Orang tua memegang peran vital dalam perkembangan anak. Mereka tidak hanya bertindak sebagai pemimpin keluarga, tetapi juga menjadi guru pertama yang memberi bimbingan, pendidikan, dan teladan bagi anak-anaknya.
Setiap anak adalah karunia istimewa dari Allah SWT yang patut dirawat dengan penuh kasih sayang. Mereka adalah harapan masa depan yang akan melanjutkan estafet kehidupan. Menurut A. Armanila (2021), anak usia dini mencakup bayi yang baru lahir hingga anak berusia 6 tahun. Tahap perkembangan mereka dapat dibagi menjadi beberapa fase: masa dalam kandungan hingga kelahiran, bayi baru lahir sampai 28 hari, usia 1-24 bulan, usia 2-6 tahun. Periode ini sering disebut sebagai “golden age” atau masa keemasan. Pada fase ini, anak bagaikan spons yang menyerap segala informasi dari lingkungan sekitarnya. Apa yang mereka serap ini akan membentuk perkembangan mental dan kepribadian mereka ke depannya.
Anak merupakan harta berharga bangsa yang membutuhkan perlindungan khusus. Sebagai penerus bangsa, mereka akan menjadi ujung tombak pembangunan Indonesia di masa depan. Karena peran pentingnya tersebut, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih dalam mengembangkan potensi mereka. Hal ini harus menjangkau hingga ke pelosok negeri, tidak hanya di kota-kota besar. Selain itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan terpenuhinya hak-hak dasar anak, terutama dalam hal perlindungan dan keamanan mereka.
Media saat ini dipenuhi dengan berita-berita mengkhawatirkan tentang pelecehan seksual terhadap anak. Kondisi anak yang masih bergantung pada bantuan orang dewasa, ditambah dengan ketidakberdayaan mereka, membuat anak-anak menjadi sasaran empuk bagi para pelaku kejahatan seksual.
Menurut (Fibrianti et al., 2020) menyatakan bahwa Kejahatan Seksual merupakan tindak kejahatan yang saat ini semakin merajalela. Kejahatan seksual tidak hanya terjadi pada usia dewasa namun juga dapat menimpa pada anak-anak. Kekerasan sosial memiliki unsur ancaman, paksaan, dan pemerkosaan, yang dapat dikelompokan ke dalam kekerasan yang berbentuk verbal (ancaman), serta kekerasan yang mengarah pada tindakan konkret yaitu memaksa dan memperkosa sebagai serangan seksual.
Angka kasus pelecehan seksual di Indonesia terus menunjukkan tren yang mengkhawatirkan setiap tahunnya. Yang lebih mencemaskan, korbannya kini tidak hanya orang dewasa, tapi juga menyasar remaja, anak-anak, bahkan balita. Fakta yang lebih menyedihkan, sebagian besar pelaku justru berasal dari lingkaran terdekat korban, seperti: keluarga di dalam rumah, lembaga pendidikan, lingkungan sosial sehari-hari. Siapa saja berpotensi menjadi pelaku kejahatan ini. Para pelaku biasanya memiliki cara-cara licik untuk menguasai korbannya, baik melalui tipu muslihat maupun ancaman, sehingga tindakan ini sulit diantisipasi oleh korban.
Perubahan akhlak dan moral pada anak usia dini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan selalu dipengaruhi oleh faktor eksternal. Dengan majunya teknologi banyak anak-anak sekranag yang memilki akses mudah dalam bermain media sosial, hal tersebut menjadi faktor dalam penurunan akhlak anak, sebab anak-anak dapat mengakses konten yang melanggar syraiat-syariat islam, dengan algoritma media sosial yang tidak dapat kita kendalikan.
Melalui penelitian Tri Sella dan Melinda P.S Jaya tentang “Kekerasan Pada Anak Usia Dini”. Dalam penelitian tersebut, Giri Persada dkk (2015) mengungkapkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak usia dini berdampak buruk pada kesehatan mental, fisik, serta mengganggu tumbuh kembang mereka dibandingkan anak-anak lain pada umumnya. Kondisi ini kemudian memunculkan trauma dan stres berkepanjangan pada anak-anak korban kekerasan.
Penelitian lain yang dilakukan Clara Sommarin dan tim menunjukkan bahwa risiko anak mengalami kekerasan seksual dan fisik semakin meningkat ketika bersinggungan dengan faktor-faktor seperti diskriminasi ras, etnis, disabilitas, dan status ekonomi yang rendah. Yang lebih mengkhawatirkan, berdasarkan pengamatan terkini, anak usia dini justru menjadi sasaran utama para pelaku kekerasan seksual.
Melihat kondisi yang mengkhawatirkan ini, pengawasan intensif dari berbagai pihak, terutama ustadz, menjadi sangat penting untuk melindungi anak-anak dari ancaman kekerasan seksual. Ustadz memiliki peran penting sebagai garda terdepan dalam pencegahan yang tidak bisa diabaikan. Peran ustadz terdapat dalam kemampuanya untuk memberikan edukasi yang mendalam terhadap nilai-nilai keagamaan.
Hal tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan spiritual yang bisa ditanamkan dalam kesadaran akan pentingnya untuk menjaga kehormatan diri, memahami batasan-batasan dalam pergaulan, dan menghormati martabat manusia.
Ustadz memiliki peran dalam pendidikan moral, sebab dengan pendidikan moral yang kuat dapat menjadi benteng awal bagi remaja untuk memahami batasan dalam interaksi sosial dan menghindari perilaku yang tidak etis.
Dalam hal tersebut pencegahan pelecehan seksual, ustadz dapat menyampaikan pesan-pesan agama yang relevan, seperti pentingnya menjaga pandangan, menghindari pergaulan bebas, dan menjunjung tinggi etika dalam berkomunikasi.
Pendekatan tersebut tidak hanya memberikan bekal spiritual, tetapi juga memperkuat kesadaran remaja terhadap pentingnya menjaga kehormatan diri dan orang lain. Ustadz juga dapat mengedukasi orang tua dan komunitas tentang pentingnya menciptakan lingkungan yang aman bagi remaja.
Ketika keluarga dan masyarakat memahami tanda-tanda pelecehan serta cara mencegahnya, remaja akan merasa lebih terlindungi.
Peran ustadz dalam upaya pencegahan pelecehan seksual membutuhkan dukungan dan kerja sama dari berbagai elemen masyarakat.
Tidak cukup hanya mengandalkan ceramah atau pengajian, diperlukan pendekatan terpadu yang melibatkan berbagai institusi untuk menciptakan sistem perlindungan yang komprehensif.
Sekolah, sebagai institusi pendidikan formal, dapat bermitra dengan ustadz untuk mengembangkan kurikulum pendidikan seksual yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan norma sosial.
Program ini bisa mencakup pembelajaran tentang batasan pergaulan, pengenalan situasi berbahaya, dan cara melindungi diri dari ancaman pelecehan.
Kolaborasi dengan lembaga pemerintahan seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau Kementerian Agama juga sangat krusial.
Melalui kerja sama ini, ustadz dapat mengakses berbagai sumber daya, pelatihan, dan program pemberdayaan yang dapat memperkuat perannya sebagai garda terdepan pencegahan pelecehan seksual.
Mereka juga dapat terlibat dalam pembuatan kebijakan dan program-program perlindungan anak di tingkat daerah maupun nasional.
Dengan melibatkan organisasi masyarakat dan profesional seperti psikolog, konselor, dan aparat penegak hukum. Para ustadz dapat menjadi jembatan yang menghubungkan korban atau keluarga dengan bantuan profesional yang mereka butuhkan. Misalnya, ketika menemukan kasus pelecehan, ustadz dapat merujuk korban ke psikolog untuk mendapatkan pendampingan trauma, atau ke penegak hukum untuk proses hukum yang diperlukan.
Selain itu, ustadz juga dapat mengorganisir seminar atau workshop bersama para profesional ini untuk memberikan edukasi komprehensif kepada masyarakat tentang pencegahan dan penanganan kasus pelecehan seksual.
Sebagai sosok yang dihormati dalam masyarakat, ustadz memikul amanah besar dalam mengawal moral dan keselamatan generasi muda. Melalui pendidikan agama yang mendalam dan dakwah yang menyentuh realitas kehidupan remaja saat ini, para ustadz dapat menjadi benteng pertahanan dari ancaman pelecehan seksual.
Peran strategis mereka, ditambah dengan jaringan kerja sama yang kuat dengan berbagai elemen masyarakat, menjadi kunci dalam membentuk generasi yang tidak hanya berakhlak mulia tetapi juga mampu melindungi diri.
*Oleh: Muhammad Risqy, mahasiswa UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan.