Bulan Ramadan hampir memasuki kedatangannya dan disambut dengan penuh kegembiraan oleh umat muslim seluruh dunia, termasuk Indonesia, negara dengan penduduk mayoritas Islam terbanyak di dunia. Seiring dengan euforia tersebut, Ramadan dari tahun ke tahun kerap kali meninggalkan sebuah catatan penting, antisipasi lompatan harga berbagai macam kebutuhan, baik primer maupun sekunder.
Sesungguhnya, Ramadan adalah waktu umat muslim mengendalikan diri dan tentu saja mengerem nafsu konsumsi. Sebab, umat muslim tidak hanya dituntut untuk menjaga keinginan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari melakukan pemborosan uang untuk hal-hal yang kurang berguna. Namun, realita di lapangan berkata lain.
Pertemuan momentum religi dengan tradisi justru mendorong tingkat konsumtif masyarakat semakin tinggi. Saat permintaan akan barang jasa meningkat, respon pasar menjadikan harga-harga naik. Implikasinya, lebih banyak uang yang beredar dengan cepat sehingga nilai riil uang menurun. Kemerosotan pun tak terhindarkan.
Secara garis besar inflasi atau kemerosotan nilai mata uang mencerminkan kenaikan harga kebutuhan secara kontinu. Inflasi terdiri dari cost push inflation, karena kenaikan biaya produksi dan cost push inflation yang biasanya terjadi akibat kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, kebijakan pengurangan atau pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Kenaikan harga BBM membuat biaya produksi lebih banyak dan memicu harga kebutuhan. Kemudian, demand pull inflation, inflasi yang lebih condong dipicu karena terganggunya kestabilan harga di pasaran. Demand pull inflation terjadi ketika permintaan terhadap kebutuhan meningkat, namun penawaran tetap atau bahkan anjlok.
Harga-harga kemudian melejit. Inflasi selama Ramadan masuk dalam kategori ini. Meningkatnya permintaan barang dan jasa/kebutuhan yang dipicu tradisi konsumtif tingkat tinggi selama Ramadan merupakan bagian dari euforia “perayaan”. Tradisi konsumtif didorong tradisi aneka ragam takjil, baju baru, mudik dan berbagai tradisi lainnya.
Sikap ini sesuai dengan teori Kotler (1995) yang mengemukakan, perilaku pembelian konsumen dipengaruhi faktor-faktor budaya, sosial, pribadi, dan psikologis. Antusias masyarakat selama Ramadan mencakup empat hal yang disebutkan Kotler.
Data inflasi nasional Badan Pusat Statistik (BPS) tiga tahun terakhir, mengonfirmasi kebenaran pola tersebut. Pada Juni 2016, awal Ramadan, inflasi mencapai angka 0,66 persen. Kemudian meningkat menjadi 0,69 persen pada Juli 2016 persen, menjelang akhir Ramadan dan Idul Fitri
Pada 2017, menjelang puasa Ramadan. inflasi nasional bulan Mei 2017 menyentuh angka 0,39 persen dan meningkat menjadi 0,69 persen sepanjang Juni 2017. Pada 2018, inflasi justru lebih terkendali dari tahun-tahun sebelumnya. Bulan Mei 2018, awal Ramadan, inflasi nasional tercatat sebesar hanya mencapai 0,21 persen. Akan tetapi, kemudian meningkat menjadi 0,59 pada bulan Juni 2018.
Bisa dilihat, inflasi pada 2018, sumbangan terbesar berasal dari kelompok bahan makanan sebesar 0,19 persen dan kelompok transportasi, sedangkan komunikasi dan jasa keuangan sebesar 0,26 persen. Dua kelompok pengeluaran itu meningkat paling tinggi selama bulan Ramadan.
Inflasi bahan pokok dan jasa transportasi menjadi masalah yang kerap menghantui masyarakat. Meskipun harga kedua kebutuhan tersebut melejit tinggi, masyarakat tidak punya pilihan lain kecuali membelinya. Menekan inflasi selama bulan Ramadan tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Secara teori, inflasi tidak dapat dihilangkan atau dihindari, karena justru akan mengganggu tumbuh kembang suatu negara, terutama pada sektor ekonomi. Hanya beberapa pihak tentu saja akan mengalami keuntungan dengan adanya gejolak permintaan kebutuhan. Namun, inflasi yang terlalu tinggi dan melebihi batas akan menjadi beban yang berat bagi golongan berpendapatan tetap menengah ke bawah.
Pemerintah memiliki peran sangat penting untuk tetap menstabilkan harga, agar inflasi tetap terkendali selama Ramadan. Beberapa langkah yang perlu dilakukan yaitu, menjamin ketersediaan pasokan barang kebutuhan pokok secara merata di setiap daerah di Indonesia. Selama Ramadan, melonjaknya permintaan barang dan jasa/kebutuhan terus meningkat. Pasokan barang dan jasa harus terus dipantau agar tetap stabil dan bisa mengimbangi permintaan pasar.
Hal ini termasuk upaya mencegah terjadinya penimbun barang oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Di beberapa wilayah, kurangnya persediaan kebutuhan, terutama bahan pokok seperti bawang, brambang dan telur ayam sering kali terjadi selama bulan Ramadan.
Fungsi pengontrolan oleh pemerintah terhadap ketersediaan kebutuhan masyarakat sangat penting. Saat jumlah persediaan barang dan jasa di pasar stabil, kenaikan harga pun mudah diatasi. Kemudian, memastikan pendistribusian barang ke masyarakat tidak terhambat selama bulan Ramadan.
Saat Ramadan, terutama menjelang Idul Fitri ketersediaan transportasi seringkali menjadi masalah. Hal ini menghambat proses pendistribusian barang. Oleh karena itu, dengan menjamin tersedianya infrastruktur yang cukup, akses transportasi mudah dan memastikan tradisi mudik selama Ramadan tidak menjadikan kelangkaan ketersediaan barang. Semua itu diharapkan bisa mengurangi lonjakan harga barang dan jasa/kebutuhan.
Di samping itu, sebagai salah satu sarana mempermudah mudik, transportasi perlu dijaga kestabilan tarifnya. Bukan rahasia lagi, harga tiket cenderung mengalami kenaikan, baik angkutan udara, laut, maupun darat sehingga memicu masyarakat memesan jauh-jauh hari.
Selain beberapa upaya yang dilakukan pemerintah, masyarakat juga bisa mengambil bagian untuk ikut berkontribusi dalam menekan tingkat inflasi selama bulan puasa dengan mengembalikan fitrah bulan Ramadan sebagai bulan pengendalian diri. Salah satunya dengan mengurangi tingkat konsumtif yang berlebih.
Memperbanyak sedekah, berbagi terhadap sesama, dan mengutamakan kesederhanaan adalah sikap dalam memaknai bulan puasa. Beberapa upaya ini diharapkan dapat meminimalisir inflasi yang cukup tinggi, agar Ramadan tidak hanya berdampak kepada spiritualitas umat Islam, tetapi juga kemaslahatan Indonesia sebagai negara-bangsa. Aamiin.
Oleh: Ahmad Muntaha, Direktur Jenderal Indonesian Youth Development Committee (IYDC), Peneliti di Abana Institute Jakarta.