Menjadi Kerang Mutiara

Baladena.ID

Sebuah kehormatan bagi saya ketika diberikan kesempatan untuk menuliskan bagaimana perjalanan diri saya selama lebih dari setahun berada di Monash Institute Semarang (MIS). Apa kesan yang saya dapatkan dan perubahan apa yang terjadi pada diri saya. Untuk menuliskan hal itu, tentu saya harus mengingat kembali masa susah-senang di MIS, mulai awal saya masuk sampai yang terjadi hari ini. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sedikit banyak saya telah mengalami perkembangan yang—menurut saya—bisa dikatakan akseleratif, jika dibandingkan dengan teman-teman se-umuran atau se-angkatan saya di luar MIS. Banyak hal yang saya dapatkan selama kurang dari dua tahun ini.

Perkembangan yang paling sederhana dan mendasar pada diri saya adalah perubahan mental (baca: paradigma). Saya masih ingat betul saat pertama kali menginjakkan kaki di markas besar Monash Institute Semarang, (dulu namanya Yayasan Bina Insani). Maklum, saya adalah bocah kampung yang bapak dan ibu saya berprofesi sebagai seorang petani. Bukan bermaksud meremehkan petani atau memandang rendah mereka, tetapi yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana kebanyakan mereka masih berpikiran bahwa kuliah adalah sebuah hal yang sulit dan berat. Hal itu juga yang sepertinya terjadi pada kedua orang tua saya. Bahkan, ketika saya akan masuk SMA Negeri 1 Sulang dulu, paradigma yang ada adalah sama, yaitu menganggap bahwa sekolah itu mahal.

Namun, kedua orang tua saya sebenarnya sangat menginginkan agar anak-anaknya bisa sekolah yang tinggi dan kelak bisa hidup bahagia. Bahkan saya masing ingat persis kata-kata yang diucapkan oleh kedua orang tua saya, “Sekolah seng duwur, Cung. Mengko ben dadi wong” (Sekolah yang tinggi, Nak. Nanti biar jadi orang). Keinginan orang tua saya untuk menyekolahkan saya sampai ke perguruan tinggi semakin tajam diucapkan, pada saat saya terbaring di rumah sakit.

Waktu itu, oleh dokter, saya dinyatakan menderita sindrom nefrotik, sebuah penyakit yang belum jelas obatnya. Penyakit yang pernah mendekatkan jiwa raga saya pada kemaian. Entah ucapan orang tua saya pada saat itu sungguh-sungguh atau wujud prustasi terhadap penyakit saya, sehingga mereka sering berkata, “Nanti kalau kamu sudah sembuh, pingin sekolah di mana saja akan bapak turuti, Cung.” Meski dalam keadaan setengah sadar, mungkin pertanyaan itu salah satu yang menyebabkan saya memiliki spirit baru untuk hidup, dan tentu saja karena karunia Allah Swt. yang luar biasa. Itulah salah satu pengalaman hidup saya, yang bisa jadi, merupakan ujian yang harus saya dan keluarga saya hadapi ketika itu. Dari situ saya belajar, cara berpikir sangat menentukan masa depan akan dilalui.

Ya, dengan kehendak Allah, saya pun sembuh. Bocah SMA yang tadinya tidak memiliki niatan yang besar untuk kuliah, berubah 180 derajat menjadi pemuda punya keinginan kuat untuk kuliah. Namun, sejenak dalam benak saya saat itu muncul pikiran bahwa saya telah banyak menghabiskan uang untuk perawatan saya di rumah sakit, apakah saya juga harus memaksa orang tua saya untuk menyekolahkan saya di perguruan tinggi. Keinginan dan harapan itu pun hampir saja dikalahkan oleh perasaan takut; ketika dihadapkan dengan biaya kuliah yang (menurut kami, pada waktu itu) sangat mahal.

Saya pun mengalami masa-masa yang dilematis pada saat itu. Masa-masa ketika saya dihadapkan pada dua pilihan yang sulit; apakah saya harus kuliah dengan keadaan yang tidak mendukung, atau saya harus menanggalkan keinginan itu dan kembali ke Pondok Pesantren Al-Barkah Sulang untuk menjadi Lurah Pondok (saat itu saya merasa telah dipersiapkan oleh Abah saya, KH. Munawar Said untuk menjadi Lurah, meski juga ada kemungkinan pikiran itu salah, dan saya tentu yang terlalu ke-PD-an). Saya masih sangat ingat ketika Abah saya berkata: “Kuwe iki sing tak jagok-jagokke kok.” Sungguh saya dalam masa bimbang lagi bingung.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, berbekal do’a dan serangkaian ikhtiar yang telah saya lakukan, (singkat cerita) saya pun akhirnya bertemu dengan Dr. Mohammad Nasih, yang ketika itu beliau bersama dengan Mukharom, M.H, di rumahnya di Desa Mlagen, Pamotan, Rembang. Pak Nasih, begitu akhirnya saya memanggilnya, dikenal sebagai seorang pemuda muslim yang sangat peduli terhadap perkaderan generasi muda.

Pertemuan itulah yang membuat saya seperti mendapat pencerahan yang luar biasa. Berbagai argumentasi yang diberikan Pak Nasih dan Pak Mukharom kepada saya waktu itu benar-benar membuat diri saya bergejolak, sehingga saya mengalami perubahan cara berpikir yang signifikan. Salah satu poin yang masih sangat membekas adalah perkataan “Kuliah itu gampang. Tidak mahal”.

Bocah kampung yang tadinya takut berpikir untuk kuliah, waktu itu pun mengalami titik balik, menjadi anak yang sangat berharap agar bisa segara masuk kuliah. Sebelumnya, saya dikenalkan kepada Pak Nasih oleh kerabat saya yang juga merupakan teman Pak Nasih saat masih di Pesantren Annur dan MAN Lasem, yaitu Kak Kholil.

Sepertinya memang telah menjadi suratan hidup saya bahwa Pak Nasih adalah orang yang dikirim oleh Tuhan untuk menyadarkan dan menunjukkan saya pada jalan hidup yang dikehendaki-Nya. Singkat cerita, tibalah saya di AMPI (Asrama Mahasiswa Pemuda Islam), yang sekarang disebut Monash Institute. Tadinya tidak ada informasi bahwa akan ada tes beasiswa. Setahu saya, nanti akan dikuliahkan dan dikasih modal untuk usaha, agar bisa membiayai kuliah sendiri.

Ternyata pikiran saya salah. Saya diminta untuk mengikuti tes seleksi beasiswa Monash Institute (dulu bernama Beasiswa YBI, Yayasan Bina Insani). Setelah seharian mengikuti tes di Semarang, saya pun pulang dengan perasaan yang tidak menentu. Di satu sisi, saya berharap bisa diterima agar bisa kuliah di IAIN (sekarang UIN) Walisongo Semarang, tetapi di sisi lain saya minder dan berpikir bahwa kualitas saya jauh dibandingkan dengan peserta tes yang lain.

Namun, perasaan yang berkecamuk itu akhirnya terobati, setelah pada malam hari saya mendapatkan SMS dari Pak Nasih yang berisi bahwa saya diterima di Monash institute. Perasaan takutpun mengiringi langkah saya untuk kembali ke Semarang untuk bertemu dengan teman-teman yang kualitasnya di atas rata-rata. Hal itu terbukti. Saya merasa minder dan takut ketika mengikuti kelas pertama kali. Perubahan mental dalam diri saya sepertinya memang belum benar-benar sempurna. Semalaman saya tidak bisa tidur memikirkan masa depan saya di Monash Institute. Hingga pada akhirnya, muncul sebuah keputusan yang, menurut saya, sangat tidak masuk akal.

Waktu itu saya memutuskan ingin kembali ke kampung dan tidak menerima beasiswa yang akan saya dapatkan. Dengan kata lain, saya ingin mengundurkan diri dari proram beasiswa tersebut. Saya merasa tidak pantas mendapatkan fasilitas itu. Masih banyak teman-teman di luar yang memang kualitasnya lebih baik dari saya. Namun, sepertinya, keputusan saya itu tidak dikehendaki oleh Tuhan.

