Porak Poranda Demokrasi Negeri

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata: lawan!

Sebuah sajak dari penggalan puisi Widji Thukul, seorang aktivis buruh yang menciptakan beratus rangkai kata untuk mewakili suara rakyat. Namun sayang, 1998 Widji thukul menghilang bebarengan dengan jatuhnya orde baru dan belum kunjung kembali hingga kini. Menyisakan teka-teki untuk generasi muda mudi.

Tidak ada asap tanpa api. Kasus hilangnya WIdji Thukul tentu di dasari oleh sebuah sebab. Diduga sebab menghilangnya, karena thukul kerap melontarkan kritik terhadap berbagai kebijakan yang mengesampingkan HAM. Banyak kalangan yang menyebutkan, bahwa hilangnya Widji Thukul merupakan tumbal dari penguasa.

Kasus pelanggaran HAM di Indonesia tak berhenti di situ, masih sangat banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang tak kunjug di selesaikan. Sepertinya pelanggaran HAM menjadi kasus yang lumrah di negeri ini.

HAM tidak dapat dipisahkan dari demokrasi. Di mana di dalam demokrasi terdapat kebebasan dan hak warga negara untuk terjun menjadi badan pemerintahan yang memegang kendali pemerintahan di Indonesia, serta kebebasan menyampaikan suaranya. Namun ketika HAM tak ditegakkan, apakah demokrasi masih bisa dijalankan? Sebuah pertanyaan untuk para pengendali negeri.

Demokrasi merupakan konsep yang lahir di Indonesia sejak ikrar kemerdekaan. Demokrasi memiliki sejarah perjalanan yang panjang, berkembang menyesuaikan keadaan politik di Indonesia. Tapi, tentu konsep demokrasi tidak jauh dari kedaulatan rakyat. Dimana rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi.

Demokrasi telah memberikan penghargaan tertinggi bagi rakyat untuk mengambil peran dalam pembuatan kebijakan publik, rakyat memiliki hak dan nilai yang sama untuk memilih pemimpin agar negeri ini dipimpin dengan baik. Demokrasi dinilai sebagai sistem pemerintahan terbaik saat ini. Namun nyatanya demokrasi masih belum menghasilkan keadilan dan kesejahteraan untuk rakyatnya. Pada realita yang terjadi, rakyat tak diberi kebebasan untuk sekadar memproklamasikan aspirasinya.

“Asal bapak senang” sebuah ungkapan yang muncul pada era politik tahun 60-an, yang dicetuskan oleh Bung Hatta, dalam bukunnya, Demokrasi kita. Namun sayang, buku tersebut dilarang diterbitkan, bahkan dilarang membaca dan menyiarkan. Bukankah suatu kemirisan untuk negeri ini? Tidak ada kesempatan untuk menuangkan gagasan-gagasan membangun demi kesejahteraan bangsa.

Partai politik juga menjadi salah satu penentu arah demokrasi, yang tentunya mengarah pada kesejahteraan, tetapi, masih tak ada pengaruh yang biasa dirasa. Era orde baru telah membuka pintu kebebasan setiap orang untuk mimilih politik, menyampaikan pemikiran dan pendapatnya ke arah kesejahteraan bangsa, nyatanya kebebasan di rasa masih dipasung

Permasalah demokrasi terus mengalir. Pemerintah yang tidak bisa berbuat adil dan tegas menyebabkan rakyat maju berdemontrasi menuntut keadilan, fasilitas umum menjadi sasaran, banyak orang yang juga harus menjadi korban. Apakah rakyat yang harus disalahkan?

Rakya Indonesia hanya membutuhkan keadilan dan kepedulian dari pemerintah, serta visi dan misi sebagai arah tujuan negara ini menjalankan tugasnya dengan benar, untuk menuai kesejahteran rakya. Ketegasan untuk para pejabat yang korupsi, tanpa sogokan untuk hakim guna meringankkan hukuman. Sayangnya masih tak ada tindakan yang di lakukan pemerintah. Demokrasi menjadi hutang negeri, untuk itu harus segera dibayar.

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar