Akhir dari cita yang dibalut duka
Pemuda itu terlihat gelisah. Tangan kirinya memegangi dagu, sedang bola matanya bergerak-gerak seolah mencari jawaban. Tangan kanannya masih mendekap al-Qur’an yang shubuh tadi ia gunakan untuk menambah hafalan. Ia pun terduduk di lantai kamar sembari menyandarkan badannya di antara lemari-lemari kayu yang sudah mulai usang. Seseorang datang ke dalam kamar tersebut.
“Sudah setoran, Ham?” tanga laki-laki yang baru saja masuk kamar.
“Sudah, Mas. Tapi buyar.” Jawab Hamma sambil mengusap-usap dahinya
“Kamu lagi ada masalah to? Atau lagi kepikiran sesuatu?”
“Iya, Mas. Malam tadi saya memimpikan Abah. Dalam mimpi itu, beliau berkata ada yang hendak beliau sampaikan kepada saya. Ketika saya bergerak mendekat untuk mendengarkan, Abah hanya tersenyum lalu melambaikan tangan sesaat sebelum menghilang. Dan anehnya, Umi saya datang membawa kotak kayu yang dulu pernah saya lihat di kamar Abah sama Umi, namun belum pernah saya melihat isinya.”
“Kau sempat lihat isinya dalam mimpi itu, Ham?”
“Belum, Mas. Padahal, semenjak Umi tidak ada, saya belum pernah memimpikan beliau. Baru kali ini, Mas. Kedatangan Abah dan Umi dalam mimpi saya seolah-olah menandakan sesuatu.”
“Kamu sudah coba hubungi Abahmu?”
“Rencananya siang nanti saya mau menghadap Kyai Humaidi, Mas. Siapa tahu, beliau mendapatkan kabar dari Abah saya.”
“Ya sudah, kalau mau ditemani nanti panggil aku saja. Aku mau cuci mobil dulu.”
“Ya, Mas. Terima kasih ya”
Siang harinya, sesuai sholat Dzuhur berjama’ah Hamma meminta Mas Fadhol menemaninya menghadap Kyai Humaidi. Mereka pun mempercepat langkah menuju ndalem. Hamma menyampaikan maksudnya kepasa salah seorang santriwati abdi ndalem yang tadi membukakan pintu.
“Ditenggo riyen, Kang”
Santriwati itu terlihat berjalan menuju ndalem bagian dalam. Ketika sampai di depan pintu Kyai Humaidi, terlihat ia setengah berdiri menyampaikan kedatangan Hamma dan Fadhol. Hamma seketika teringat dengan Abahnya. Ketika kecil dulu, Abah pernah berpesan;
“Le, kalau kamu nanti jadi kyai, jangan suka memelihara budaya feodal ya. Abah ndak srek, ndak suka”
“Tapi Hamma kalo besar nanti mau jadi penulis, Abah.”
Abah hanya membalas jawaban polos Hamma kecil dengan mengecup kening Hamma.
“Ah, ingatan itu kenapa tiba-tiba muncul” kata Hamma dalam hati. Derap langkah Kyai Humaidi terdengar bergerak mendekat. Dua pemuda itupun terlihat menunduk ta’dhim.
“Pripun, Gus? Ada yang bisa saya bantu?” Kyai Humaidi memang terbiasa memanggil Hamma dengan panggilan, Gus. Sebuah tradisi untuk anak kyai pemimpin pesantren. Hamma pun menceritakan kegelisahannya pada Kyai Humaidi.
“Kemarin sore, ketika ada tabligh akbar di Blitar. Aku sempat bertemu dengan Abahmu sebab kami sama-sama jadi pembicara. Namun obrolan kami tidak panjang, beliau hanya bertanya sudah sejauh mana hafalan yang kau selesaikan dan bagaimana engkau hidup di pesantren ini. Tidak ada obrolan lain, Gus”
Hamma semakin penasaran dengan arti mimpinya tadi malam. Biasanya, Kyai Humaidi memangilnya ketika ada kabar atau pesan dari Abah. Tidak sampai ia yang bertanya. Namun hari itu ia tidak menjumpai pesan itu pada Kyai Humaidi. Hamma pun memutuskan untuk menelephone orang rumah. Setidaknya, ia harus mengetahui kondisi di rumah untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Memastikan mimpinya hanya bunga tidur yang tidak perlu diruntutkan artinya.
“Assalamu’alaikum” terdengar suara yang sangat Hamma kenali
“Wa’alaikumussalam, Kang Hadi. Ini Hamma, Abah ada Kang?”
“Eh, Abah lagi ngisi Tabligh akbar, Gus. Belum kundur, ada yang bisa Kang Hadi bantu?”
“Ah, Cuma kangen sama Abah saja, Kang. Abah sehat-sehat to disana?”
“Eh, em, iya, Alhamdulillah, Gus”
“Nanti sampaikan salam Ta’dhim Hamma untuk Abah ya, Kang. Kabarkan kalau Hamma tadi telfon.”
Kabar itu sudah dengan jelas mengatakan tidak terjadi sesuatu tirumahnya. Tidak terjadi apa-apa pada Abah terksihnya. Namun, Hamma masih masih dirundung perasaan gelisah. Merasa seolah pertanyaanya belum terjawab. Mengapa hatinya belum tertram mendengar pernyataan Kang Hadi di telephone tadi. Tentunya perasaan Hamma bukanlah asumsi belaka.
“Aneh, pertanyaanku sudah terjawab. Namun mengapa terasa masih ada yang janggal. Allah, perasaan apa ini?”
Jarum jam terus berputar berganti hari, hari berganti menjadi minggu. Perubahan itu mulai nampak pada diri Hamma. Seusai shubuh, tak seperti biasanya. Hamma justru menepi dari kerumunan para santri yang sedang Ziadah. Kakinya bergerak menuju lantai paling atas. Disana, Hamma memandang luas dunia luar, seolah menuntut jawaban. Nampakya, ia msih belum terima dengan jawaban yang telah ia dapatkan.
Apa sebenarnya maksud kedatangan Abah dalam mimpi?
Mengapa Umi tiba-tiba datang setelah kepulangannya ke rahmatullah?
Apa sebenarnya isi dari kotak kayu yang disimpan Abah dan Umi,,,,,
Pertanyaan-pertanyaan itu selalu menghantuinya. Bergantian memasuki ruang-ruang kosong dalam pikirannya. Semakin hari, layaknya benang ksusut dan tidak pernah diurai. Pertanyaan-pertanyaan itu nampak semakin rumit, ruwet.
Itulah yang menyebabkan perubahan perangai seorang Hamma. Ia yang biasa mengawali setoran hafalan ke Kyai Humaidi, jutru tidak lagi pernah setoran. Hamma yang biasa membantu Mas Fadhol memasak makan siang untuk santri-santri yang masih bersekolah, justru lebih sering terlihat berada di loteng daripada di dapur. Hamma yang biasa merawat taman kecil di depan ndalem Kyai Humaidi. Justru tak terlihat alergi dengan aroma melati. Padahal bunga itu akan mekar sebentar lagi. Hamma yang biasa menemani santri-santri junior belajar di Aula utama, justru tidak pernah lagi menginjakkan kaki di tempat itu. Hamma yang dikenal ramah dan selalu tersenyum saat bertemu orang, justru lebih sering menundukkan pandangannya. Itupun jika terpaksa ia harus keluar kamar atau turun dari lotang atas. Sosok Hamma terasa perlahan-lahan lenyap dari padangan.
Kawan-kawannya pun mulai bertanya-bertanya mengenai perubahan sikap Hamma. Mungkin jika itu terjadi sehari dua hari, atau mungkin satu minggu masih bosa di maklumi. Namun, ini sudah meginjak hari ke-40. Ada apa sebenarnya dengan Hamma? Kyai Humaidi pun bukan seolah tidak mengetahui kabar tersebut.
