Oleh : Dr. AI Hamzani, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Musibah banjir kembali melanda beberapa daerah di Indonesia dan menjadi berita yang viral di media sosial. Musibah banjir telah menelan korban banyak korban baik jiwa maupun harta benda. Peristiwa ini tentu menyedihkan dan memprihatinkan. Apalagi musibih banjir seakan mendi rutinitas ketika puncak musim hujan tiba.
Lalu bagaimana musibah banjir ini dilihat dari perspektif teologis? Semua peristiwa yang terjadi di dunia ini ada ibrah (pelajaran) dan hikmah yang bisa diambil.
Secara ilmiah, bencana yang berkaitan dengan alam semesta ini ada dua macam penyababnya; pertama, karena ulah manusia sendiri (human eror), seperti banjir, longsor, kebakaran. Kedua, karena fenomena alam seperti gunung meletus, gempa, angin kencang, dan tsunami.
Terhadap bencana yang pertama seperti banjir dan tanah longsor, manusia perlu introspeksi terhadap apa yang telah dilakukannya terhadap alam. Apakah sudah menjaga dan mengelolanya dengan baik, atau sebaliknya telah berbuat kerusakan (kufur alam). Perlu diperhatikan firman Allah Swt. dalam surat al-Rum ayat 41: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Ayat ini menyebutkan bahwa musibah yang menimpa manusia itu tidak lain disebabkan oleh perbuatannya sendiri, dan merupakan peringatan terhadap apa-apa yang diperbuat khususnya dengan alam yang dianugerahkan kepada manusia untuk dikelola dan dijaga dengan baik.
Fenomena bencana banjir, tanah lonsor merupakan teguran dari Allah karena perbuatan manusia sendiri. Tentu tidak bijak jika hanya menyalahkan pemerintah saja, apalagi menyalahkan Tuhan, seolah-olah Tuhan sangat kejam kepada manusia.
Mensikapi bencana ini perlu kajian aspek teologis untuk menemukan relevansinya, yang setidaknya disebabkan karena tiga hal;.
Pertama, tidak adanya kesadaran teologis umat manusia untuk menjaga keseimbangan eko sistem. Manusia lalai sehingga tidak menyadari bahwa menjaga keseimbangan alam sangat penting bagi eksistensi masa depan kehidupan di dunia. Allah Swt. berfirman dalam surat al-Baqarahayat 30: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Sebagai khalifah di muka bumi, manusia diberi tugas untuk mengurusi, memakmurkan, dan melestarikan bumi beserta isinya agar tetap serasi, harmonis di tengah kehidupan. Hal ini relevan dengan fungsi manusia sebagai rahmat bagi alam semesta. Khalifah juga bermakna menggantikan, artinya hidup “manusia” di dunia ini bergantian, saling menggantikan dari generasi ke generasi berikutnya.
Kedua, lemahnya pengetahuan geologi. Akibat manusia tidak menjaga keseimbangan alam semesta itu, maka banjir menjadi tidak terhindarkan. Secara geologis, banjir terjadi karena bumi tidak lagi mampu menampung air dari curah hujan yang sangat tinggi. Penyebab utamanya adalah karena semakin menipisnya daerah-daerah serapan air hujan, beralih fungsinya lahan-lahan persawahan, perkebunan, perbukitan, menjadi pemukinan dan sebagainya. Akibatnya, tidak ada lagi yang bisa menghisap air ketika musim hujan, dan akan menjadi sangat panas di musim kemarau kerena semakin sedikitnya pepohonan.
Ketiga, pola hidup yang kurang memperhatikan aspek-aspek kebersihan lingkungan. Menurut Hadis Nabi, kebersihan merupakan sebagian dari sikap keberimanan kepada Tuhan. Faktanya, masyarakat banyak yang tidak menempatkan kebersihan sebagai pola hidup yang utama. Masyarakat sudah terbiasa membuang sampah di sembarang tempat. Implikasinya bukan saja menjadikan saluran air mampet sehingga menyebabkan banjir, tapi juga dapat mendatangkan berbagai penyakit.
Selanjutnya, terkait dengan bencana seperti gunung meletus, gempa, angin kencang, dan tsunami perlu merenungkan firman Allah dalam Surat al-Nahl ayat 112: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”
Ayat ini memberikan deskripsi bahwa Allah itu Maha Adil dan Maha Bijaksana. Allah tidak akan menurunkan bala’ dan bencana atas suatu kaum kecuali karena perbuatan maksiat dan pelanggaran mereka terhadap perintah-perintah Allah. Apabila umat manusia masih terus menerus menentang perintah-perintah Allah, melanggar larangan-laranganNya, maka bencana demi bencana akan datang silih berganti sehingga mereka betul-betul sadar dan bertaubat kepada Allah.
Mungkin ada sebagian orang ragu tentang maksiat merupakan sebab timbulnya bencana. Hal ini karena kelemahan iman dan kurang mereka merenungkan kandungan isi al-Qur’an. Seorang filusuf terkena dalam sejarah filsafat, Plato, juga pernah mengemukakan tentang hubungan bencana dengan kerusakan moral masyarakat. Dia menyatakan bahwa: “Atlantis yang subur dan rakyatnya makmur, kemudian dihancurkan oleh Tuhan dengan bencana dahsyat, karena masyarakatnya tidak bersyukur.” Dengan demikian, tentu relevan mengaitkan bencana yang terjadi dengan semakin maraknya berbagai macam praktek kemungkaran yang terjadi secara terbuka dan merata di tengah-tengah masyarakat. Wallahu a’lamu bi al-shawab