Presiden Joko Widodo telah mengungumkan dan melantik jajaran menteri yang tergabung dalam Kabinet Indonesia Maju. Dalam susunan kabinet periode ini, Presiden memberikan porsi yang banyak kepada kalangan profesional non parpol dibanding menteri yang berlatar belakang partai politik. Dari 34 kursi menteri yang ada, 18 kursi diisi oleh kalangan profesional non parpol, sedangkan 16 kursi diisi oleh sosok yang berlatar belakang parpol.
Pemberian kursi menteri yang lebih banyak diberikan kepada kalangan profesional dalam Kabinet Indonesia Maju, berhasil menarik respon positif publik. Keputusan ini, seakan-akan ingin memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa Presiden ingin memastikan visi misinya benar-benar terlaksana dengan cara menggait lebih banyak menteri profesional non parpol.
Namun, ada juga orang yang memberikan kritik terhadap susunan Kabinet Indonesia Maju. Salah satu kritikan yang cukup ramai adalah keputusan Presiden yang memasukan beberapa menteri yang berasal dari kubuh lawan politiknya. Dalam Kabinet Indonesia Maju, ada dua menteri yang berlatar belakang dari lawan politiknya, yakni Prabowo Subianto (Menhan) dan Edhy Prabowo (Menteri KKP) yang sama-sama berasal dari Partai Gerindra.
Dalam konteks politik, kaidah fiqh “maa laa yudraku kulluh, laa yutraku kulluh,” –jika tidak didapati seluruhnya, maka jangan tinggalkan seluruhnya- dapat berlaku bagi kalangan yang tidak menang. Inilah mungkin yang menjadi pertimbangan Gerindra. Kekalahan dalam pemilu kemarin, tidak harus membuatnya menyerah untuk menwujudkan visinya.
Kekecewaan dari keputusan di atas datang dari pendukung 01 dan pendukung 02. Salah satu alasan kekecewaan tersebut, selain karena hubungan emosional yang belum larut antara pendukung 01 dan 02 pasca perhelatan demokrasi, adalah ketakutan berkurangnya kalangan oposisi dalam pemerintahan periode ini. Sebab, dengan bergabungnya dua nama di atas, partai politik mereka pun harus ikut berkoalisi dalam kelompok Jokowi.
Sebenarnya, Indonesia sebagai negara penganut sistem presidensial tidak perlu takut kalau banyak parpol yang ikut bergabung dalam pemerintah. Sebab, negara yang menganut sistem presidensial sudah secara otomatis akan membentuk kelompok oposisi terhadap kinerja pemerintah. Kelompok oposisi tersebut ada pada lembaga legislatifnya.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), selaku dewan legislatif, memiliki tugas controllig, budgeting, dan legislation. Tiga tugas inilah yang harus dilakukan DPR dalam hal to check and balance sebagai tugas oposisi. Namun kadang ada anggota DPR yang masih memanfaatkan atau dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau salah satu kelompok saja.
Salah satu faktornya adalah keinginan rasa balas budi anggota DPR kepada partai politiknya. Keinginan inilah yang sering dimanfaatkan beberapa orang untuk mengikis idealisme DPR. Akhirnya, tugas pengontrolan tidak dilakukan secara maksimal, melakukan budgeting seenaknya saja, dan melegalkan kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Memang benar DPR harus diusung oleh partai politik. Namun ketika kader partai tersebut telahresmi terpilih sebagai anggota DPR,maka dia harus benar-benar memahami bahwa terpilihnya merupakan bentuk representative dari kepercayaan rakyat. Dia harus mengingat bahwa sumpah jabatannya atas nama perwakilan rakyat, bukan mengatasnamakan partai politik. Dengan kata lain, aspirasi-aspirasi yang didengar serta kebijakan-kebijakan yang dibuat harus berdasarkan pada kebutuhan rakyat.
Atas dasar itulah, beberapa orang masih kecewa kepada parpol yang memutuskan untuk bergabung karena takut proses pemantauan dan penyeimbang tidak akan berjalan dengan baik. Kegelisahan ini didasarkan oleh minimnya kepercayaan rakyat kepada DPR selaku oposisi dalam sistem presidensial. Untuk itu, mereka menginginkan ada oposisi tambahan selain dari kalangan DPR.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),kata oposisi diartikan sebagaipartai penentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa.Dari sini, penulis mendapatkan informasi bahwa oposisi tidak hanya dinobatkan untuk DPR,tetapi bisa juga kepada orang lain yang penting berani melakukan kritik.
Dalam Islam, oposisi dapat dipahami dengan konsep amar makruf dan nahi mungkar. Setiap orang menyerukan kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran. Dengan kata lain, dalam konteks politik, para oposan tetap mengatakan baik jika kebijakan pemerintah baik, dan berani menegur dan mencegah, jika kebijakan pemerintah buruk. Inilah oposisi loyal yang sebenarnya sebagaiamana yang diungkapkan Prof. Nurcholish Madjid.
Nabi Muhammad SAW memberikan tiga pilihan dalam beroposisi. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “barang siapa diantara kalian melihat kemungkarana, maka hendaklah ia mencegahnya dengan kekuatan tangannya; maka jika ia tidak sanggup, hendaklah ia mencegahnya dengan lisannya; dan jika ia tidak sanggup pula, maka hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.”
Tiga pilihan di atas berlaku secara urut. Pertama, pencegahan dengan tangan. Maksudnya, melakukan pencegahan dengan kekuasaan yang ada pada kita. Jika tidak mampu, maka dengan lisan. Pencegahan ini dapat dapat dilakukan secara langsung atau menggunakan media tulis. Jika tidak mampu juga, maka dengan hati. Inilah tahapan yang paling rendah, makanya disebut dengan keimanan yang paling rendah. Dengan hati, setidaknya kita membenci kemungkaran tersebut dan beritikad untuk menjauhkan diri darinya.
Berdasarkan argumen-argumen di atas, penulis memahami bahwa oposisi merupakan suatu keiscayaan. Keniscayaan oposisi tersebut terbagi menjadi dua bentuk, yakni oposisi sistematis dan oposisi etis. Oposisi sistematis merupakan bentuk oposisi yang lahir dari sistem pemerintahan tersebut. Contohnya, Indonesia yang menganut sistem presidensial, secara sistem telah membentuk oposisi yakni Dewan Perwakilan Rakyat.
Sedangkan oposisi etis merupakan bentuk oposisi yang tertanam pada setiap individu. Berdasarkan konsep amar makruf dan nahi mungkat di atas, siapapun dia, dari partai apa pun dia, jika dia melihat kemungkaran, maka individu tersebut harus berani mencegah kemungkaran tersebut, baik secara perbuatan, lisan, ataupun hanya dengan meyakini dalam hati.Wa Allah A’lam bi al-Shawaab.
*Artikel ini pernah dibuat di Koran Luwuk Post, Rabu (30/10/19)