Malam itu, Kyai Humaidi meminta Mas Fadhol untuk meghadap. Ia rasa, Fadhol lah orang paling tepat yang bisa ia ajak diskusi mengenai masalah ini. Sebelum semuanya terlamat. Pikirnya.
“Ada apa Pak Kyai?”
“Kau merasakan keanehan akhir-akhir ini Fad?”
“Keanehan tentang apa, Kyai?”
“Tentang temanmu. Gus Hamma.”
“Enggeh, Pak. Akhir-akhir ini, bahkan sudah terhitung selama 40 hari ini, sikapnya sudah mulai berubah. Saya khawatir ada sesuatu yang membebani pikirannya, Pak Kyai. Namun, saya belum berani untuk menanyakannya.”
“Benar, Fad. Aku juga merasakan kekhawatiran itu. Apa dia pernah bercerita tentang sesuatu, atau meminta bantuan padamu?”
“Mboten, Pak. Terakhir kali, Hamma meminta bantuan saya untuk menemaninya menghadap Pak Kyai menanyakan kabar Abahnya. Setelah itu, ia tidak lagi pernah bercerita tentang sesuatu pada saya.”
“Dugaanku sementara ini. Ia masih penasaran dengan arti mimpinya waktu itu.”
“Tapi, Pak. Kabar yang saya dengar, ia sudah pernah menghubungi orang rumah. Katanya, Abah dia baik-baik saja.”
“Sebenarnya, pertemuan terakhir kami di Blitar dulu itu, tidak terjadi sesingkat yang aku ceritakan pada kalian. Aku tidak tahu aku berada di jalan benar atau baik. Malam itu, ketika hendak kembali, Kyai Hasan memanggil saya. Waktu itu, beliau hanya ditemani seorang abdi ndalem. Kalau tidak salah namanya Hadi. Sebelum kembali ke Semarang, kami sempat menginap di suatu tempat di Blitar. Wajah beliau saat itu kulihat pucat sekali. Namun senyum tulusnya masih begitu jelas menghiasi wajahnya. Malam itu ia sempat berpesan” Kyai Humaidi menghentikan ceritanya. Mengambil napas panjang sembari memejamkan matanya. Seolah berusaha mengingat kembali kejadian waktu itu.
“Apakah pesan iu belum tersampikan, Kyai?”
“Benar Fad. Sampai saat ini, aku belum menyampaikan pesanku. Mungkin aku berdosa dengan perbuatanku ini. Namun, ini adalah permintaan beliau. Malam itu, Kyai Hasan berpesan padaku untuk membantu Hamma menyeleaikan Hafalannya dua bulan setelah pertemuan kami. Kata beliau, dua bulan itu adalah dua bulan terakhirnya untuk bisa membersamai Hamma. Sebab ada cita-cita dari Almarhumah istri beliau yang masih belum tercapai. Yakni, menyaksikan Hamma duduk di podium dengan berselempakangkan gelar AH. Gelar bagi mereka yang telah menyelesaikan hafalan al-Qur’an 30 juz dan telah disimak dihadapan banyak orang. Sejak malam itu, aku selalu meminta Hamma untuk lebih rajin ziadah, murojaah, dan memperkuat hafalannya. Aku ingin membantu Kyai Hasan mewujudkan cita-cita terakhir almarhumah istrinya.”
“Mohon maaf, Kyai. Lalu apa kaitannya dengan mimpi Hamma yang dibawakan kotak kayu, Kyai?”
“Mimpi dibawakan kotak kayu? Mengapa kalian tidak pernah bercerita padaku?” air muka Kyai Humaidi seketika berubah. Ia masih terkejut dengan kenyataan yang ia dengar, tentang mimpi Hamma yang dibawakan kotak kayu oleh almarhumah Uminya. Ketika menghadap Kyai Humaidi bersama Fadhol dulu, Hamma memang tidak menceritakan secara detail mimpi yang ia alami. Ia hanya menceritakan bahwa ia bermimpi bertemu dengan Abah di dalam mimpinya. Bahkan, Hamma sama sekali tidak menyinggung Umi dalam mimpinya.
