Permasalahan seputar perempuan memang salalu menarik untuk diperbincangkan. Salah satunya adalah kepemimpinan perempuan. Pada era reformasi ini, tentu perempuan sudah mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjalankan peran dalam dunia politik. Namun permasalahannya, apakah kualitas perempuan sudah mencapai standar untuk menjadi politisi? Hal itu dapat dilihat dari keterlibatan perempuan dalam mengisi kursi-kursi politik.
Minimnya keterlibatan perempuan bisa jadi dikarenakan kurangnya kualitas. Jika ada yang dilibatkan, bisa jadi hanya untuk memenuhi persyaratan kuota. Hal tersebut bisa dilihat dengan munculnya anggota-anggota dewan perwakilan perempuan yang hanya mengandalkan ketenaran untuk meraup suara, tanpa diikuti oleh kualitas yang memadai.
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 memuat kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat. Angka ini berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik. Kemudian, dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 ditegaskan bahwa partai politik baru dapat mengikuti setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai pilitik tingkat pusat.
Kenyataannya, di tingkat ASEAN, bersumber dari Inter Parliamentary Union (IPU), dalam kategori Majelis Rendah, Indonesia menempati peringkat ke-enam terkait keterwakilan perempuan dalam parlemen. Proporsi perempuan yang berada di parlemen Indonesia berada di bawah 20 persen, tepatnya 19,8 persen.
Sebagai bangsa yang secara historis berasal dari kerajaan-kerajaan, Indonesia memiliki sosok-sosok politisi perempuan tangguh dan pemberani dari berbagai kerajaan. Salah satunya adalah Kerajaan Kalingga atau yang sekarang dikenal sebagai daerah Jepara. Bagi yang pernah berkunjung ke kota kecil ini, pasti tak asing dengan patung tiga putri yang berada di tengah kota. Patung tiga putri tersebut bertujuan untuk mengenang perjuangan tiga tokoh perempuan Jepara yaitu Ratu Shima, Ratu Kalinyamat, dan Raden Ajeng Kartini.
Pada kesempatan ini, penulis akan mengulas nilai-nilai keteladanan dari Ratu Kalinyamat yang bisa ditiru oleh politisi perempuan di masa sekarang. Ratu Kalinyamat memiliki nama asli Retna Kencana. Ia adalah puteri Raja Demak, Sultan Trenggono. Ketika remaja, ia dinikahkan dengan Pangeran Toyib, putra Sultan Mughayat Syah (Raja Aceh) yang kemudian bergelar Pangeran Kalinyamat karena mendirikan Desa Kalinyamat yang sekarang menjadi Kecamatan Kalinyamatan. Sejak menjadi bagian dari anggota keluarga Kerajaan Demak, Pangeran Kalinyamat memperoleh gelar Pangeran Hadirin.
Ratu Kalinyamat mendampingi suaminya yang saat itu diangkat menjadi Bupati Jepara. Hingga akhirnya ia harus menggantikan Sultan Hadirin untuk memimpin karena suaminya dibunuh oleh Arya Penangsang selama perjalanan dari Kudus menuju Jepara. Pasca Sultan Hadirin meninggal, Ratu Kalinyamat bertapa telanjang di Gunung Donorojo dan berjanji tidak akan keluar sebelum berhasil membalas dendam kepada Arya Penangsang. Bertapa telanjang bukan berarti tidak mengenakan kain sama sekali. Dalam filosofi Jawa, bertapa telanjang artinya Ratu Kalinyamat berjihad fi sabilillah dengan menggunakan seluruh hartanya untuk melawan Potugis. Pada akhirnya, Sultan Pajang, adik Ratu Kalinyamat berhasil membunuh Arya Penangsang dan Ratu Kalinyamat meninggalkan pertapaannya untuk kembali memimpin Jepara.
Layaknya Bupati Jepara sebelumnya, yaitu Pati Unus, Ratu Kalinyamat pun bersikap anti terhadap Portugis. Pada tahun 1550 M, ia mengirimkan 4000 tentara Jepara dalam 40 kapal guna membantu Sultan Johor untuk membebaskan Malaka dari kekuasaan bangsa Eropa. Pada tahun 1573 M, Sultan Aceh meminta bantuan Ratu Kalinyamat untuk menyerang Malaka kembali. Ratu mengirimkan 300 kapal yang berisi 15.000 prajurit Jepara yang dipimpin oleh Ki Demang Laksamana.
Meskipun dua kali mengalami kekalahan, tetapi Ratu Kalinyamat telah menunjukkan bahwa ia seorang perempuan yang gagah berani. Bahkan Portugis mencatatnya sebagai rainha de Jepara, senhora poderosa e rica, de kranige dame, yang berarti “Ratu Jepara seorang wanita yang kaya dan berkuasa, seorang perempuan pemberani”.
Dari kisah Ratu Kalinyamat tersebut, para politisi perempuan dapat meneladani beberapa spirit juang Sang Ratu. Pertama, berani dan tegas dalam melawan pihak-pihak asing yang dapat merugikan rakyat. Pada era sekarang, dapat digambarkan seperti Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan pada periode lalu yang tegas menenggelamkan kapal-kapal asing yang mencuri kekayaan laut Indonesia.
Kedua, merelakan hartanya untuk keperluan perjuangan rakyat. Keberanian terjun menjadi politisi berarti kesiapan untuk menyumbangkan harta untuk keperluan umum, bukan malah sebagai ladang untuk mengumpulkan harta. Oleh karena itu, politisi perempuan sudah sepatutnya juga menjadi sosok yang mandiri dalam hal finansial.
Semoga dengan adanya figur Ratu Kalinyamat, para calon politisi perempuan maupun yang sekarang sedang mendapatkan amanah menjadi pimpinan bisa mengambil nilai-nilai positif dari cara Sang Ratu memimpin. Dirgahayu yang ke-471, Jepara. Trus Karya Tataning Bumi. Wa Allahu a’lamu bi al showab.
Oleh : Shofiya Laila Alghofariyah, Ketua Umum HMI Komisariat FITK 2018/2019, Aktivis Komunitas Mahasiswa Jepara Semarang (KMJS)