Ketika hendak berpamitan pulang ke kampung, saya dipengaruhi dan “ditahan” oleh Direktur Monash Institute Ustadz Muhammad Abu Nadlir dan mentor-mentor lain; Ustadz Misbahul Ulum, Ustadz Mansur Syarifudin, Ustadz Faedurrahman, dan Ustadz Attabik Imam Zuhdi. Saya diingatkan bahwa tidak semua orang memiliki kesempatan emas seperti yang saya dapatkan, dan belum tentu pula kesempatan semacam itu datang untuk kedua kalinya kepada saya. Dengan berat hati, waktu itu, saya “terpaksa” bertahan di MIS dan saya niatkan untuk benar-benar belajar, menempa diri untuk meningkatkan kualitas diri demi masa depan yang lebih indah.

Ada satu kejadian yang mengagetkan saya, yang belakangan terasa (sangat) lucu. Di akhir kegalauan atas keberadaan saya di Monash Institute yang baru terselesaikan pagi itu, entah disebabkan oleh apa, sebagian besar teman-teman saya justru pamit pulang. Alasan yang disampaikan oleh mereka pada saat itu adalah mengambil ijazah di sekolah sebagai syarat mendaftar di IAIN Walisongo Semarang. Dari 20 santri, yang tersisa hanya 7 orang; 5 laki-laki dan 2 perempuan. Saya sebut mengagetkan, karena yang tadinya berencana pulang pada hari itu adalah saya, tetapi yang pulang justru12 teman saya. Satu disciple lagi ada di rumah Pak Nasih (Hayyoooo siapa dia, tebak? He).

Selidik punya selidik, alasan sebenarnya mereka pulang ternyata terkait dengan isu NII (Negara Islam Indonesia), bukan karena mengambil ijazah sebagaimana yang disampaikan kepada mentor pada saat itu. Kepastian ini saya dapatkan saat ada beberapa teman mengirim pesan SMS ke saya, yang isi pesannya memberitahu bahwa beasiswa YBI ini terkait NII. Sontak saja, itu membuat saya tambah kaget. Kekagetan ini membuat saya terlihat panik dan membuat para mentor dan teman-teman menganggap saya takut, bahkan ada yang bilang “menangis”. Padahal, di sinilah saya kepekaan terhadap realitas sosial mulai tumbuh. Di saat yang lain bersikap santai, karena tidak tahu menahu atau tidak mau tahu, saya menunjukkan sikap yang berbeda.

Saya masih ingat, seorang teman laki-laki dari Rembang, sebut saja KNK, tiba-tiba menelepon saya dan bertanya : “Kamu masih di situ, Broo? Kamu belum tahu kalau di situ NII?” Juga SMS seorang teman perempuan dari Banjarnegara yang menjelaskan tentang NII kepada saya: “NII itu menghalalkan segala cara, bahkan menghalakan darah. Bahkan mereka menyuruh untuk membohongi orang tua, demi meng-goal-kan tujuan.” Demikian di antara pesan yang masuk, dan masih banyak lagi. Pesan-pesan itu saya sampaikan ke para mentor dan di situlah ketahuan bahwa alasan teman-teman pulang itu bukan karena mengambil ijazah, tapi karena isu NII.

Mendapati kabar itu, salah seorang mentor menelepon Pak Nasih, melaporkan soal kondisi terkini perihal kejadian tersebut. Para mentor juga tampak panik atas kejadian itu, sehingga Pak Nasih memberikan jawaban yang menenangkan mereka: “Biarin saja dulu. Mereka kan orang kampung. Jadi biasa saja. Nanti juga akan kembali kalau sudah sadar dan paham.” Jawaban itu lantas membuat para mentor tenang, tetapi dengan tetap berupaya menghubungi satu persatu disciples yang pulang untuk dijelaskan yang sebenarnya. Belakangan diketahui, ada kesalahpahaman yang memang disebabkan oleh ketidakmampuan menangkap pesan secara cerdas. Ada tulisan “Posko Pengaduan Korban NII” di depan salah satu sekretariat oragnisasi kemahasiswaan, yang memang dijadikan sebagai salah satu tempat tes masuk Beasiswa YBI. *Kampungan*. He. Lucu, kan?

Saya termasuk orang yang lama beradaptasi dengan lingkungan baru. Hal itulah juga yang terjadi pada diri saya ketika berinteraksi dengan kawan-kawan dan para mentor di MIS. Baru sekitar lima bulanan, saya merasa nyaman tinggal di Monash Institiute. Selama hampir satu semester itu, saya merasakan perkembangan yang cukup signifikan pada diri saya. Saya adalah orang yang tidak suka berbicara di depan umum, sehingga saya selalu ndredek-grogi saat melakukannya.

Namun, di Monash Institute, para disciple (sebutan untuk santri di MI) dibiasakan untuk berbicara di depan banyak orang. Salah satu agenda yang melatih hal itu adalah khutbah dan diskusi. Mau tidak mau, saya harus memaksa diri saya untuk latihan berbicara, agar tidak malu-maluin ketika berbicara di depan publik. Di sinilah, saya mengalami perkembangan yang, menurut saya, luar biasa.

Kebiasaan berdiskusi dan berbicara saat latihan khutbah di Monash Institute, sangat membantu saya dalam perkuliahan. Hasilnya pun mengejutkan. Indeks Prestasi (IP) semester pertama saya (3.87) tertinggi dibanding teman-teman saya di Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Kepercayaan diri saya terhadap Monash Institute—bahwa tempat itulah yang memang akan membawa saya pada perubahan yang sempurna—semakin tinggi. Dan hal itu berlanjut sampai sekarang. Semoga hal demikian, berlanjut sampai akhir hayat. Insyaa’a Allah.

Saya mencatat ada hal, yang menurut saya, luar biasa di awal semester dua dulu. Sekolah jurnalistik yang diprogramkan Monash Institute semenjak awal masuk, berbuah hasil. Tulisan saya, untuk kali pertama dimuat di Koran Wawasan. “Mendambakan Pemimpin Asketis” oleh: Mokhamad Abdul Aziz, itulah judul artikel diikuti nama salah satu disciple Monash Institute yang pertama kali muncul di koran langganan Monash Institute  tersebut. Tidak bermaksud sombong ataupun riya’, tetapi perasaan senang, bahagia, dan bangga dalam diri saya pun tidak bisa disembunyikan kala itu. Sebelumnya, memang ada teman-teman yang tulisannya sudah masuk di media massa sejak semester pertama, tetapi di Harian Pelita, Jakarta. Semua itu adalah buah dari sistem yang diterapkan di MIS; bahwa setiap satu minggu dua kali; Selasa dan Jum’at, setiap disciples diwajibkan mengirim latihan menulisnya ke email Pak Nasih dan para mentor.

Pada awalnya, saya menganggap bahwa menulis itu sebagai sesuatu yang sulit dan hanya orang yang berbakat saja yang mampu melakukannya. Namun, sebagaimana yang selalu ditegaskan oleh Pak Nasih bahwa menulis hanya satu kuncinya, “melakukan”. Jika sudah dilakukan dan menjadi kebiasaan, maka menulis menjadi tidak sulit lagi, sebagaimana yang tidak saya membayangkan dulu.

Dengan sistem pembiasan tersebut, setiap minggu saya bisa menulis tiga sampai lima artikel. Dan hasilnya bisa dibilang luar biasa. Sebab, semakin banyak menulis—ditambah dengan mengamalkan ajaran shodaqoh—maka peluang untuk dimuat di media massa akan semakin besar. Begitupun dengan saya, setiap bulan minimal ada minimal empat tulisan saya yang dimuat di media massa, baik yang cetak maupun online. Dan tentu saja, saya menjadi mahasiswa berpenghasilan cukup, dengan berbekal honorarium yang diberikan oleh media cetak dan reward dari kampus.

Beberapa tulisan saya pun telah dimuat di media cetak lokal, semisal Koran Wawasan, Solopos, Harian Jogja, Harian Pelita, dan Suara Merdeka. Sedangkan, Koran Sindo, Sinar Harapan, Harian Republika, Harian Nasional, dan Jurnal Nasional adalah media cetak nasional yang pernah memuat tulisan saya. Bahkan, di luar jawa banyak media yang bisa dijadikan ladang untuk latihan menulis. Saya pun memanfaatkan media-media itu untuk lebih mengasah kemampuan menulis saya. Ada banyak media di luar jawa yang telah saya jelajahi. Sebut saja, Kendari Pos, Tribun Timur, Radar Bangka, Harian Sumut Pos, Radar Lampung, Harian Haluan, Haluan Riau, dan Metro Siantar.

Media online, seperti Okezone, Wawasanews, Harapan Islam, Rimanews, Koridor Timur juga tak luput dari perhatian saya. Sekali lagi, untuk latihan menulis. Jika dulu saya menulis hanya untuk latihan, maka sekarang, selain untuk latihan, saya gunakan sebagai metode saya dalam berdakwah (dakwah bi al-qalam), sebagai bentuk aplikasi ilmu di fakultas yang saya pilih, yaitu Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Oleh sebab itu, saya menganggap bahwa menulis memang kewajiban mahasiswa dan bisa dijadikan media yang efektif dan efisien untuk berdakwah, menyampaikan nilai-nilai Islam yang diajarkan Nabi Muhammad Saw.

Selain di bidang jurnalistik, saya juga mengalami perkembangan dalam membaca kitab gundul, khusunya tafsir. Sistem yang “memaksa” para disceples agar serius belajar kita kuning, sedikit banyak telah terbukti hasilnya, meskipun perkembangan saya pribadi tidak begitu signifikan. Penyebab mengapa saya belum bisa secara maksimal dalam membaca kitab kuning (baca: tafsir) adalah saya belum hafal al-Qur’an. Sebab, ketika membaca tafsir, ada ayat-ayat yang memang saling berhubungan dan berkaitan antarsatu ayat dengan lainnya dengan tempat yang berbeda (baca: interkoneksi ayat), sehingga sering tidak paham.

Entah apa yang menjadi penyebab kenapa saya tidak menghafalkan al-Qur’an sejak awal di Monash Institute. Namun yang jelas, yang ada kini hanyalah penyesalan yang tiada berguna. Penyesalan yang harus dibayar mahal. Namun, usaha untuk terus mengejar ketertinggalan itu, harus terus dilakukan. Meski saya paham bahwa semua itu tidaklah mudah. Oleh sebab itu, saya harus siap “besakit-sakitan” dan “memaksa” diri saya untuk terus belajar, belajar, dan belajar.

Sebagaimana yang pernah disampaikan Pak Nasih kepada para disciples, bahwa untuk menjadi kerang mutiara tidaklah mudah. Kerang yang menghasilkan mutiara, yang harganya sangat mahal, harus rela menangis dan menahan sakit karena adanya irritant yang masuk ke dalam mantel kerang mutiara. Bahasa sederhananya, masuknya pasir ke dalam cangkang kerang.

Tentu nilainya akan sangat berbeda, jika dibandingkan dengan kerang biasa. Kerang yang menghasilkan mutiara akan dihargai lebih mahal, dan bahkan mutiaranya mempunyai nilai jual yang sangat fantastis. Itulah gambaran bagaimana jika seseorang ingin mempunyai nilai lebih, dibandingkan dengan kebanyakan orang. Filosofi kerang mutiara inilah yang kemudian menjadi prinsip para disciples untuk senantiasa serius dan semangat dalam belajar.

Perkembangan lain yang menurut saya penting adalah bagaimana perubahan pemahaman dan pemikiran saya terhadap Islam. Tentu banyak yang berbeda pemahaman-pemahaman mengenai Islam, antara sebelum dan setelah masuk di MI. Setidaknya, saya memahami bahwa Islam yang benar bukan hanya Nahdlatul Ulama’ (NU), ormas Islam terbesar di Indonesia. Sebab, saya adalah termasuk orang yang sangat fanatik terhadap NU sebelum masuk di Monash Institute, terlebih ketika saya masih berada di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Barkah Sulang, Rembang. Namun, sekarang telah berubah. Islam itu sangat besar dan luas. Dan semua itu terasa lengkap ketika saya masuk dan aktif di Himpunan Mahasiswa Islam, organisasi mahasiswa tertua di Indonesa yang masih bertahan hingga kini.

