Memang betul, masa remaja adalah masa yang begitu berapi-api. Darah muda yang begitu membara membuat kita bertindak seolah-olah dunia harus melhat, mengenal, dan memperhatikan kita. Ya, kondisi semacam itu, pernah saya alami ketika berseragam putih abu-abu. Kelabilan emosi begitu nyata. Tidak mudah mengontrol diri ketika sedang diliputi api amarah. Inginnya menyelesaikan berbagai persoalan dengan pertengkaran. Apalagi, menyangkut urusan asmara. Rasa-rasanya, kita saat itu, sedang berjuang mati-matian mempertahankan calon permaisuri kita. Padahal, belum tentu dipersunting. Belum tentu jadi istri. Masih status sebagai pacar saja bertindak seolah perempuan itu menjadi milik kita. Digoda sedikit mendidih emosi kita. Tak jarang, saya menjumpai beberapa kawan yang rela saling sikut dan berkelahi hanya untuk memperebutkan perempuan pujaan hatinya.
Merasa jantan ketika berkelahi memperebutkan perempuan. Merasa harga dirinya terkoyak-koyak ketika ada yang bersiul menggoda pacarnya. Romansa masa remaja yang mengharu-biru itu memang kadang begitu asik untuk dibicarakan dan ditertawakakan ketika kita sudah melampaui masa-masa tersebut. Kita pun bisa tertawa terpingkal-pingkan mengenang kejadian lucu di masa remaja itu. Betapa kelakukan kita seperti anak kecil yang sedang memperebutkan mainan. Tak mau menerima saran dan masukan dari orang tua, Seakan-akan semua tindak-tinduk kita terlepas dari yang namanya kekeliruan. Tidak boleh ada yang mengkoreksi akhlak kita. Begitulah pribadi kita dulu. Penuh dengan drama dan kelabilan tentunya. Petuah-petuah dari ayah, ibu, dan guru masuk telinga kanan dan kemudian keluar dari telinga kiri. Tak jarang kita langsung pergi ketika petuah-petuah itu belum selesai dilontarkan dari lisan mereka.
Betapa egonya kita di masa remaja. Pelanggaran demi pelangggaran di lingkungan sekolah seolah menjadi keasikan tersendiri. Terutama untuk menarik perhatian lawan jenis. Sebab, konon katanya, peremuan di masa sekolah lebih tertarik pada siswa yang nakal alias bandel. Mungkin, bagi mereka, siswa yang bandel menciptakan rasa penasaran tersendiri. Begitulah kaum perempuan, Penuh dengan misteri dan teka-teki, Di lain sisi, siswa-siswa yang lurus, polos, bajunya selalu rapi, taat guru, pintar, dan rajin, kurang menarik minat mereka. Sebab, disangkanya, siswa semacam itu, hidupnya mononton. Tidak penuh dengan gairah dan mudah ditebak. Sementara yang mereka cari adalah siswa yang bikin penasaran, gokil, dan cukup misterius, Tentunya, saya tidak menyimpukan semua siswa di sekolah memiliki kecenderungan semacam itu. Hanya sebagian saja. Bisa jadi mayoritas.
Kembali lagi, terkait masa remaja yang telah terlewati itu, kita bisa mengambil ragam pelajaran di dalamnya. Saya pun di usia yang sudah menginjak kepala tiga ini, mencoba tidak hanya bernostalgia. Lebih dari itu, menggali apa yang seharusnya saya pelajari dari kekeliruan di masa remaja akan tidak terulang lagi dalam hidup saya. Dari situlah, besar harapan saya bisa memetik hikmah untuk dijadikan bekal hidup. Bisa mengevalusi diri agar semakin matang dan dewasa dalam menjalani sisa hidup.
Penyesalan tidak boleh berlarut-larut. Lagian, apa guna menyesal. Semua yang telah terjadi tidak perlu diratapi terus-terusan. Roda hidup selalu bergerak. Zaman silih berganti. Orang-orang datang dan pergi. Kawan-kawan pun semakin menua. Ada yang sudah beranak satu, dua, dan tiga. Ada yang sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Ada menghilang bak ditelan bumi, kontak HP-nya pun sukar untuk ditelusuri. Kita tidak bisa memaksakan diri untuk selalu bisa nongkrong bersama sambil nyanyi-nyanyi di pinggir jalan seperti halnya di masa remaja. Situasi dan kondisnya berbeda. Mungkin masih ada satu dua orang kawan di sekolah yang bisa kita hubungi dan ajak ngopi bersama. Tapi percayalah, ngopinya pun tak lagi sama dengan beberapa tahun silam. Pun dengan tema yang dibahas sama sekali berbeda. Mungkin sewaktu-waktu yang dibahas adalah lelocon di masa lalu. Tapi, pastinya, pembahasan selanjutnya tidak sekadar tema itu. Jauh lebih kompleks dan beragam.
Dan pada akhirnya, kita harus menerima kenyataan bahwa masa remaja yang pernuh dengan keriangan itu telah pergi meninggalkan kita. Detik demi detik telah berlalu, putaran waktu tak pernah berhenti. Pengalaman di masa remaja itu hendaknya mengajarkan kita agar menjadi pribadi yang lebih arif dalam memandang dan menjalani hidup yang sangat singkat ini. Jangan sampai kita terjatuh di lobang yang sama. Kemudian, jangan sampai kegetiran, kekecewaan, dan kesedihan di masa lalu menjerat kita. Membuat kita terpasung dan tak pergi ke mana-mana. Artinya, relakan dan ikhlaskan semua yang telah terjadi di masa lalu.
Apa guna menyesali sesuatu yang telah pergi. Lagian, kita hidup hari ini. Jangan pernah sekali-kali terjebak dalam kerangkeng penyesalan masa lalu dan kekhawatiran di masa depan. Hari ini adalah hidup kita yang sebenarnya. Bahagialah selalu. Tersenyumlah. Hidup kita sangat berharga. Habiskanlah sisa waktu ini dengan sesuatu yang yang bermanfaat. Jadilah pribadi yang berarti dan bernilai di mana pun dan kapan pun kita berada. Hidup yang sesungguhnya yaitu hari ini. Hari di mana nafas kita masih berembus. Maka dari itu, melangkahlah dengan pernuh percaya diri dan optimisme. Sambutlah masa depan dengan penuh gairah. Satu lagi, persiapkan dengan maksimal bekal menuju alam akhirat. Sebab, dunia ini sebatas persinggahan.
*Oleh: Muhammad Aufal Fresky, penulis buku Empat Titik Lima Dimensi