“Mohon maaf, Kyai. Saya hanya diminta menemani. Aklau saya ikut bercerita, saya takut dianggap lancang”
“Sepertinya kita terlambat, Fadh. Alangkah berdosanya aku yang saat itu tidak menanyakan detail mimpi yang dialami Gus Hamma.” Mata itu nampak berkaca-kaca. Seketika, tetes demi tetes air mengalir membasahi pipinya.
Fadhol yang tidak tahu apa-apa dibuat heran dengan sikap dan cerita Kyai Humaidi yang masih belum bisa ia pahami maksud dan akarnya. Ia hanya menatap bingung ke arah Kyai Humaidi yang menangis di hadapannya.
“Ya Allah, ampuni dosaku ini Ya Allah. Andai bisa kuulang lagi kejadian 40 hari yang lalu. Ampuni Ya Allah. Anak itu tidak hanya kehilangan tangan, namun ia juga telah kehilangan kaki saat ini Ya Allah.”
Fadhol hanya bisa menunggu, tidak berani ia bersuara ditengah suasana yang bahkan ia belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Pikiranya bekerja keras menerka yang saat ini ia lihat. Sekeras ia berpikir, sekeras itu pula kenyataan sulit diungkap kebenarannya. Jalan satu-satunya adalah menungu Kyai Humaidi menuntaskan ceritanya. Kepalanya rasanya sudah terasa berat untuk diangkat saking lamanya ia menundukkan kepala, menunggu Kyai Humaidi mengakhiri cerita.
“Kau tahu Fadhol, anak itu tidak hanya kehilangan tangan. Namun juga telah kehilangan kaki karena kesalahan dan keteledoranku Fadhh, Ya Allah, Ighfir ya Allah.”
Pertanyaan Kyai Humaidi bukannya semakin membantu Fadhol keluar dari lingkaran ketidak tahuannya, justru membuat kepelanya terasa ingin pecah. Kehilangan kaki dan tangan? Anak itu? Siapa yang di maksud Kyai Humaidi?
“Maaf, Kyai. Anak itu siapa ya?”
“Hamma, Fadh.”
“Maaf lagi, Kyai. Tapi, saya masih belum paham maksud dari ia kehilangan tangan dan kaki.”
“Segeralah temui Hamma, Fadh. Minta ia menyiapkan baju dan peralatan secukupnya, kau juga. Malam ini, kita berangkat ke kediaman Kyai Hasan. Aku sendiri yang akan menyetir mobil. Segeralah, Fadh. Sebelum rasa berdosa ini semakin menjadi-jadi.”
“Baik, Kyai.”
Meski pertanyaannya masih belum terjawan. Namun, fadhol yakin, telah terjadi hal besar yang mengharuskan mereka berangkat ke rumah Kyai Hasan malam itu juga. Fadholpun mempercept langkahnya menuju loteng. Ia yakin Hamma ada disana. Sebab, sebelum pergi ke ndalem tadi ia tidak mendapati Hamma ada di kamar.
“Ham, ada intruksi dari kyai Humaidi.”
“Intruksi apa, Mas? Setorankah?, aku belum nambah hafalan hari ini. Aku belum siap, Mas.”
“Bukan, ham. Segera kemasi bajumu, Kyai humaidi meminta kita berangkat ke rumahmu malam ini juga.”
Bagaikan mendapat es teh di bawah matahari yang sedang panas-panasnya, hamma seolah merasakan angin segar kelaur sesaat setelah Fadhol menyelesaikan ucapannya.
“Benar itu, Mas? Tapi mengapa malam-malam begini?”