Itulah sedikit gambaran perjalanan dan perkembangan saya selama berada di Monash Institute tercinta. Tentu saja masih ada banyak hal yang belum saya tuliskan di sini. Namun yang pasti, setiap individu mempunyai pengalaman dan perkembangan yang berbeba-beda selama belajar di MIS. Monash Institute adalah bagian dari hidup saya. Saya akan melakukan yang terbaik untuk perkembangan MI ke depan. Semoga dengan tulisan ini, ada hal yang bisa diambil oleh pembaca, untuk menjadi insan yang lebih baik lagi. Aamiin.

Ditulis pada 16 Desember 2012. Ketika itu, semua disciples menulis tentang pengalaman dan kesan masing-masing selama satu tahun.

Respon (13)

    1. Ma Syaa’a Allah, cerita yang sangat memotivasi. Bukan soal uang, tp cara berpikir benarlah yang akan membuat seseorang berjaya. Barakallahu lakum, Pak Aziz.

  1. Cerita yang sangat memotivasi, bukan soal uang, tp cara berpikir benarlah yang akan membuat seseorang berjaya. Ma syaa’a Allah, barakallahu lakum, Pak Aziz.

  2. Alhamdulillah, cerita yang memotivasi anak-anak kampung macam saya ini. Tak semua anak kampung itu kampungan. Kita bisa maju, asal ada mau dan usaha yg menggebu-gebu. Keren kakak. Maju terus. Jangan sampai lupa asalmu saat makin sukses nanti.🐲

  3. Waaah saya sangat speechless bacanya. Selesai baca tulisan tsb, saya jadi terdiam, termenung & terenyuh. Krna saya pernah ada di titik keraguan tsb; lanjut kuliah/tidak. Dan kisah Bapak sangat memotivasi & menginspirasi. Belajar terus, cari peluang, bila ada kesempatan, lakukan yg terbaik. Selalu ada energi positif yg bisa diserap dari tulisan Bapak. Jazakumullahkhair^_^

  4. Keberuntungannya dalam berhasil untuk kuliah menambah motivasi saya dalam meraih suatu tujuan, dan mungkin keadaannya bisa dibilang hampir sama walau beda cerita,

  5. Terima kasih, sungguh menginspirasi bg saya melihat bagaimana kondisi Abang tidak jauh berbeda dg saya yg seorang tunagrahita.

  6. Terimakasih banyak pak tulisan bapak sangat mengisnpirasi. Saya membacanya seketika langsung teringat kedua orang tua saya yang susah payah membiayai semua kebutuhan saya.
    Kisah bapak sangat menginspirasi saya .disini saya merasa sangat beruntung sekolah masih di biayai orang tua dan kebutuhan saya terpenuhi walaupun tidak semua. Dari sini saya sadar bahwa kebutuhan belajar itu sangat sangat penting, tulisan bapak sangat berpengaruh bagi saya.
    Semangat nulis pak. Karya bapak banyak memotivasi orang⚘

  7. Terimakasih atas tulisannya pak… Saya gak tau komentar apa disini… Karena tulisan bapak hampir mirip sekali sama kehidupan saya… Tapi saya belum bisa seperti bapak… Saya ingin hidup di dunia literasi lagi, tapi bingung mulai darimana… Karena saya ini orangnya sangat terpengaruh sama lingkungan… Lingkungan yang baru ini jarang sekali orang yang membaca, jadi saya juga ikut… Bolehkah bapak bisa memotivasi saya biar bisa hidup di dunia literasi lagi pak? Biar bisa kembali membuat puisi puisi dan cerita yang bagus…

  8. Terimakasih atas motivasi dalam meraih kesuksesan pak. Saya bingung mau komentar apa… Karena saya terharu, dan introspeksi diri. Gimana keadaan saya sekarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *