Sebuah Kisah yang Disaksikan oleh Hujan

Tuan Jo yang memakmurkan keluarga Sapto,

Saya tahu, Tuan. Sesungguhnya tak pernah sekalipun anda berniat buruk kepada kami.

Dalam sorot mata anda, Tuan Jo, jika boleh saya berpendapat, saya yakin di sana terpancar belas kasih yang tulus, indah lagi menyejukkan.

Ampuni kelancangan saya, dan mohon izinkan saya yang rendah ini berbicara:

“Elang yang perkasa, tanpa ada yang tahu betapa lembut hatinya, tanpa ada yang mengerti jasanya menjaga Si Belantara. Bagaimana ada yang tahu? Jika Elang selalu terlihat mencabik mangsanya saja.”

 

Kinanthi Sapto

***

Joahne de Archen, para pribumi sering menyebutnya Tuan Jo, yang sedari tadi menggenggam sepucuk surat tanpa perangko, yang disampaikan oleh salah satu inlander yang bekerja di rumahnya itu tertawa lebar setelah satu –dua menit mencoba memahami maksud apa yang Kinanthi –si pengirim surat- ingin sampaikan kepadanya. Begitu pandai Kinanthi mengkritik Jo dengan syairnya, hingga tak henti- hentinya Jo terkagum padanya, bahkan jatuh cinta.

Kinanthi adalah seorang pengantar sayur segar yang setiap hari hadir di setiap makanan yang Jo santap. Ia berkulit sawo matang dengan mata yang besar seperti pribumi kebanyakan. Tetapi, yang membuat Kinanthi istimewa adalah keanggunan pribadinya yang seperti seorang keraton, kepintarannya dalam berbahasa dan kecintaannya terhadap sastra. Kata Kinanthi, ia belajar dari seorang Raden Ayu di tanah Jawa ini. Ialah R.A. Kartini.

Dengan tangkas, Jo membuka lemari kayu di depannya, menyibak lembaran-lembaran kertas yang rapi, diurutkan sesuai ukurannya. Lalu Jo mengambil selembar kertas di antara tumpukan lembaran kertas tersebut, dan ditulisnya sebuah balasan.

 

Rembang, 22 juni

Kinanthi yang luhur,

 

Begitu lihai penamu mencabik keangkuhanku.”’

Dan begitu tenang caramu menyampaikan amarahmu.

Apakah kritikmu ini adalah bentuk pengalihan dari pernyataan cintaku?

 

Pada kabut yang menutupi jembatan,

Pada arca yang disembunyikan dengan paksa,

Kinanthi, temuilah aku untuk menjumpai sang kabut!

 

Joahne

***

Jo memanggil tukang antarnya, menyuruhnya untuk berlari menyampaikan surat dengan teka-teki manis berisi permohonan balasan cinta. Ia dimabukkan oleh harapan ketika mengingat kilau di mata Kinanthi yang kehadirannya bagai fatamorgana di siang terik. Jo tenggelam dalam mata cokelat itu. Karena ia sadar bahwa kilau itu hanya muncul di mata orang yang sedang jatuh cinta. Walaupun begitu, Jo merasa risau luar biasa. Bagaimana jika Kinanthi menolak cinta yang selama ini ia utarakan lewat surat dan tindakan? Bagaimana caranya memperbaiki hati yang hancur jika memang penolakan itu terjadi? Rasa takut yang menghantui bagai mimpi buruk itu menjalar pada diri Jo. Riuh dalam jiwa dan mematahkan semangat Jo, hingga Ia lunglai dan harus berpegangan pada meja tulis di ujung kamar sana.

“Jangan berlebihan, Jo!”, batin Jo meyakinkan diri, lalu Jo mengalihkan hati dari luka dengan menyibukkan diri untuk mempersiapkan heyday[1]nya, atau setidaknya itulah yang ia coba percayai. Kemudian Jo melepas tuxedo hitam yang menempel indah pada fitur gagah Jo, tak lupa dasi kupu-kupu yang menonjolkan maskulin tulang lehernya, juga kemeja putih tulang yang menutupi badan yang berlekuk bagaikan susunan batu bata, ditanggalkannya. Jo mulai membersihkan tubuhnya dengan air hangat dan sabun kesukaannya. Ia berharap, hari ini harus menjadi hari luar biasa.

***

Uap yang mengepul akibat air panas menyeruak, seakan asap rokok yang keluar dari gulungan tembakau yang disesap, hingga menghasilkan samar-samar bau yang semerbak. Kemudian mengenakan kembali baju kebesarannya dan tak lupa, Jo menyempurnakan penampilan akhir dengan minyak rambut untuk menciptakan ketegasan pada setiap helai rambut kelam yang tersusun rapi di kulit kepalanya. Tak lupa, ia memakai wewangian yang lebih mahal dari biasanya. Jo bahkan membersihkan sendiri sepatu kulit yang ia beli di toko paling mahal di Belanda.

Tetapi lika-liku yang menyibukan hati tak kunjung memberinya ujung. Tuxedo yang telah ia pilih tak meninggikan bahunya – Jo masih saja rendah diri. Dan rasa itu makin sempurna ketika guntur menyambar-nyambar. Hujanpun turun dengan derasnya dan seketika mengacaukan suasana hati juga rencananya. Jo keluar tergesa dari balik jendela untuk memastikan keadaan. Walau semuanya sudah jelas. Hujan turun dengan derasnya, diiringi suara derap para inlander yang berlari dari kepungan hujan menuju ke dalam rumah hingga suara sepatu mereka bergema di dalam kepala Jo.

MijnGod[2]..”, kata Jo sambil memegang dahinya.

Apakah alam melarangnya pergi ataukah alam hanya sekadar menguji? Jo tak tahu. Yang ia tahu, ia menemukan dirinya di antara hujan sambil berlari. Jo abaikan suara perawat kudanya yang berseru bahwa ia akan menyiapkan kereta jika Jo bersedia menanti. Tapi Jo tahu ia tak mungkin membiarkan orang lain tahu rahasia-rahasia kecil yang selama 20 tahun telah ia paksa untuk bersembunyi. Menahan rasa cinta terpendam di dalam hati.

***

Daripada jalan besar yang biasa dilewati banyak orang, Jo lebih memilih jalan berliku dekat hutan belantara di selatan rumahnya. Jo bahkan lupa bahwa yang menempel di kakinya adalah sepatu kulit buatan Belanda yang membuat Jo seringkali kesulitan melangkah karena jalan yang licin karena guyuran hujan. Dan tak jarang, ia hampir terjerembab karena sulitnya medan yang ia lalui.

Pandangannya mulai kabur dan tubuhnya mulai basah kuyup bersebab hujan. Jo mulai tenggelam pada pikirannya sendiri: “Gadis gila mana yang tak luluh diperjuangkan seperti ini? Terlebih lagi oleh diriku, yang monopoli beras dan jarak seantero Jawa sudah aku kuasai. Aku pun tak pernah mendengar orang-orang berkata jelek tentang perangaiku. Justru sebaliknya.” Jo terdiam sejenak, menyadari sesuatu yang luput dari fikirannya. Sesuatu yang dirasa tidak benar. Bahwa itu, karena Jo sendiri yang sejatinya adalah pria gila yang mencintai seorang budak. Tidak, tidak, Jo telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tak menyebutkan kalimat terlarang itu. Karena Kinanthi bukan seorang budak, Kinanthi bukan perempuan biasa. Ia cerdas. Bahkan lebih cerdas daripada gadis yang telah  Jo semati sebuah cicin di jari tengahnya. kemudian Jo menggengam cincin serupa di jari tengahnya sendiri, dan meyakinkan diri bahwa tak akan ada penukaran cincin yang kedua. Tetapi ia pun bergumam, “Tak sedikit pasangan yang membatalkan pertunangan mereka.” Pikiran Jo kian kacau.

Sinyo[3]!! Sinyo! Kemarilah! Menetaplah barang sebentar!!”, suara seorang wanita paruh baya menghancurkan lamunan Jo di tengah kepungan hujan. Ia tak ingin membuang tenaga walau hanya sekadar menjawab. Jo hanya mampu melambaikan tangan dan tersenyum tipis. Kemudian sosoknya pun tertelan parau oleh hujan. Memilih pergi bersama hujan.

Di sepanjang jalan, terlihat hamparan padi berdampingan dengan palawija, jagung di sisi barat dan jarak di sisi timur. Barisan pohon trembesit yang menjulang ke langit mengalahkan ketinggian para pohon pemasok oksigen di sekitarnya. Sementara, pohon jati berjajar di sepanjang jalan setapak yang ia jajaki dengan bersegera.

