Tiga Usaha Meraih Bahagia

Tiga Usaha Meraih Bahagia

Rasanya, tak ada satu pun makhluk (manusia-red) yang tidak sependapat bahwa tujuan hidup manusia di muka bumi ini adalah untuk mencapai kebahagiaan.

Hanya saja, orientasi kebahagiaan yang berbeda. Bagi manusia yg tak percaya akan adanya akhirat, tujuan hidupnya hanya bahagia di dunia saja. Sementara yang meyakini datangnya hari kiamat dan kehidupan kekal di akhirat, tujuan hidupnya tentu bahagia di dunia dan akhirat.

Secara sederhana, bahagia bisa dipahami sebagai semua sifat dan sebab yang menjadikan manusia bukan hanya semangat dan menikmati hidupnya, melainkan juga sesuatu yang dapat memberi ketentraman, kedamaian, kepuasan, ketenangan hati dan pikiran, dan kepenuhan makna. Maka, dalam tataran praktisnya, bahagia bisa dalam bentuk berbagai macam; ada yang intelektual, ada yang material dan ada pula yang spiritual.

Di lain pandangan, ada yang mengartikan bahagia sebagai lawan dari kegelisahan, kekacauan, kehampaan, kekurangan yang menganga dan keterasingan. Atau dalam bahasa Imam Ali bin Abi Thalib: “Seseorang tidak akan merasakan manisnya kebahagiaan, sebelum dia merasakan pahitnya kesedihan.”

Dalam Alquran, bahagia diungkapkan dengan kata sa’adah. Sa’adah adalah kata bentukan dari suku kata sa’ada, yang berarti bahagia. Terkait konsep bahagia dalam perspektif Islam, akan diuraikan di lain kesempatan. Insya Allah.

Tiga Usaha

Kebahagiaan bisa dicapai setiap manusia melalui berbagai cara dan usaha. Lantas, bagaimana cara mengaktualisasikan, meraih dan memelihara kebahagiaan dalam hidup kita?

Dalam kaitannya dengan ini, dikutip dari buku “Risalah Cinta dan Kebahagiaan” karya Haidar Baqir, disebutkan bahwa ada tiga bentuk usaha yang dapat ditempuh oleh manusia untuk mewujudkan kebahagiaan.

Pertama, bekerja keras untuk mengupayakan dan memenuhi apa saja yang kita dambakan dalam hidup ini. Perlu diperhatikan pula bahwa cara ini memiliki, setidaknya, dua kelemahan.

Satu, ada banyak kemungkinan bahwa kita, sebagai makhluk ciptaan-Nya yg tidak sempurna, tidak akan pernah bisa memenuhi seluruh kebutuhan kita. Dua, kalau toh kebutuhan kita terpenuhi, pasti selalu muncul kebutuhan baru. Maka, usaha pertama ini sulit membawa manusia pada tingkat kebahagiaan. Yang ada justru manusia dalam posisi ini akan selalu gelisah karena kebutuhannya tak kunjung selesai. Ada ada saja kebutuhan yg tiba-tiba muncul.

Kedua, mengurangi dan menekan kebutuhan. Dengan berkurangnya kebutuhan, kemungkinan tak terpenuhinnya kebutuhan kita menjadi makin kecil.

Ketiga, memiliki sikap batin sedemikian rupa sehingga apapun yang terjadi atau datang pada diri kita selalu kita syukuri. Usaha ketiga ini lebih menekankan pada membangun suasana batin yang ditopang oleh sikap sabar dan penuh rasa syukur yang kokoh. Hal ini dimaksudkan agar kita mampu meredam kondisi-kondisi yang berpotensi menimbulkan kegelisahan dalam hidup.

Dengan demikian, untuk meraih kebahagiaan, mari bekerja keras, cerdas, ikhlas, sebatas kemampuan kita tentunya. Dan langkah ini harus dibarengi dengan bersabar dan bersyukur atas segala apa yang kita raih dan miliki, rela kepada apa saja yang dialokasikan-Nya kepada kita. Dan jangan lupa selalu bertindak dan berpikir positif dalam keadaan apapun. Jika sudah demikian, niscaya kebahagiaan akan menyelimuti hari hati kita hingga akhirat nanti.

Dan ingatlah wahai orang yang beriman, bahwa jangan fokus meraih kebahagiaan duniawi belaka. Dunia harus kamu dijadikan sebagai tempat untuk mencari bekal di akhirat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *