Oleh: Kanti Rahayu, SH.MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti
Pengakuan dan perlindungan Kekayaan Intelektual merupakan salah satu bentuk pembaruan dalam hukum perdata yang terus berkembang mengikuti kebutuhan peradaban manusia. Adanya konsep keuntungan ekonomis dalam perlindungan produk-produk yang mengandung Kekayaan Intelektual melekat erat dalam aktivitas bisnis baik nasional maupun internasional.
Sebagai bagian dari Kekayaan Intelektual, Merek juga melekat dalam kehidupan keseharian manusia, bukan saja hanya karena ada keuntungan ekonomis bagi pemegang haknya melainkan juga bagi konsumen yang memakainya. Tak jarang merek juga mewakili kelas sosial pemakainya. Tetapi kita tidak berbicara mengenai kelas sosial konsumen pengguna merek, melainkan berbicara mengenai pemilik atau pemegang hak atas suatu Merek terdaftar atas suatu produk.
Registrasi atau pendaftaran merupakan satu-satunya cara yang saat ini disediakan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis bagi pemilik merek yang ingin merek atas produknya dapat dilindungi dari pemboncengan tanpa ijin oleh pihak lain. Sistem First to File dalam pendaftaran merek memfasilitasi setiap pemilik merek yang mendaftarkan pertama kali bukan yang menggunakan pertama kali (First to Use) meski juga tidak mengabaikan pemohon dengan itikad baik.
Hak atas merek adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu menggunakan merek itu sendiri atau memberi ijin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya. Hak atas merek merupakan hak kebendaan yang memberi kekuasaan langsung atas suatu benda (merupakan benda tak berwujud) kepada pemiliknya, yaitu kekuasaan untuk menggunakan dan menikmati manfaat ekonomis dari benda tersebut.
Dalam mekanisme pendaftaran merek berdasarkan Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis yang telah tertulis dimuka, terdapat serangkaian persyaratan yang harus dipatuhi untuk mendaftarkan sebuah merek. Selain persyaratan administrasi, Undang-Undang juga telah menentukan kategori merek yang tidak dapat didaftarkan dan merek yang ditolak permohonan pendaftarannya.
Merek Diskriptif atau merek yang berupa keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya, merupakan salah satu jenis permohonan merek yang ditolak permohonannya oleh DJKI (Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual). Merek tersebut berkaitan atau hanya menyebutkan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya sesuai dengan isi produknya. Misalnya apabila isi produknya kopi maka merek yang hendak didaftarkan juga bernama KOPI. Merek tersebut akan ditolak karena tidak memiliki daya pembeda dengan produk lain yang sejenis dan hanya berupa keterangan atas isi dari produk.
Pemaknaan Kedua
Berangkat dari merek deskriftif ini kemudian terdapat beberapa produk yang meskipun mereknya ditolak oleh DJKI karena tidak memiliki daya pembeda serta hanya berupa keterangan dari isi produknya, namun ternyata justru dapat bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama ditengah-tengah masyarakat, bahkan seiring waktu yang lama justru merek-merek ini dapat membuktikan kualitas produknya serta menjadi produk yang dipercaya masyarakat sehingga masyarakat sebagai konsumen telah dapat membedakan mereknya meski berupa keterangan dari produknya.
Produk-produk merek deskriftif yang telah dapat bertahan lama ditengah masyarakat ini kemudian disebut sebagai Merek dengan Pemaknaan Kedua (Secondary Meaning) seperti Aqua, Mie Sedaap, Gulaku dan lain-lain yang juga merupakatan merek Deskriftif tetapi kini telah terdaftar dan mendapatkan perlindungan yang sah berdasarkan Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis karena telah teruji kualitas dan kepercayaan masyarakat terhadap merek tersebut sehingga hal itulah yang menjadi daya pembeda yang kuat untuk dapat terdaftar sebagai merek.
Makna Tambahan atau Pemaknaan Kedua (Secondary Meaning) dalam Hukum Merek di Indonesia merupakan adopsi dari hukum Amerika yang telah memberikan kelonggaran sebagai penghargaan atas usaha dari pemilik merek deskriftif untuk membuktian kualitas produk dan mereknya melalui mekanisme Direct Evidence dan Indirect Evidence.
Direct Evidence yakni pembuktian kualitas merek deskriftif melalui Survey Konsumen sedangkan Indirect Evidence yakni pembuktian melalui intensitas iklan, kuantitas penjualan, pangsa pasar dan bukti bahwa adanya usaha pihak lain untuk memboncengi merek deskriftif.