Pandemi virus Corona di Indonesia diawali dengan temuan penderita penyakit akibat Covid-19 pada Maret 2020. Hingga 15 April 2020, ada sebanyak 4.839 kasus positif covid-19. 459 kasus meninggal dan 426 kasus sembuh. Sejauh ini tingkat penyebarannya semakin luas. Pemerintah masih terus berupaya menangani masalah covid-19 ini.
Pandemi jika dilihat dari teori konspirasi, konon katanya muncul setiap 100 tahun sekali. Dimulai pada tahun 1720 ketika wabah yang diduga dari kutu tikus yang terinfeksi, berlangsung selama 3 tahun dengan jumlah total 100 ribu orang meninggal.
Kemudian pada tahun 1820, penyakit kolera di Gangga dipicu beras yang terkontaminasi. Lebih dari 100 ribu orang meninggal di Jawa dan di Filipina. Lalu pada tahun 1920, flu Spanyol yang menginfeksi 500 juta orang dan 20 juta meninggal. Dan yang terakhir di tahun 2020, Covid-19 yang berasal dari Wuhan. Fakta-fakta itulah yang disimpulkan tentang wabah yang hadir setiap 100 tahun sekali.
Secara historis, dunia telah beberapa kali mengalami pandemi, tapi menurut beberapa ahli, pandemi kali ini adalah pandemi terbesar dalam sejarah, terutama sebab kecepatan penyebarannya dan luas jangkauan wilayah penularannya.
Setelah pemerintah menetapkan pengumuman pertama kasus Covid-19 pada awal Maret 2020, respon masyarakat dalam menghadapi Covid-19 itu pun kian beragam. Perbedaan itu muncul akibat berbedanya pemahaman dalam beragama. Ada golongan yang lebih berpusat pada Tuhan atau masyhur disebut dengan istilah teosentris. Namun sebaliknya, ada yang menjadikan kehendak manusia sebagai pusatnya atau berpaham antroposentris.
Penganut Fatalisme vs Kelompok Free Will
Fatalisme dari kata dasar fatal. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) menyebutkan fatalisme adalah ajaran atau paham bahwa manusia dikuasai oleh nasib. Dalam diskurus pembahasan ilmu kalam, paham ini disebut dengan paham Jabariyah. Maksudnya, tiap manusia hidup atas kehendak dan takdir Allah tanpa memiliki pilihan dan usaha dalam perbuatannya.
Pandangan ini pernah menggegerkan dunia Arab di bulan Juli 1990. Ketika sebanyak 1.464 peziarah muslim tewas di Mekkah akibat terowongan yang ambruk pada akhir musim haji, tepatnya pada Hari Raya Idul Adha. Banyak peziarah yang meninggal akibat sesak nafas dan saling menginjak ketika kepanikan melanda mereka yang berusaha menyelamatkan diri dan keluar dari terowongan.
Menanggapi berita menyedihkan tersebut, pemerintah Arab Saudi Baginda Raja Fahd berkomentar bahwa kejadian itu merupakan takdir Allah dan ‘seandainya para korban tidak meninggal dunia dalam terowongan itu, mereka pasti akan mati di tempat lain pada saat yang telah ditakdirnya’. Sungguh mengejutkan.
Maka tak heran, dalam menghadapi wabah pandemi Covid ini para penganut teologi fatalistik lebih memilih untuk menyerahkan segalanya kepada kehendak Allah. Munculnya virus adalah suatu takdir, dan kematian sebab virus juga merupakan takdir Allah. Penganut paham ini cenderung tidak ingin melihat jalan untuk mengubah keadaan sekelilingnya dan selalu merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup.
Sedangkan kelompok free will atau free act adalah kelompok yang mengedepankan kehendaknya sebagai manusia. Perbuatan-perbuatan manusia adalah hasil ciptaan manusia sendiri. Dalam diskursus teologi Islam golongan ini disebut Qadariyah. Konsep paham free will ternyata sudah diwarisi oleh tokoh pemikir besar Islam Muhammad Abduh. Pemikiran Abduh cenderung rasional sehingga mampu mengantarkan Islam pada kemajuan yang signifikan.
Menanggapi wabah pendemi yang telah berlangsung sebulan lebih, para penganut free will telah mengonsep berbagai cara dalam menghadapi penyebaran Covid-19 ini. Usaha yang dilakukan sejalan dengan sains dan ilmu pengetahuan yang berkembang. Pencegahan yang diupayakan banyak ragamnya, mulai dari menutup akses internasional, pembagian masker, menunda acara-acara yang melibatkan banyak orang, pola hidup yang baik dan bersih dan banyak mengkampanyekan yang sejalan dengan itu.
Terlepas dari paham manapun, al-qur’an mengklasifikasikan takdir menjadi 3 macam yang masing-masing terdapat dalam surat al – An’am ayat 96, al-Furqan ayat 2, surat Yasin ayat 38 dan surat Fussilat ayat 12, yaitu: Pertama, takdir berlaku untuk fenomena alam, artinya hukum dan ketentuan dari Tuhan mengikat perilaku alam. Akibat yang terjadi di alam dapat dipahami manusia. Kedua, takdir Tuhan terkait hukum sosial (sunnatullah). Hukum ini melibatkan manusia di dalamnya. Dan terakhir, takdir dalam arti hukum kepastian Allah yang baru diketahui setelah berada di akhirat. Wallahu a’alamu bi as-shawwab.