Abah Nasih: Catatan Seorang Sahabat

Baladena.ID/Istimewa

Oleh: Dani Muhtada, Ph.D., Pendiri dan Pengasuh Pesantren Riset Al-Muhtada, Ketua Pusat Studi Regulasi dan Kebijakan Publik (PSRKP) Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

Saya mengenal dan kemudian bersahabat dengan Dr. Mohammad Nasih sudah lebih dari 20 tahun. Kami sama-sama aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di IAIN Walisongo Semarang. Ketika saya menjadi Ketua Umum Korkom Walisongo di tahun 1999-2000, Dr. Nasih adalah Sekretaris Umum di Komisariat Iqbal, mendampingi ketua komisariat Miqdad Al-Gadri yang asli Ketapang, Kalimantan Barat. Sebagai seorang aktivis mahasiswa, Nasih muda bukanlah aktivis sembarangan. Dia tokoh mahasiswa yang IP-nya nyaris sempurna, mendekati 4,0. Dia juga penghafal Alquran 30 Juz, teman diskusi yang kritis dan analitis, serta penulis produktif di media cetak. Tidak hanya itu, dia juga seorang aktivis pemberani, yang pernah di-skors oleh pejabat kampus hanya karena mengkritik suatu kebijakan di kampus tersebut. Konon, gara-gara pernah mendapatkan sanksi inilah, akhirnya dia tidak dinobatkan sebagai wisudawan terbaik. Padahal, IP-nya menjadi yang tertinggi di antara para wisudawan saat itu.

Karena kualitas intelektualnya itulah, di penghujung tahun 2002, saya tidak ragu-ragu merekomendasikan namanya ketika Prof. Sri Suhandjati meminta dicarikan asisten untuk membantu tugas-tugas beliau. Ceritanya, saya sudah beberapa tahun ngenger kepada Bu Sri Suhandjati. Membantu proyek-proyek penelitian beliau. Atau sekedar mengetik tulisan tangan beliau untuk makalah seminar atau artikel di sebuah koran. Suatu hari saya pamit kepada beliau. Saya mau meninggalkan Semarang, untuk mengejar cita-cita saya. Beliau lalu meminta saya mencarikan pengganti yang bisa membantu beliau. Tanpa berpikir panjang, saya menyodorkan nama Nasih, dan beliau langsung setuju. Tak disangka, jalan sebagai asisten Bu Sri ini juga menjadi jalan bagi Doktor Nasih untuk bertemu calon pendamping hidupnya, yang tak lain adalah puteri pertama Prof. Sri Suhandjati. Alhamdulillah.

Meskipun kemudian tidak lagi tinggal di kota yang sama, komunikasi kami tidak pernah terputus. Baik ketika saya tinggal di Magelang, sekolah di Australia dan Amerika Serikat, hingga balik lagi dan menetap di Semarang. Ketika hendak mendirikan Monash Institute pun, kami tetap berkomunikasi dan bertukar kabar. Saya masih ingat, Doktor Nasih menceritakan kegundahannya tentang nasib perkaderan intelektual Muslim. Posisi saya saat itu sedang di Amerika Serikat untuk menyelesaikan program S3. Dia ingin berbuat sesuatu untuk mencetak kader-kader muslim yang militan. Caranya dengan merekrut siswa-siswa lulusan SMA yang cerdas dan potensial untuk diberi beasiswa, diasramakan, dan dibina secara intensif. Sebuah gagasan yang bagi saya sangat visioner dan bisa menjadi solusi bagi kelangkaan intelektual Muslim di Nusantara.

Sebagai seorang sahabat, tentu saja saya tidak selalu sejalan dengan pendapat dan pemikirannya. Tidak jarang pandangan yang berbeda ini saya utarakan kepadanya secara terbuka. Tetapi di luar itu, saya harus mengakui bahwa sahabat saya ini memiliki prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan besar yang tidak dimiliki oleh kebanyakan intelektual. Menurut saya, sebagai seorang intelektual cum aktivis, Doktor Nasih memiliki tiga keunggulan utama. Pertama, pandangan-pandangannya tentang kaderisasi pemimpin Muslim sangat visioner. Dia suka mengutip pendapat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tentang tiga kualitas yang harus dimiliki seorang pemimpin, yaitu kecendikiawanan (ilmul ulama), kebijaksanaan (hikmatul hukama), dan keterampilan mengolah strategi (siyasatul mulk). Doktor Nasih ingin mencetak para kader pemimpin bangsa yang memiliki tiga kualitas ini. Kedua, untuk mencapai gagasan-gagasan besarnya itu, Doktor Nasih tidak pernah kehilangan keyakinan bahwa Allah selalu bersamanya.

Ia selalu yakin bahwa apa yang dilakukan dan cita-citakannya itu bersumber dari Alquran, kalam Allah yang ia yakini sebagai sumber dari kebenaran dan pengetahuan di dunia. Ia sedang menolong agama Allah. Karena itu dia yakin bahwa Allah pun akan menolongnya. Ketiga, Doktor Nasih memiliki kreativitas untuk mewujudkan gagasan-gagasannya. Ia sering datang dengan ide-ide segar untuk mencapai cita-citanya. Bahkan ketika ada hambatan atau keterbatasan, dia bisa mengolah hambatan dan keterbatasan tersebut sebagai peluang dan kekuatan. Kisah rumah gorong-gorong di Planet Nufo adalah salah satu contoh kreativitas yang lahir dari sebuah keterbatasan. Hasilnya, tempat tinggal santri yang menarik dan belum ada duanya di lembaga serupa di tempat lain. Saya kira, kreativitas ini terasah karena dia meyakini bahwa semua ide dan gagasan yang muncul di kepala adalah rejeki Tuhan, dan karena itu harus segera diwujudkan. Berkat keyakinan ini, ide dan gagasan dia seperti tidak pernah ada habisnya.

Salah satu mimpi besar yang masih dipendam Doktor Nasih adalah mewujudkan kota Madinah Zaman Nabi di era sekarang. Ia memimpikan sebuah pemukiman yang dihuni oleh generasi muslim intelektual yang produktif. Temuan-temuan teknologi lahir dari sana. Kalau adzan, penduduknya lari ke masjid. Kalau dini hari, mereka sudah shalat tahajud. Kalau matahari meninggi, mereka sudah shalat dhuha. Kalau suasana adem, mereka menanam dan bekerja di lahan pertanian. Kalau suasana panas, mereka pergi membaca Al-Quran. “Membayangkannya saja sudah wuihh!” Begitu katanya kepada saya, pada suatu hari. Saya pun hanya berdoa, semoga keinginan sahabat saya ini didukung oleh semesta dan cita-citanya terkabul. Aamien.

Gunungpati, 18 Maret 2020

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *