Objektivikasi Agama untuk Kebijakan Publik

Baladena.ID

Oleh: Dr. Mohammad Nasih

Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Guru Utama di Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an Monash Institute Semarang

Agama yang suci adalah ajaran Tuhan. Kitab sucinya berisi tentang berbagai ketetapan (al-kitab) yang jika dilaksanakan secara konsisten akan mengantarkan kepada kehidupan yang baik, tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.

Islam misalnya, memandang bahwa dunia adalah ladang untuk akhirat. Maksudnya, amal di dunia ini akan menentukan hasil di akhirat. Jika amal yang baik dikerjakan di dunia ini, maka di akhirat nanti akan ada balasan yang lebih baik. Jika yang dikerjakan adalah yang buruk, maka akan ada balasan yang setimpal. Karena itu, untuk mendapatkan kehidupan yang baik di akhirat, jalan kebaikan di dunia ini harus ditapaki secara sabar dan istiqamah sampai akhir hayat.

Ketetapan-ketetapan yang ada di dalam al-Qur’an, ditunjau dari pelaksanaanya, terbagi menjadi dua, yaitu:

Pertama, privat atau pribadi. Yang dimaksud adalah ketetapan yang bisa dijalankan oleh setiap muslim di mana pun dan kapan pun, tanpa keterlibatan oleh pihak lain. Shalat dan puasa adalah di antaranya.

Kedua, publik. Ketetapan ini hanya bisa dilakukan apabila ada yang memiliki otoritas publik. Keperluan kepada otoritas publik itulah yang menyebabkan integralitas Islam juga meliputi urusan negara. Sebab, jika tanpa negara, maka akan ada ajaran-ajaran dalam Islam yang tidak bisa dilaksanakan, misalnya yang berkaitan dengan hukuman atas tindakan kriminal. Di antara contohnya adalah pencurian, perampokan, perzinaan, dan minum minuman keras. Sebab, tidak sembarang orang boleh menjatuhkan sanksi dan mengeksekusi sanksi tersebut atas orang lain. Termasuk ke dalam wilayah publik ini adalah keperluan untuk memberikan perlindungan umum.

Namun, dalam sebuah negara yang tidak menjadikan Islam sebagai dasar formal bangunannya, menjadikan ajaran Islam sebagai hukum formal politik kenegaraan bisa menimbulkan masalah. Apalagi jika ajaran agama yang satu bertentangan dengan ajaran agama lain.

Karena itu, diperlukan objektifikasi ajaran agama agar bisa diterima oleh semua kalangan sebagai sebuah gagasan yang memang bisa mengantarkan kepada kebaikan bersama. Sebuah gagasan yang hendak dijadikan sebagai kebijakan politik yang bersifat inklusif, harus dijadikan sebagai sebuah konsensus bersama karena dianggap kebutuhan hidup bagi semua warga negara.

Dalam kehidupan bernegara yang di dalamnya terdapat kebhinekaan SARA, bahasa ilmu pengetahuan (sains) yang murni objektif merupakan pilihan terbaik. Dengan bahasa ilmu pengetahuan yang bersifat positifistik, semua orang yang beragama apa pun relatif akan bisa menerima sebuah ide atau gagasan, terlebih apabila hal itu juga merupakan ajaran mereka. Dengan kata lain, jika pun yang memunculkan gagasan adalah pengambil kebijakan politik yang memeluk agama tertentu, tidak akan menimbulkan sentimen agama yang menyebabkan pemeluk agama lain menolak. Sebab, dasar argumennya adalah sains positif. Tentu akan lebih baik lagi jika sebuah gagasan kebijakan politik merupakan nilai bersama agama-agama yang diakui oleh negara dan karena itu terjadi dialog untuk membangun kesepakatan atau konsensus dalam ranah politik kenegaraan.

Sebagai contoh adalah pelarangan terhadap LGBT. Semua agama yang diakui negara di Indonesia memandang perilaku LGBT sebagai dosa besar. Perilaku ini dianggap sebuah kekejian dan termasuk ke dalam tindakan terburuk. Dan ternyata, perspektif tersebut selaras dengan hasil temuan saintifik bahwa perilaku LGBT bisa menyebabkan penyakit menular seks (PMS) yang sangat berbahaya. Berdasar ini, ajaran agama bisa tidak dimunculkan pada diskusrsus publik dalam rangka pembuatan kebijakan politik yang diproyeksikan untuk melarang tindakan LGBT. Bahaya dalam tinjauan medis bahkan bisa digunakan sebagai basis argumen untuk membatasi kebeasan yang berpotensi merusak diri sendiri dan juga orang lain.

Untuk membangun kebijakan politik dengan cara objektifikasi tersebut, diperlukan politisi yang cerdas, yang memiliki pemahaman konprehensif. Sebab, mereka di satu sisi harus memahami ajaran agama yang menjadi landasan moral dan etika mereka dalam bernegara, juga di sisi lain harus memiliki wawasan yang didasarkan kepada paradigma positifistik. Karena itu, partai politik harus secara serius melakukan rekrutmen politik yang memberikan ruang luas kepada mereka yang memiliki kualitas tersebut. Partai harus segera menghentikan model rekrutmen politik yang murni didasarkan kepada penguasaan kapital finansial. Kapital keilmuan adalah yang utama, jika pun harus disertakan hal yang lain sebagai prasyarat untuk memenangkan perebutan kekuasaan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *