Toleran Dalam Diam

Sebentar lagi pemeluk agama Nasrani akan memperingati hari Natal dan Tahun Baru. Dan yang selalu menjadi polemik di masyarakat adalah bolehkah kita -kaum muslim- mengucapkan selamat Natal kepada mereka dan atau menghadiri acara perayaan Natal mereka?

Sebagian masyarakat bahkan berkata “Kan mereka selalu mengucakan selamat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha kepada kita, masak kita tidak membalas dengan mengucapkan selamat Natal?” Lalu bagaimana menjawabnya?

Sebagaimana yang sudah berjalan di masyarakat kita, bahwa adadua jawaban. Jawaban dari kelompok yang memperbolehkan, dan jawaban dari kelompok yang sangat melarang. Bahkan dalil yang dijadikan rujukan dari dua kelompok ini sama.

Adapun dalil yang dijadikan rujukan dari dua kelompok ini sama. Yaitu QS. Maryam [19] ayat 33.

وَالسَّلامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا

Artinya: Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku (Isa ‘As.), pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.

Kelompok yang mengatakan boleh untuk mengucapkan mengucapkan selamat Natal mengatakan bahwa ayat di atas sebagai landasan bahwa boleh bagi kita mengucapkan selamat Natal. Bahkan menurut Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul ”Membumikan Al-Quran”, ayat ini menunjukkan bahwa al-Quran mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia itu, ‘Isa ‘As.

Adapun kelompok yang melarang mengatakan bahwa ayat ini bersifat kabar atau berita. Ayat ini mengabarkan kepada kita, bahwa kelahiran Nabi Isa penuh dalam rasa aman, damai dan keselamatan. Sebagaimana imam at-Thabari dalam tafsirnya mengatakan bahwa maksud salam dalam QS. Maryam [19] ayat 33 di atas adalah keamanan dari Allah terhadap gangguan setan dan tentaranya pada hari beliau (Nabi Isa) dilahirkan yang hal ini tidak didapatkan orang lain selain beliau. Juga keselamatan dari celaan terhadapnya selama hidupnya. Juga keselamatan dari rasa sakit ketika menghadapi kematian. Juga keselamatan dari kepanikan dan kebingungan ketika dibangkitkan pada hari kiamat sementara orang-orang lain mengalami hal tersebut ketika melihat keadaan yang mengerikan pada hari itu. Pendapat yang hamir mirip juga disampaikan oleh al-Qurthubi dan al-Baidhawi dalam tafsir keduanya.

Selain alasan di atas, bisa dilihat juga bahwa QS. Maryam [19] ayat 33 secara susunan tidak dalam bentuk kalimat perintah. Beda dengan perintah shalawat yang jelas-jelas dalam bentuk kalimat perintah. (Baca QS. al-Ahzab [33] ayat 56)

Kelompok yang melarang ucapan natal juga menambahkan argumennya, bahwa ‘Isa yang dimaksud oleh umat Islam berbeda dengan umat Kristiani. Menurut Islam, ’Isa adalah seorang Nabi, dan menurut ajaran Kristiani, ‘Isa adalah Yesus, tuhan mereka. Maka ketika umat Islam mengucapkan selamat Natal, secara otomatis mengakui ‘Isa sebagai tuhan.

Sebenarnya MUI pada 1 Jumadil Awal 1401 H bertepatan dengan 7 Maret 1981 M telah mengeluarkan keputusan bahwa perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal  keyakinan, maka mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Dan MUI juga menghimbau agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Swt dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.

Melihat adanya perbedaan tersebut, seharusnya bagi kita, tidak perlu untuk gaduh. Bahkan sampai menganggap bahwa jika kita tidak ikut mengucapkan selamat Natal kepada pemeluk agama Nasrani,maka kita dianggap tidak toleran, tidak memiliki sikap dan rasa menghormati kepada pemeluk agama lain. Padahal sikap diam kita, bisa jadi merupakan bentuk penghormatan kita kepada mereka, kaum non-muslim yang merayakan Natal.

Menghormati dengan Diam  

Dalam kajian Ushul al-Fiqh terdapat penjelasan tentang al-Bayān. Al-Bayān artinya penjelasan. Tujuannya untuk memberikan pemahaman kepada kita atas suatu hukum. Dan al-Bayān ini ada lima. Pertama; al-Bayān bi al-Qauli (penjelasan dengan perkataan); kedua; al-Bayān bi al-Fi’li (penjelasan dengan perbuatan); ketiga; al-Bayān bi al-Isyāri (penjelasan dengan isyarat); keempat; al-Bayān bi at-Tarki (penjelasan dengan meninggalkan sesuatu); dan kelima; al-Bayān bi as-Sukti (penjelasan dengan diam).

Menarik pada pembahasan tentang bayan dengan diam. Bahwa ternyata diam itu mengandung banyak makna atau penjelasan. Bahwa ketika Rasulullah diam, bisa mengandung penjelasan bahwa beliau memperbolehkan. Diamnya seorang wanita ketika dilamar atau dikhitbah oleh sang pujaan hati menunjukkan bahwa sang wanita menerima.

Maka, menurut hemat penulis, teori ini juga bisa dipraktekkan dalam kasus menghormati kaum Nasrani yang merayakan Natal. Bahwa sikap diam kita selaku umat Islam, seharusnya bisa dimaknai sebagai bentuk penghormatan yang terbaik untuk umat Kristiani.

Alhasil, tanpa harus mengucapkan selamat Natal, kita masih tetap bisa saling menghargai dan menghormati. Dan tanpa perlu mencampuradukkan hal-hal yang sangat prinsipil (yaitu keimanan) didalamnya. Semoga negara kita, Indonesia senantiasa aman sentosa. Aamiin. Wa Allāh A’lām bi ash-Shawwāb.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *