RA Kartini, mendengar namanya membuat pertiwi mengingat sederet surat yang berisi percakapannya dengan sahabat-sahabatnya di Belanda, yang mengisahkan tentang kegelisahan hatinya dan keadaan bangsanya, yang kemudian diterbitkan dengan judul “Door Duisternis Tot Licht” atau dalam bahasa Indonesia “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Segudang harapannya tentang kehidupan yang lebih manusiawi terhadap perempuan, merupakan hal yang selalu ia perjuangkan selama hidupnya, hingga ia dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan hak kaumnya, yang dikenal dengan “emansipasi perempuan”.

Kartini adalah sosok yang sangat haus pada ilmu pengetahuan. Kecerdasannya membuat ia digagalkan untuk menimba ilmu di Belanda, sebab dianggap mengancam dan membahayakan Belanda. Selain itu, sebab ia adalah seorang perempuan, yang membuatnya tidak bisa merasakan pendidikan yang sama dengan saudara-saudara laki-lakinya. Sebagai seorang ningrat, ia selalu ingin diperlakukan sebagaimana orang biasa atau rakyat biasa, tanpa pembedaan. Baginya, ningrat bukan sebab darah yang mengalir di dalam tubuhnya, melainkan kecanggihan berpikir dan kegigihan dalam menjalankan kehidupan.

Perjuangan Kartini membuatnya dikenang hingga hari ini, bahkan setiap tahun ada perayaan hari kartini. Perayaan ini tentunya diharapkan mampu menghidupkan semangatnya dan mengenalkan kiprahnya kepada generasi bangsa, yang akan melanjutkan perjuangannya. Pertanyaan selanjutnya, apakah kehebatan kartini hanya akan menjadi kebanggan saja? Sebab, perayaan hari kartini saat ini, seolah hanya menjadi ajang fashion show, perempuan didandani dengan make up yang tebal menggunakan kebaya atau baju adat dari berbagai daerah. Apakah itu yang diinginkan kartini? Sedang ia berjuang dengan segala keterkungkungannya saat itu untuk membuat perempuan berkesempatan mengenyam pendidikan, sebagaimana laki-laki. Membebaskan perempuan dari segala bentuk diskriminasi budaya patriarki.

Kartini terkenal sebagai pahlawan nasional, jarang sekali disorot tentang kehidupannya dalam menjalankan syariat agamnya.

Perjalanan keagamaannya dalam memahami panduan agamanya (al-Qur’an) secara lebih intens bermula saat pertemuannya dengan Kiai Sholeh Darat yang menjelaskan al-Fatihah dengan menggunakan makna jawa. Sebelum itu, ia mempertanyakan mengapa al-Qur’an hanya dijadikan bacaan. Yang sakral dan tak tersentuh. Ia sempat mengirimkan pesan kepada Stela, sahabatnya yang di Belanda, yang berbunyi “Qur’an terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa mana pun jua. Di sini tiada orang yang tahu bahasa Arab. Orang diajar di sini membaca Qur’an, tetapi yang dibacanya tiada ia mengerti. Pikiranku, pekerjaan gilakah semacam itu. Orang diajar di sini membaca, tetapi tidak diajarkan makna yang dibacanya itu.”

Baca Juga  Cuti Ibu Hamil dan Melahirkan 6 Bulan, Keuntungan atau Ancaman?

Kegelisahannya terjawab oleh penjabaran makna jawa yang ia dengar dari Kyai Sholeh Darat. Ia meminta kepada Kyai Sholeh Darat untuk menulis makna tersebut, yang akhirnya menjadi Tafsir Faidh al-Rahman. Pemaknaan itulah yang membuat Kartini memiliki harapan, agar orang-orang awam mampu memahami isi al-Qur’an, tidak hanya merapalkannya seperti mantra. Sebab, dengan mengetahui maksudnya, al-Qur’an benar-benar menjadi petunjuk bagi umat manusia. Sebab itulah, pemerintah Belanda membuat kebijakan tidak boleh menerjemahkan al-Qur’an, tidak lain karena jika masyarakat paham maksud al-Qur’an, mereka akan mengamalkan ajaran-ajaran di dalamnya juga mendapat banyak informasi dan pengetahuan, yang membahayakan kolonoial Belanda

Kekhawatiran pemerintah belanda akan gerak-gerik Kartini menunjukkan bahwa perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki, sebab itu dengan kekuasaan yang mereka miliki jadilah adanya patriarki dan beberapa hal yang kemudian membatasi hak-hak perempuan. Di sinilah, RA Kartini tampil, salah satu pahlawan nasional yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Daya saing dan daya pikir tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan seberapa gigih ia berusaha dan menempa diri untuk terus mengasah kemampuan.

Islam pun menyebutkan demikian, sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al- Hujurat ayat 13, bahwa penciptaan laki-laki dan perempuan itu tiada berbeda dengan laki-laki kecuali bentuk fisik dan ketaqwaannya.
‘Konco wingking’, begitulah sebutan untuk perempuan saat itu, perempuan hanya berkutat di wilayah domestik, ‘dapur, sumur, dan kasur’. Apakah dengan label itu perempuan tidak mampu memberikan kontribusi yang besar untuk kelompok yang lebih besar?

Baca Juga  Belajar Menjadi Guru dan Murid “Budiman”

Tentu saja jika perempuan memiliki kebulatan tekad untuk melakukan kebaikan dan perbaikan yang dampaknya lebih besar dan ia berupaya dengan sepenuh tenaga untuk melengkapi prasyaratnya, jawabannya adalah mampu. Tapi jika yang dilakukan sebaliknya, hanya sibuk memoles diri dengan make up dan menomor sekiankan nustrisi otak dan kemampuannya bersosialisasi, jawannya adalah tidak.

Menjadi seorang Istri, perempuan yang sudah siap membina rumah tangga, tentu akan menyandang status baru, sebagai seorang Istri. Islam menjelaskan bahwa perempuan yang sudah menikah berkewajiban mematuhi suaminya. Mematuhi yang dimaksud Islam bukan menjadi tawanan yang tertindas, melainkan menjalankan tugas dan perannya sebagai Istri, termasuk menjaga kehormatannya. Selain itu, perempuan juga berhak mendapatkan kasih sayang dan rasa aman, tidak hanya sebagai alat ‘pemuas’ belaka. Islam memberikan gambaran yang jelas mengenai konsep sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Sebagaimana RA Kartini yang mematuhi suaminya, meskipun ia tidak mencintainya. Bahkan, seolah menambah jumlah perempuan yang selama ini ia perjuangkan, ia menikah dengan seorang bupati yang sudah memiliki dua selir. Lalu ia hadir sebagai pengganti permaisuri yang telah meninggal. Betapa perempuan tidak diperlakukan secara sama, ia yang tidak berasal dari golongan ningrat, tidak bisa diangkat sebagai permaisuri.

Kartini hidup dengan segala pilu yang menimpanya, mulai dari tidak diperbolehkan menempuh pendidikan sebagaimana kakak laki-lakinya, menjalani tradisi pingit, dijodohkan dengan orang yang tidak ia cintai, dan segala keterpaksaan dan keterbatasan lainnya, namun ia mampu kokoh berdiri tegap, memperjuangkan hak-hak perempuan. Sebab itu para perempuan yang haknya telah diperjuangkan dengan begitu kuat, belajarlah dari potret diri kartini yang tak henti mengejar harapan, yang tetap berusahan menembus dinding ketidakmungkinan.

Dengan memegang Islam secara kaffah, kejayaan Islam harus dihadirkan kembali. Memperjuangkan terwujudnya negara yang paripurna dengan masyarakat yang berperadaban tinggi, menjunjung nilai-nilai Islam, mengambil sari dari ayat-ayat Tuhan yang ditransformasikan dalam sebuah karya dan menjadi panduan dalam berkehidupan.

Baca Juga  Perlunya Konsistensi Pemerintah dalam Pembatasan Kegiatan Masyarakat

Kemajuan tidak akan bisa dicapai seorang diri, sebab setiap diri membutuhkan support untuk tetap kuat menghadapi segala pelik kehidupan, menjawab segala tantangan, dan menyelesaikan setiap persoalan. Mestinya perempuan hadir sebagai orang yang mendukung saudara perempuannya juga, sebagaimana yang dicontohkan Kartini dan para pejuang perempuan lainnya. Jadilah yang berbeda, jangan sakit saat saudara permpuan kita senang, jangan berpikir menjatuhkan saat saudara perempuan kita membangun kekuatan. Dukunglah dan bantulah kemenangan dan keksesannya! Sebab, kebaikan akan dibalas dengan kebaikan.

Wahai Kartini masa kini, jangan patah hanya sebab jatuh (apalagi patah hati). Perempuan dikaruniakan perasaan yang kuat bukan hanya untuk mudah terluka, melainkan dengan perasaannya yang kuat dan halus itu, ia mampu membaca keadaan. Sehingga tatkala muncul ketidaksesuaian itu tergerak hatinya untuk melakukan sebuah perubahan dan melakukan perbaikan.

Cinta bisa hadir di hati siapapun, tapi bijaklah dalam bersikap, jangan berani-berani jatuh cinta jika tidak sanggup menanggung konsekuensi patah hati. Mampukanlah diri untuk menanggung segala perih, muncullah sebagai perempuan yang tangguh, yang siap menjadi tiang negara, yang melahirkan generasi hebat, dengan didikan yang penuh kasih sayang dan penanaman pondasi agama yang kuat.

Al-Qur’an menuturkan ‘janganlah kalian meninggalkan generasi-generasi lemah’, generasi yang kuat itu merupakan pantulan atau cerminan dari orang tua yang hebat dan kuat. Oleh karena itu, persiapkanlah segala bekal untuk menjalankan segala peran yang ada pada diri perempuan (sebagai anak saat ia kecil, sebagai istri untuk suaminya, sebagai ibu yang diidolakan ketangguhannya oleh anak-anaknya, dan sebagai pengabdi untuk negara). Jadilah perempuan yang berdikari, tanpa melupakan kodratnya sebagai perempuan. Wallahu a’lamu bi al-shawaab

Dewi Robiah
Mahasiswa Magister Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang. Mentor I’rab al-Qur’an di Monash Institute. Ketua Bidang Kajian Islam dan Keperempuanan PW Corps GPII Putri Jawa Tengah

    Rocky Gerung: Menghilangkan KH Hasyim Artinya Mengkhianati Permintaan Bung Karno

    Previous article

    Bareskrim Timbang Ulang Bikin Joseph Paul Zhang Stateless

    Next article

    You may also like

    Comments

    Ruang Diskusi

    More in Gagasan