Semula, saya tidak pernah membayangkan sampai saat ini masih setia menekuni dunia tulis menulis. Dunia yang menurut saya sangat menarik dan menyenangkan. Bukan sekadar menyangkut mengenai passion yang menggairahkan.
Lebih dari itu, menulis bagi saya semacam sebuah cara untuk memaknai hidup. Memang, sewaktu-waktu, menulis telah menjadi pembuka keran penghasilan, meskipun tak menentu. Memang, menulis kadang menjanjikan keterkenalan dan status sosial sebagai intelektual misalnya. Tapi, semuanya itu sifatnya temporal yang sewaktu-waktu bisa hilang atau sirna.
Begitu pun dengan pengaruh dan kemasyhuran, juga sama sekali tidak akan kekal. Ditambah lagi, usia hidup saya sangat terbatas. Sebab itulah, saya pribadi mesti mencari dan menggali lagi tujuan sejati saya dalam menulis. Salah satunya yaitu ingin menebarkan kebermanfaatan bagi sesama dan menjadi prbadi yang membawa kemaslahatan bagi agama, nusa, dan bangsa.
Motivasi menulis yang sifatnya melampui sesuatu yang nisbi itu jauh lebih sejati. Menulis untuk mengikat ilmu dan mengamalkan ilmu memberi energi yang cukup besar dalam hidup saya. Hal itu melampui motif yang sifanya terbatas seperti halnya materi dan popularitas. Sebenarnya, banyak hal yang bisa saya peroleh dengan menekuni dunia tulis menulis. Dalam tulisan ini saya coba menjabarkan dua faedah saja. Pertama, menulis adalah sarana untuk mengikat ilmu. Maksudnya bagiamana?
Baiklah, pelan-pelan saya coba menjelaskan dan menguraikan segambalang mungkin berdasarkan pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman saya selama ini. Menulis sebagai cara yang ampuh untuk mengikat ilmu mengadung artian bahwa ketika kita menulis berarti kita sedang berupaya untuk menumpahkan segala hal, khususnya ilmu dan pengetahuan yang pernah kita dapatkan di bangku sekolah, kuliah, madrasah, pesantren, lembaga kursus, atau beragam ilmu lainnya yang kita dapatkan di luar ruang kelas.
Seperti halnya ilmu yang kita peroleh dari percakapan dengan juru parkir di pasar, dikusi dengan tetatangga, ngobrol santai dengan paman kita, dan semacamnya. Lebih-lebih di era digital sekarang, akses ilmu semakin luas dan dibuka lebar. Lewat kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, kita bisa menjelejahi samudera ilmu dan pengetahuan di internet. Bisa membuka gudang ilmu lewat ebook, Youtube, website, dan semacamnya.
Lalu, semua yang ilmu yang kita serap tersebut, kita bisa menuangkan kembali lewat berbagai bentuk catatan fiksi ataupun non-fiksi. Lebih jelasnya lagi kita bisa melatih dan menguji daya ingat kita dengan mencatatkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam bentuk esai, opini, cerpen, dan semacamnya.
Tentu saja, menulis dalam hal ini ibarat kita sedang menjelajahi alam pikiran kita sendiri dan berusaha untuk menuangkan dalam sebuah karya. Dan percayalah, menuliskan ilmu yang pernah kita pelajari membuat kita terhindar dari penyakit pikun, mempertajam logika dan daya analisis, melatih kemampuan berpikir kritis, dan mengembangkan kemampuan dalam memecahkan persoalan.
Apalagi, ilmu sendiri ibarat binatang buruan. Jika kita tidak segera mengikatnya, cepat atau lambat, binatang buruan kita bisa lepas. Sangat gesit dan licin seperti halnya belut. Jika tidak segera diamankan dalam sebuah wadah bernama catatan, kita akan menyesal telah menyia-nyiakannya. Apalagi, sekarang pikiran manusia gampang sekali kehilangan fokus. Mudah terdistraksi. Sebab itulah, menulis juga membantu kita dalam melatih fokus. Sebab itu, jangan sampai ilmu-ilmu yang telah kita dapatkan itu sirna begitu saja tanpa dituliskan.