“Aku juga tidak tahu, Ham. Yang jelas, beliau sudah menunggu kita di depan gerbang depan. Beliau senidiri yang akan memegang setir malam ini”
“Ayo mas”
Mobil itu melaju begitu cepat dengan leluasa. Malam-malam begitu jalan memang sudah mulai sepi. Kyai Humaidi terlihat fokus ddibawah kemudi.
“Hamma, boleh aku mendengar detail mimpimu, nak? Mimpimu tentang Abahmu?”
“Boleh Kyai.”
Hamma pun menceritakan mimpi yang pernah ia alami dulu, ia ceritakan dengan rinci tanpa ada satupun yang tertinggal. Demi mendengar cerita yang diucapkan oleh Hamma, Kyai Humaidi bercucuran air mata. Tangisnya pecah di tengah deru suara mobil. Terdengar dengan jelas Kyai Humaidi berulang kali mengucap istighfar.
“Hamma, maafkan orang tua yang lalai ini, nak. Maafkan aku Hamma. Allah ya karim”
“Iya, Kyai. Tapi mengapa Kyai menangis mendengar mimpi saya?”
“Mahkota itu kuncinya, Hamma. Kau harus teteap mendapatkan mahkota itu meski tanpa tangan dan kaki. Demi Dzat yang di dalam tubuhku terdapat ruh-Nya. Aku siap membantu dan membersamaimu nak.”
Persis sebelum adzan shubuh berkumandang, mobil Kyai Humaidi sudah terpakir di depan kediaman Kyai Hasan. Kang Hadi yang membukakan gerbang dibuat tercengang setengah mati dengan kehadiran Hamma, terlebih ia di dampingi Kyai Humaidi. Kyai yang pernah ia jumpai di Blitar dahulu ketika menemani Kyai Hasan.
“Abah mana, Kang? Sudah pergi ke masjid kah? Aku mau sungkem dulu.”
Kang Hadi hanya bisa berdiri mematung, mulutnya seolah terkunci rapat. Paham dengan yang dialami Kang Hadi, Kyai Humaidi pun mengalihkan pertanyan Hamma dengan mengajak ke masjid sholat shubuh berjamaah.
Kenyatan begitu pahit itu menusuk jantung Hamma, terasa sesakit disuntik dibagian yang sama berulang-ulang kali. Bahkan tidak cukup satu jarum, puluhan, bahkan mungkin ratiusan. Langit biru mendadak terlihat hitam legam. Air mata itu terus menerus mengalir seperti memiliki sumber yang tidak akan pernah habis. Di depan Hamma, dengan tanah yang masih basah dan bunga yang masih tercium wangi, nama Kyai Hasan tertulis di salah satu nisan. Obrolannya dengan Abah dan Uminya diputar kembali. Ibunya pernah memberitau sebuah hadits. Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من قرأ القرآن وتعلَّم وعمل به أُلبس والداه يوم القيامة تاجاً من نور ضوؤه مثل ضوء الشمس ، ويكسى والداه حلتين لا تقوم لهما الدنيا فيقولان : بم كسينا هذا ؟ فيقال : بأخذ ولدكما القرآن
Siapa yang menghafal al-Quran, mengkajinya dan mengamalkannya, maka Allah akan memberikan mahkota bagi kedua orang tuanya dari cahaya yang terangnya seperti matahari. Dan kedua orang tuanya akan diberi dua pakaian yang tidak bisa dinilai dengan dunia. Kemudian kedua orang tuanya bertanya, “Mengapa saya sampai diberi pakaian semacam ini?” Lalu disampaikan kepadanya, “Disebabkan anakmu telah mengamalkan al-Quran.”
Hamma memberanikan diri membuka kotak kayu yang berada di dalam kamar abah dan uminya. Matanya berlinang mendapati sepasang mahkota putih di dalamnya. Tangisnya pecah diiringi hujan yang seolah memahami hatinya. Didekapnya dua mahkota itu dengan erat, seerat pelukan uminya dahulu ketika bercerita tengtang cita-citanta terbesar umi.