Setelah jauh membelah hutan, ia kenali tempat yang ia tuju dari kejauhan. Jo ingat betul jalan yang dulu ia lalui saat lari dari bilatan sabuk ayahnya, hingga harus dicari oleh tiga pria besar yang saat Jo masih kecil, ketiga pria itu nampak sangat mengerikan. Dan sekarang, Jo melihat tubuhnya sendiri, mereka –para kacung ayahnya- ternyata tidak semengerikan itu. Seorang sinyo sekarang sudah menjadi seorang tuan.

Matahari masih tertutup oleh mendung. Jo yakin, sang mentari sedang bersiap untuk tenggelam di barat sana. Membagi ketenarannya kepada sang rembulan, hingga menjemburatkan warna jingga yang mempesona sebagaimana senja-senja biasanya. Teringat bahwa sang mentari sedang bersiap mapan di balik kepungan hujan, membuat hati Jo kian kacau. Karena itu, ia lari dan terus berlari. Mengejar sang waktu dan memburu kesempatan. Sampai akhirnya Jo jatuh terjerembab di antara tanah dan rerumputan yang basah. Mata Jo bertatapan dengan atap bumi yang sedari tadi menangis entah karena apa. Tangisan itu masih sama mengerikannya seperti dulu, membangkitkan kenangan-kenangan yang keberadaanya selalu membuat Jo merinding dan gemetar karena sosok sang ayah yang beringas menyabeti Jo dengan sabuk di tengah derasnya hujan. Jo tersadar setelah melihat sekelilingnya. seharusnya di sinilah dirinya dan Kinanthi menemui sang kabut. Tapi dimana gadis itu?

Sepucuk surat tanpa perangko terselip di sebuah arca -patung budha-, menarik perhatian Jo. Surat itu dibungkus rapi dengan daun talas. Menghindarkan tulisan indah di dalamnya dari ratapan bumi yang sendu.

***

Rembang, 22 juni

Tuanku yang terhormat.

 

Hujan tampakkan elok pada jembatan yang kau pijak, Tuan.

Agaknya sang kabut tak bisa menemui kita berdua di tempat yang kau pilih.

 

Tuan, dicintai oleh anda adalah mimpi yang menjadi kenyataan.

Hati saya berbunga setiap harinya, jantung saya berdebar cepat tak henti-hentinya.

Anda menerbangkan angan saya.

Sungguh, betapa bodoh saya tak bisa mengutarakan bahagia ini sesuai dengan perasaan yang ada.

 

Tapi Tuan, batu tenggelam tak pernah mencoba menggapai,

Pohon yang tumbang tak pernah lagi menjulang,

Kita manusia tak pernah meminta sepasang sayap. Hanya bisa menerbangkan angan dalam lamunan.

Karena yang mustahil, begitulah adanya. Perubahan itu hanya menambah keganjilan saja.

 

Tuan, ampunilah saya atas ketidakmampuan saya.

Mana ada seorang budak menikahi tuannya?

Takdir yang hapuskan kebahagiaan, seandainya saya adalah seorang Belanda.

 

Kinanthi Sapto

***

Hujan berganti dengan air mata. Juga guntur yang berganti dengan teriakan tak bersuara. Bersama dengan langit gelap tanpa lentera yang memuakkan, Jo tak tahu harus bagaimana lagi ia luapkan kesedihannya. Karena tak pernah sekalipun Jo mendapati Kinanthi berbasa basi, apalagi berdusta. Tahu kah Kinanthi bahwa surat ini justru menunjukkan betapa Kinanthi menginginkan dirinya? Padahal Jo tak pernah sekalipun membicarakan tempat ini secara gamblang pada Kinanthi. Padahal bisa saja Kinanthi mengirimkan surat ini kerumahnya, daripada harus datang kemari pada waktu hujan sedang melanda. Bukankah itu salah satu bukti bahwa Kinanthi juga menaruh suatu rasa pada dirinya? Tapi karena apa, Kinanthi menolak cintanya? Jo tak habis fikir. Ia terluka, begitu terluka. Tapi yang terpenting, apakah Kinanthi tak mengerti? Padahal besok Jo telah berniat melakukan penukaran cincin yang kedua, yang kali ini akan disematkan di jari manis Kinanthi gadis desa yang luarbiasa.

[1]Masa jaya

[2]‘Tuhanku!’Atau ‘demi tuhan!’

[3]Cara menyebut tuan muda dalam Bahasa belanda

Rembang, 21 Juni

Oleh : Zulfa Amalia Shalihah

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *