juga baru siuman setelah tiga hari. Sayang sekali, dia tidak mengingat kejadian terakhir. Ia mengalami cedera kepala pasca kecelakaan. Kata dokter, ingatannya akan pulih setelah beberapa hari.
Kakak Gravita, Albert tidak bisa diselamatkan. Ia mengalami luka dalam yang sangat serius. Itulah akhir hidupnya. Seluruh rumahnya penuh dengan bendera kuning. Semua keluarganya berkabung. Ia dimakamkan di Kota Batu, Malang. Tanah gundukan itu penuh dengan bunga mawar. Lengkap dengan batu nisan yang bertuliskan Albert.
Banyak teman Albert yang hadir untuk melihatnya yang terakhir kali. Albert memang dikenal sebagai mahasiswa yang baik kepada semua orang. Teman-teman Gravita pun ikut simpati berdatangan. Namun sayang, Gravita tidak bisa melihat kakak tercintanya untuk yang terakhir.
Hari itu adalah waktu terakhir. Kesempatan terakhir bagi Albert dan Gravita bercanda dan tertawa bersama. Albert merasa, kalau hari itu adalah saat-saat terakhir dia berada di Indonesia. Ternyata memang benar. Bahkan hari itu menjadi hari terakhir ia berada di alam nyata. Seakan semua itu menjadi tanda, salam perpisahannya kepada dunia.
Padahal, ia hendak terbang ke San Fransisco. Salah satu kota penghasil produk cokelat terbaik. Ia ingin merasakan sendiri sensasi yang ada di kota itu. Albert berniat untuk memberikan surprise kepada Gravita. Demi adiknya tercinta. Tepat 29 Februari nanti, usia Gravita genap 20 tahun. Hari lahirnya jatuh pada tanggal yang hanya muncul sekali dalam empat tahun di kalender.
Zat Trieobromin. Tiba-tiba saja hal itu terbersit dalam benak Gravita. Zat itu bisa memberikan efek tenang bagi siapa saja yang mengkonsumsi cokelat. Tak heran, berbagai kalangan dari usia yang berbeda-beda sangat menyukainya.
Semarang, 18 Februari 2020
Atikah Nur Azzh Fauziyyah, Presiden Monash Institute Kabinet Militan