Apalagi dengan rajin menuliskan ilmu-ilmu yang kita peroleh, nantinya bisa menjadi warisan berharga untuk anak cucu kita. Warisan yang nilainya melebihi dari harga tanah, rumah, emas, dan pernak-pernik dunia lainnya. Sebab, kedudukan ilmu sendiri tidak bisa dibandingkan dengan materi yang sifatnya nisbi.
Kemudian, yang kedua, menulis juga menjadi sarana bagi kita untuk mengabadikan setiap momentum dalam hidup. Setiap dari kita pasti mengalami beragam peristiwa dan ssiklus hidup. Mulai dari masa bayi, anak-anak, remaja, dewasa, tua, hingga maut menjemput, pasti mengalami fase-fase mencari ilmu (sekolah/kuliah/mondok), menikah, bekerja, mengurus keluarga, dan semacamnya.
Dalam perjalanan hidup itu, beragam peristiwa penting bisa kita abdikan dalam tulisan. Semisal, ketika pertama kali menginjakkan kaki di dunia kampus, ketika aktif berorganisasi, ketika menikahi pujaan hati, ketika mendapatkan pekerjaan yang diidam-idamkan, dan semacamnya.
Pastinya, dalam mengarungi bahtera hidup itu, tidak selalu mulus dan mengemberikan. Ada saat-saat emosi kita begitu berdebar-debar sebab kecewa dengan seseorang. Atau kita pernah atau seringkali dalam suatu kondisi di mana batin kita terkoyak-koyak, terombang-ambing, dan penuh gemuruh sebab kita diasingkan, dikucilkan, atau tidak diangap oleh orang-orang di sekitar kita.
Atau semisal ketika cinta kita bertepuk sebelah tangan, dikhianati sahabat sendiri, dimusuhi tetangga, dan semacamnya. Senang, sedih, putus asa, kecewa, dan beragam gejolak emosi lainnya itu bisa kita abadikan dalam tulisan-tulisan kita di jurnal harian misalnya.
Tentu, selain sebagai penetralisir gejolak emosi negatif, menulis bisa membangun spirit optimisme dalam hidup kita. Kita bisa menjadikan dan mengubah tragedi menjadi komedi. Lewat tulisan, kita bisa menetawakan diri sendiri. Hal itu juga menjadikan kita lebih bijaksana dalam memandang dan menajalani hidup yang sangat singkat ini.
Menuliskan berbagai kejadian dan peristiwa penting dalam hidup, bisa memperkuat mentalitas kita. Dalam hal ini, kita bisa belajar dari kesalahan dan kekhilafan di masa silam. Dengan mengabdikan jejak hidup dalam tulisan, juga menjadikan kita lebih legowo dan ikhlas dalam menerima kenyataan yang sering tak sesuai harapan.
Beragam momentum yang telah diabdikan dalam sebuah tulisan juga menjadi warisan pengalaman hidup kepada anak cucu kita kelak, atau setidaknya bagi kita sendiri. Sebab sewaktu-waktu kita bisa membuka lembaran demi lembaran itu dan bernostalgia atas apa yang telah dilalui di masa lalu. Tidak hanya itu, kita bisa memetik hikmah dari pengalaman hidup yang kita baca dari catatatan kita sendiri.
Dalam hal ini, menulis adalah cara memotret dan merekam momentum untuk dibaca atau dipelajari ulang nantinya. Besar harapan, kita bisa semakin arif dalam hidup ini. Setidaknya, dengan menuliskan beragam peristiwa atau kejadian dalam hidup, kita bisa produktif menjalani hari-hari kita. Alias tidak menyia-nyiakan waktu yang sebentar ini.
Namun yang tak kalah penting lagi yaitu bagaimana kita memantapkan niat dan membangun kebiasaan menulis itu sendiri. Sebab tantangan terbesarnya adalah tetap istikamah menulis di tengah berbagai godaan untuk malas dan berleha-leha.
*) Penulis buku Empat Titik Lima Dimensi