Terobosan Pendidikan di Pesantren Pilanggowok

Terobosan Pendidikan di Pesantren Pilanggowok
Sekolah Alam Planet NUFO

Pondok pesantren ini tanpa papan nama, juga tanpa gedung-gedung yang menjulang. Bahkan tidak disebut sebagai pondok pesantren. Hanya ada tulisan Qur’anic Habit Camp dan Planet NUFO di atap dua rumah bambu yang disusun saling berkait agar tidak bisa ditembus oleh air hujan.

Padahal, sesungguhnya ini adalah pondok pesantren dan sekaligus juga sekolah. Kata sekolah tidak digunakan, agar murid-murid yang ada di dalamnya terbebas dari paradigma tentang sekolah sebagai penjara atau penjara suci. Kata planet digunakan hanya untuk menunjukkan sebuah tempat tersendiri, yang terisolasi untuk membangun paradigma pilihan.

Sedang NUFO sesungguhnya adalah singkatan dari Nurul Furqon. Kata furqon sesungguhnya adalah nama yang sudah digunakan untuk SD Islam terbaik di Kota Rembang. Sebab, planet ini didesain oleh Arief Budiman, salah satu pendirinya yang pemilik SD tersebut, agar para lulusan SD al-Furqon memiliki tempat yang cocok untuk melanjutkan pelajaran yang telah didapatkan.

Di bagian dalamnya ada banyak gorong-gorong besar seperti kapsul raksasa berdiameter 2 meter yang berfungsi sebagai bilik Sancil dan Sanja, sebutan untuk santri kecil dan santri remaja. Ada juga dua asrama yang tidak terlalu besar yang sebagian dinding depan dan sampingnya adalah kaca dengan kerangka baja. Selain itu, ada dua rumah kayu ukuran umum rumah-rumah penduduk di desa. Tidak besar, tapi juga tidak kecil. Keduanya berlantai keramik. Satu digunakan sebagai mushalla, dan satu lagi digunakan untuk ruang tamu.

Kamar-kamar di kedua rumah kayu itu digunakan sebagai temapat tinggal para ustadz/ah yang jumlahnya belasan orang. Memang yang diutamakan di pesantren ini adalah SDM guru. Nampaknya, pesantren ini tidak main-main untuk membangun SDM canggih di masa depan.

Guru adalah nomor satu. Gedung dan fasilitas, akan mengikuti. Begitu salah satu prinsip para pendiri, guru, dan juga para murid di dalamnya. Belajar di lakukan di banyak gazebo berbagai bentuk dan ukuran. Ada yang segi empat, ada pula yang berbentuk lingkaran. Juga ada banyak sekali ayunan yang dibuat berpasangan karena agar bisa digunakan untuk simaan al-Qur’an.

Dalam hal guru-guru, pondok yang terletak di sebuah kawasan persawahan yang oleh penduduk Desa Mlagen Kecamatan Pamotan Kabupaten Rembang disebut Pilanggowok itu, sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Sebab, guru-guru itu merupakan kader-kader yang telah menjalani proses penggemblengan sangat intensif di Monash Institute Semarang selama mereka menempuh pendidikan S1.

Sebab, salah satu pendirinya adalah Dr. Mohammad Nasih, pengajar di Pascasarjana UI dan FISIP UMJ yang tahun 2011 lalu mendirikan rumah Perkaderan Monash Institute di kawasan tak jauh dari kampus UIN Semarang. Sembari menempuh pendidikan pascasarjana, baik di UIN, UNNES, maupun UNDIP, mereka mendedikasikan diri menjadi guru.

Inilah di antara nilai lebih pesantren dan sekolah alam ini. Sebab, guru-guru di dalamnya berpendidikan pascasarjana. Bahkan ada di antaranya yang sudah menempuh studi S3.

Karena sebagian guru juga masih menjalani kuliah teori di Semarang, maka mereka harus bolak-balik antara Planet NUFO di Mlagen dan Monash Institute di Semarang. Dengan sebuah armada Wuling Confero yang bertuliskan Sekolah Alam Planet NUFO yang cukup untuk mobilitas 8 orang, mereka bergerak dinamis dan seolah tanpa lelah. Separuh mereka stand by di Planet NUFO, sedangkan separuhnya lagi kuliah. Demikianlah mereka berbagi aktivitas antara mengajar dan terus belajar.

Yang membuat aktivitas pendidikan di dalam Planet NUFO makin terjamin adalah keberadaan peserta program Tahfidh al-Qur’an 10 bulan. Mereka adalah lulusan SMU yang tidak langsung kuliah, karena ingin terlebih dahulu fokus menghafal al-Qur’an.

Ada juga yang sudah lulus sarjana. Mereka menjadi mentor-mentor yang sangat menyenangkan bagi para Sancil dan Sanja di Planet NUFO. Ibaratnya, mereka tidak hanya punya orang tua dan teman sebaya, tetapi juga punya kakak-kakak dalam jumlah yang banyak sebagai tempat bertanya jika mereka mendapatkan persoalan yang mereka belum mampu menyelesaikannya.

Terlebih lagi, mereka adalah sarjana dari berbagai disiplin ilmu. Ada sarjana sosial, ada pula sarjana teknik sipil. Mungkin karena itulah, tidak ada santri di Planet NUFO yang tidak krasan dan balik kanan. Bahkan banyak peserta program Pesantren Liburan selama sepekan untuk anak-anak usia SD dan SMP yang sebenarnya tidak mau pulang saat dijemput orang tua mereka.

Bahkan, para Sancil dan Sanja yang pada hari pertama bersedih dan menangis karena harus berpisah dari orang tua, kemudian menjadi sangat betah di dalamnya.

Para santri tidak ada yang berasal dari desa Mlagen dan sekitarnya. Sebab, tempat belajar ini didirikan dengan komitmen “tidak mengganggu” sekolah yang sudah ada. Mereka berasal dari berbagai daerah yang jauh, di antaranya: Bekas, Tangerang, Karawang, Kendal, Banjar Negara, Madura, dan bahkan ada juga yang berasal dari Palu, Sulawesi Tengah.

Sebagai sekolah alam, para Sancil dan Sanja menjalankan aktivitas belajar laiknya murid sekolah. Hanya saja tempat belajar mereka tidak di dalam kelas. Untuk mempelajari biologi, mereka langsung mencari objek yang di amati di alam, seperti belalang, katak, ikan, dll yang ada di lingkungan sekitar.

Untuk melakukan pengukuran dalam pelajaran matematika, mereka langsung mengukur benda-benda yang ada, seperti tinggi tiang bendera, luas lapangan, dan volume rumah kapsul yang memiliki diameter dan panjang. Dengan cara ini, para murid tidak mengalami kesulitan, karena tidak hanya berimajinasi, melainkan langsung mempraktekkan.

Sebagai pesantren para santri secara rutin melakukan aktivitas menghafal sharaf setiap setelah shalat fardlu. Para santri baru, yang belajar dari nol sekalipun, tidak akan mengalami kesulitan, karena bahan hafalan ditulis dalam sebuah MMT besar yang dipampang di atas tempat imam shalat.

Dalam sepekan, pada umumnya mereka sudah mampu beradaptasi dengan berbagai aktivitas hafalan, termasuk di dalamnya hafalan al-Qur’an. Di Planet ini, santri belum diperbolehkan menghafalkan al-Qur’an jika belum mampu memahami artinya. Latar belakang pelarangan ini, menurut Dr. Mohammad Nasih adalah menghafalkan al-Qur’an tanpa tahu artinya memerlukan usaha lebih dari tujuh kali lipat, dan akan jadi beban sepanjang kehidupan.

Sedangkan jika mengetahui arti, akan menjadi mudah dan keseluruhan ayat-ayat itu akan menjadi inspirasi yang tak pernah kering. Dengan cara inilah, menghafalkan al-Qur’an bisa dilakukan dalam jangka waktu yang lebih pendek.

Diharapkan, kelas III SMP, atau paling lambat kelas II SMU mereka sudah hafal al-Qur’an 30 juz. Lulus SMU, mereka diarahkan untuk masuk di fakultas-fakultas non-agama agar menjadi muslim intelektual profesional. Al-Qur’an dan sunnah Nabi menjadi fundamen bagi keilmuan dan profesi yang biasanya dianggap duniawi.

Karena itu, para santri baru langsung digenjot dengan materi sharaf agar mempercepat kemampuan bahasa Arab. Pelajaran bahasa Arab yang pada umumnya dianggap sulit, di sini menjadi lebih mudah, karena murid disuguhi tontonan berkualitas berupa film berbahasa Arab, mulai dari film kartun berjudul Shalahuddin al-Ayyubi dan juga sejarah para khalifah mulai Film Omar, Khalifah Abbasiyah, sampai Turki Utsmani.

Di samping mereka bisa belajar bahasa Arab, mereka secara otomatis bisa mendapatkan pelajaran _sirah nabawiyah_ dan juga peradaban Islam, mulai era kejayaan sampai era keruntuhan. Dalam hal ini, para guru memberikan pendampingan dan menjadi tempat bertanya apabila ada yang tidak bisa dipahami.

Dengan cara ini, para santri yang sebelumnya memiliki kebiasaan menonton, merasa tidak dibatasi. Padahal, sebenarnya mereka tetap dalam koridor belajar. Ya, belajar dengan nonton. Makin banyak nonton, karena muatannya yang bagus, maka justru akan makin pintar. Mereka akan belajar tanpa disuruh. (AH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *