*Oleh : Bha’iq Roza Rakhmatullah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terus mendorong upaya pelaksanaan pendaftaran tanah secara mandiri. Program ini bertujuan memberdayakan masyarakat untuk mengurus sertifikat tanahnya sendiri tanpa perantara atau calo.
Namun, di tengah semangat reformasi birokrasi ini, terdapat anomali dalam regulasi yang justru membuka celah bagi praktik yang bertentangan dengan prinsip pendaftaran tanah secara mandiri. Anomali tersebut terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Sebagai contoh Pasal 13 ayat (4) PP 24/1997 menyebutkan bahwa, “Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan”. Dalam penjelasan yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan adalah pihak yang berhak atas bidang tanah yang bersangkutan atau kuasanya.
Kata “kuasa” dalam ketentuan ini sering kali disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang bertindak sebagai calo atau perantara. Padahal, salah satu tujuan utama program pendaftaran tanah mandiri adalah menghilangkan peran perantara yang seringkali merugikan masyarakat baik secara finansial maupun administratif.
Kebijakan pendaftaran tanah mandiri seharusnya memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk langsung berinteraksi dengan kantor pertanahan tanpa adanya pihak ketiga. Namun, dengan adanya ketentuan tentang pihak yang berkepentingan dalam PP 24/1997, masyarakat tetap dapat menyerahkan pengurusan sertifikat tanah kepada pihak lain yang tidak memiliki hubungan langsung dengan pemilik tanah. Hal ini menciptakan kontradiksi antara kebijakan pendaftaran mandiri dengan regulasi yang ada.
Pemberian kuasa yang tidak dibatasi dalam regulasi dapat menimbulkan Permasalahan. Keberadaan calo atau perantara sering kali menyebabkan biaya pengurusan sertifikat tanah menjadi lebih mahal dari seharusnya.
Kemudian, masyarakat tidak mendapatkan pemahaman yang memadai tentang proses pendaftaran tanah karena sepenuhnya diserahkan kepada pihak ketiga. Serta, seringkali terdapat penyalahgunaan kuasa dapat membuka peluang terjadinya praktik mafia tanah yang selama ini menjadi salah satu masalah besar dalam sektor agraria di Indonesia.
Untuk mengatasi anomali ini, pemerintah perlu merevisi Pasal 13 ayat (4) PP 24/1997. Pemberian kuasa dalam pengurusan pendaftaran tanah tetap dapat diakomodasi, tetapi dengan batasan tertentu.
Sebagai contoh, kuasa hanya dapat diberikan kepada pihak yang memiliki hubungan perkawinan atau hubungan kekeluargaan dengan pemilik tanah, seperti suami/istri, anak, atau saudara kandung. Batasan ini akan memastikan bahwa kuasa tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Regulasi baru juga dapat mengatur bahwa pemberian kuasa harus disertai dokumen pendukung yang membuktikan hubungan kekeluargaan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa.
Dengan demikian, proses pendaftaran tanah tetap berjalan sesuai prinsip pendaftaran tanah secara mandiri tanpa menghilangkan fleksibilitas bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan bantuan melalui kuasa. Konsistensi antara kebijakan dan regulasi merupakan kunci keberhasilan program pemerintah.